Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Melawan Setan dengan Alat Setan

HIV/AIDS mengincar lewat jarum suntik pemakai narkotik. Bisa dicegah, tapi masih pro-kontra.

28 Juni 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Rumah itu sangat ramah menunggu pendatang. Gerbang pagar, pintu depan, pintu tengah, dan jendela samping dibiarkan terkuak lebar. Sepasang kursi di pojok ruang tamu yang luas tak mengurangi kesan lapang dan terbuka.

Kamis pekan lalu, belasan pemuda menyambangi rumah di ujung Jalan Kampung Bali XI, Tanah Abang, Jakarta itu. Mereka datang bergiliran sehingga dari luar tak terlihat kegiatan mencolok. "Hari ini jadwalnya tukar jarum suntik," kata Pungky Djoko Sampurno, aktivis Yayasan Pelita Ilmu yang menjadi manajer program Narkotika dan HIV/AIDS di Kampung Bali.

Tukar jarum suntik? Ya. Inilah program yang sejak November 2002 dijalankan Yayasan Pelita Ilmu. Dengan program yang disebut "perjasun" (pertukaran jarum suntik) ini, mereka memberikan jatah empat jarum suntik baru kepada pecandu yang datang. Empat jatah itu tak diberikan sekaligus. Pecandu diminta datang ke base camp?istilah mereka untuk rumah tadi?dua kali dalam seminggu. Setiap kali datang, pecandu menenteng dua jarum bekas untuk ditukar dengan yang baru.

Inilah metode yang disebut "harm reduction" (pengurangan mudarat) bagi pemakai narkotik dan obat berbahaya. Idenya, ketimbang selalu gagal mencegah orang menyuntik diri dengan narkoba, mengapa tidak bersikap realistis dengan memberi para pecandu jarum yang steril? Dengan memakai jarum steril, risiko para penyuntik diri itu tertular HIV/AIDS bisa ditekan. Metode yang pertama kali digagas sekelompok dokter terkemuka asal Inggris pada 1920-an ini kira-kira sama dengan mencegah penularan HIV/AIDS di lokalisasi pelacuran dengan membagikan kondom gratis.

Di base camp tadi, tak semua pecandu bisa mendapat jarum suntik cuma-cuma. Menurut Pungky, hanya pecandu yang punya tekad kuat bebas narkotik yang mendapat jatah. Lagi pula, untuk ikut program, pecandu harus melewati serangkaian konsultasi dan tes kesehatan. Pemakai harus melalui proses detoksifikasi (pengeluaran racun narkotik dari tubuh) selama satu bulan melalui delapan pemeriksaan. Jika lulus detoksifikasi, pecandu tak perlu ikut program. Mereka dikirim ke panti rehabilitasi. "Hanya mereka yang hardcore (telanjur parah) yang bisa ikut program," ujar Pungky.

Di Indonesia, program pertukaran ja-rum suntik ini relatif baru. Di luar Kampung Bali, proyek percontohan pertukaran jarum suntik baru dicoba di Denpasar dan Makassar. Pola ini dikenal sebagai satu dari sekian strategi harm reduction bagi pemakai narkotik, psikotropik, dan zat adiktif lainnya (napza).

Ajaran harm reduction tak terlalu rumit. Pada tahap awal, pecandu tentu saja diajak menghentikan pemakaian narkotik. Tapi, jika tak bisa lepas, mereka diajari memilih cara selain menyuntik. Maklum, lewat jarum suntiklah beragam penyakit mematikan paling sering menular. Jika masih memakai cara suntik, pecandu diajari agar memakai alat suntik baru dan tidak berbagi jarum dengan pecandu lain. Jika terpaksa memakai alat suntik bekas, pecandu diajari cara-cara membersihkan alat suntik itu, misalnya dengan cairan pemutih pakaian dan air hangat.

Masalahnya, di banyak negara, jarum suntik tak diperdagangkan bebas. Kalaupun ada di pasaran, jumlahnya terbatas. Belum lagi kebiasaan kaum junkies (pemakai narkotik) yang selalu ingin ramai-ramai saat pesta narkotik dengan jarum suntik. Walhasil, kebersihan jarum suntik sangat sulit terjaga. Kondisi itulah yang biasanya memicu kampanye program pertukaran jarum suntik (needle change) di berbagai negara.

Di samping pertukaran jarum suntik, metode harm reduction lainnya adalah substitusi narkotik. Kecanduan terhadap satu jenis narkotik dialihkan ke jenis narkotik lain yang tak terlalu bahaya. Yang paling populer adalah terapi metadon.

Pemilihan metadon sebagai substitusi tak lepas dari kelebihan zat depresan ini. Metadon, yang masih saudara serumpun heroin, morfin, dan kodein, punya efek lebih panjang dalam tubuh. Sementara efek heroin hanya bertahan enam jam, efek metadon bisa bertahan 24 sampai 36 jam. Karena itu, metadon bisa mengulur-ulur datangnya gejala fisik putus obat (sakaw/withdrawal).

Dibandingkan dengan jenis narkotik lainnya, metadon pun lebih aman. Metadon punya efek detoksifikasi, menguras racun yang tertimbun di tubuh. Pola pemberian metadon secara oral diyakini bisa menekan risiko penularan HIV/AIDS, hepatitis B, hepatitis C, dan penyakit lain yang bisa menular lewat jarum suntik.

Terapi metadon tentu tak melulu punya target sebagai substitusi. Untuk jangka panjang, terapi ini pun bercita-cita membebaskan pasien dari ketergantungan. Caranya saja yang bertahap. Untuk tahap awal, pasien diberi sirop metadon dengan dosis 20 miligram per hari. Setiap tiga hari, reaksi tubuh pasien dievaluasi. Dosis yang pas umumnya baru diketahui sekitar sebulan. Enam bulan berikutnya, sedikit demi sedikit dosis itu dikurangi. Jika sesuai dengan rencana, setelah satu tahun terapi, pasien diharapkan "lulus" alias bebas dari ketergantungan.

Di negara maju, terapi metadon dikenal sejak 1960-an. Di Indonesia, program ini baru masuk pada awal 2003. Ini berkat proyek yang didanai Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) di dua rumah sakit percontohan: Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah, Bali, dan Rumah Sakit Ketergantungan Obat Jakarta.

Evaluasi strategi harm reduction di berbagai negara membersitkan harapan. Program penyediaan jarum suntik bisa menekan penyebarluasan HIV/AIDS di kalangan pecandu narkotik. Laporan terakhir dari Australia misalnya mengungkapkan, program penukaran jarum suntik dari tahun 1990 dan 2000 di sana telah mencegah sekitar 25 ribu kasus HIV/AIDS dan sekitar 21 ribu kasus hepatitis C. Hingga tahun 2010, diperkirakan 5.000 nyawa terselamatkan.

Evaluasi atas terapi metadon juga menyemaikan optimisme. Dalam banyak kasus, pasien terapi metadon secara perlahan bisa dibawa ke panti rehabilitasi. Lebih dari itu, pasien pun bisa digiring keluar dari lingkaran kejahatan. Pasien terapi metadon lepas dari jeratan bandar narkotik dan beralih ke dokter dan apotek penyedia metadon.

Masalahnya, seperti di banyak negara lain, di Indonesia pun harm reduction tak putus dirundung kontroversi. Di negeri ini, penggunaan jarum suntik tanpa hak adalah perbuatan ilegal. Pemilikan jarum suntik pun masih dianggap ilegal. Saat menggerebek pengedar dan pemakai narkotik, polisi selalu menjadikan jarum suntik sebagai barang bukti.

Itu baru dari sisi hukum dan aparat kepolisian. Dari sisi warga pun, suara kontra tak kalah nyaringnya. Pendiri Yayasan Harapan Permata Hati Kita, Joyce Djaelani Gordon, menuturkan pengalamannya dalam mengikuti berbagai forum seminar dan lokakarya penanggulangan narkotik dan HIV/AIDS. Banyak tokoh dan pemuka agama yang menentang keras strategi harm reduction lewat penyediaan jarum suntik steril. Para tokoh itu, kata Joyce, khawatir strategi ini bisa menjadi legalisasi pemakaian narkotik. "Mereka mungkin baru setuju jika ada anaknya yang kena," ujar Joyce.

Kontroversi seputar metadon juga tak kalah hebat. Bukan hanya tokoh agama yang kerap menentang. Pendapat aktivis penanggulangan HIV/AIDS dan dokter pun kerap terbelah. Penentang terapi metadon berpendapat terapi ini hanya mengobati masalah dengan masalah. "Aturan yang abu-abu dan persepsi yang keliru cukup menjadi ganjalan buat kami," kata Pungky. Pungky bisa jadi benar. Setelah hampir dua tahun berjalan, dari 1.380 pecandu yang terdata di kawasan Tanah Abang, hanya 190 orang yang ikut program ini. Itu pun yang rutin menukarkan jarum suntiknya tak lebih dari 15 pecandu.

Mungkin karena kencangnya tarikan pro-kontra ini, sikap pemerintah Indonesia terhadap strategi harm reduction masih terkesan tarik-ulur. Direktur Bina Khusus Narkotika Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, Soejoto, mengatakan bahwa strategi harm reduction masih berkutat pada forum pembahasan. Diskusi yang berkembang, kata dia, metode pertukaran jarum suntik lebih sulit diterapkan. Kalau pemerintah bisa memilih, terapi metadon lebih berpeluang diperluas. "Itu pun masih kita bahas," katanya kepada Agus Hidayat dari TEMPO.

Semoga saja pembahasan itu tak terlalu lama. Sebab, korban setan narkoba yang jatuh akan semakin besar.

Jajang Jamaludin

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus