Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Matanya yang kuyu menatap lantai. Dengan baju gombrong, badan kurusnya makin terlihat ringkih. "Saya sakit," kata dia lirih. Lalu dengan lemah dia tunjukkan beberapa bagian tubuhnya yang hancur dihantam penyakit. Sekilas memandang, orang akan jatuh iba.
Ditemui TEMPO di sebuah lembaga pemasyarakatan di Jakarta pada Jumat pekan lalu, siapa sangka sosok lunglai ini seorang bandar narkotik. "Ada bandar besar di sini," kata dia berbisik. "Mau lihat tahanan nyuntik? Datang saja ke blok XYZ," kata dia lagi, menunjuk salah satu blok di area penjara. Tapi Leo, bandar kerempeng ini, mengingatkan bahwa di blok yang dia sebut itu banyak preman berkumpul.
Jadi, inilah tempat mereka berjual-beli narkotik dan obat berbahaya. Di sini, satu paket putaw (heroin) 0,1 gram bisa dijual Rp 60 ribu. Padahal, "Kalau mau cari di luar, paling cuma Rp 40 ribu," kata Leo. Jarum suntiknya? "Bisa sewa, sekali pakai seribu perak." Jika mau beli jarum sendiri, siapkanlah uang dua kali lipat dari harga putaw.
Mahalnya jarum suntik itulah yang membuat bisnis sewa-menyewa jarum suntik bekas subur di sini. Tak jarang, menurut Romi (bukan nama sebenarnya), 36 tahun, yang pernah mendekam 10 tahun di Lembaga Pemasyarakatan Cipinang, jarum yang dipakai pun sudah karatan. "Yang penting bisa fly," kata dia.
Bebasnya memakai narkoba ini pula yang membuat Dani (bukan nama asli), bekas narapidana yang pernah mendekam enam bulan di LP Salemba pada 1996, mudah mendapatkan beti (istilah para napi untuk putaw). "Seminggu saya bisa tiga kali nyuntik," katanya. Soal uang bukan masalah. Ia bisa mendapatkannya dari keluarga yang membesuk. "Saya nyuntik di kamar mandi, lalu jarumnya dikembalikan lagi," ujar Dani.
Kepala Program Rumatan Metadon (PRM) Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah, Denpasar, Bali, Nyoman Hanati, membenarkan bahwa penjara menjadi salah satu tempat para pecandu bisa mengkonsumsi narkoba. "Penelitian kami memperlihatkan bahwa dari 287 penghuni LP Kerobokan, 37 persennya terlibat penggunaan obat-obatan terlarang. Kebanyakan dari mereka pengguna heroin suntik," kata Hanati.
Semua itu bisa terjadi, menurut ketiganya, karena ada peran orang dalam. "Yah, tahu sendirilah, mereka butuh uang, tahanan butuh barang," kata Romi. Soal keterlibatan orang dalam, ini terbukti di LP Medaeng, Surabaya. Awal Januari lalu, polisi menangkap Teguh Wiyono, 32 tahun, pegawai negeri sipil bagian tata usaha. Dari dia, disita 0,2 gram shabu. Di asrama tempat Teguh tinggal juga ditemukan alat isap, korek api, dan kertas foil untuk memakai shabu.
Minggu lalu, di LP Wirogunan, Yogyakarta, seorang penghuni juga tertangkap tangan memiliki tiga paket shabu-shabu dan enam butir ekstasi. Philip Christiawan, 33 tahun, menyimpan 15 butir obat yang belum diketahui jenisnya, sebuah alat suntik, dan empat linting aluminum foil. Tahanan titipan Kejaksaan Negeri Yogyakarta itu mengaku mendapatkan barang dari istrinya, yang dimasukkan lewat salah seorang petugas LP. Kepala LP Wirogunan, Sumanto, berjanji "akan mengambil tindakan tegas bila nanti terbukti staf kami itu bersalah."
Hukuman bisa jatuh ke petugas atau sang bandar. Tapi, bagi pemakainya, "hukuman" lain sudah menunggu. "Saya yakin tertular HIV dan hepatitis C saat nyuntik di Rutan Salemba," ujar Dani lemas. Satu per satu angka seperti ini bermunculan.
Dari Bali, hingga akhir tahun lalu, dilaporkan 32 orang penghuni LP Kerobokan, Denpasar, terinfeksi HIV. Dari angka itu, lima positif AIDS dan empat orang sudah tewas. Dari LP Paledang Bogor, Jawa Barat, 21 tahanan mengalami hal serupa dengan dua nyawa terenggut akibat AIDS. Sedangkan di LP Wirogunan tercatat 39 napi yang terinfeksi HIV dan 14 orang sudah terkena AIDS.
Dalam beberapa kasus, menurut Soejoto, Direktur Bina Khusus Narkotika Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, penghuni LP sudah terkena HIV sebelum mereka masuk bui. Ini misalnya terjadi pada Leo, bandar kerempeng tadi. "Anak ini positif HIV," kata Misbahnur, 39 tahun, petugas lapang di Yayasan Pelita Ilmu, Jakarta.
Leo masih menatap kosong ke lantai. Dia bercerita tentang kakak lelaki dan adik perempuannya yang mati muda lebih dari setahun lalu. Keduanya sama-sama pemakai. Lalu dia berkisah tentang ibunya yang berkutat berjualan baju bekas, modal untuk membesuk dan membelikan obat untuk sakitnya.
Agus Hidayat, Deffan Purnama (Bogor), Raden Rachmadi (Bali), L.N. Idayanie (Yogya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo