Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Melukis menjadi terapi yang diterapkan psikolog bagi pasien dengan gangguan kesehatan mental.
Sebanyak 80 lukisan anak dan difabel dipamerkan di Perpustakaan Nasional, Jakarta Pusat.
Dokter menyatakan orang tanpa gangguan kesehatan mental juga bisa memetik manfaat dari melukis.
Lukisan kereta api berwarna putih terpampang di satu sudut ruangan di lantai empat Perpustakaan Nasional, Gambir, Jakarta Pusat. Lukisan karya Muhammad Rafi Athallah Irmawan, remaja berkebutuhan khusus, itu dipajang bersama 80 karya pelukis anak dan difabel. Penyelenggaranya adalah Creawave, lembaga yang memfasilitasi kegiatan kesenian, literasi, dan pengembangan diri bagi anak berkebutuhan khusus.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Saat ditemui, Rafi dengan tenang menceritakan gambarnya. "Ini dari Purwakarta menuju Jakarta," kata dia di Perpustakaan Nasional, Sabtu, 24 Juni lalu. Dia juga menjelaskan detail rangkaian kereta dengan lokomotif CC 20326 itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lusiana, ibunda Rafi, mengatakan anaknya sejak kecil didiagnosis mengalami autism spectrum disorder. Gangguan tersebut mempengaruhi kemampuan Rafi dalam berkomunikasi dan berinteraksi.
Remaja itu duduk di kelas XII dan menghasilkan lebih dari seratus lukisan. Menurut Lusiana, rutinitas melukis menjadi terapi yang bermanfaat. "Dia menjadi lebih tenang dan fokus karena selalu melukis di rumah," kata dia.
Lusiana mengatakan Rafi menggemari kereta api sejak kecil. "Sebagian besar lukisannya adalah kereta api," ujarnya. Rafi selalu memperhatikan detail kereta api, lalu menyalurkan apa yang dia lihat ke lukisan. "Melukis juga membantu kemampuan motorik halus dan emosinya."
Lesh Dewika, terapis seni di Creawave, didiagnosis mengalami bipolar disorder. Dia pertama kali menekuni seni melukis pada 2016 dan belakangan menyadari segudang manfaatnya sebagai media terapi. Setelah mendalami terapi seni lewat riset, dia menjadi art therapist bagi anak-anak dan penyandang disabilitas sejak 2017. "Kebanyakan anak kebutuhan khusus," kata dia.
Rafi (kiri) pelukis difabel dan Ibunya dengan hasil karya lukisannya di Perpustakaan Nasional, 24 Juni 2023. Tempo/Ilona Esterina
Menurut Dewika, pemahaman mengenai manfaat art therapy di Indonesia masih kurang. "Saya ingin sekolah, tapi sejauh ini jurusannya belum ada di Indonesia. Yang terdekat di Singapura," kata dia. Ia pun berkonsultasi dengan psikolog klinis dan melakukan riset pribadi untuk menggali lebih dalam metode terapi ini.
Art therapy atau terapi seni merupakan bentuk psikoterapi yang menggunakan media seni sebagai cara utama untuk berekspresi dan berkomunikasi. Psikolog atau terapis dapat menggunakan berbagai materi seni sebagai media, seperti lukisan dan gambar yang melatih secara visual. Bisa pula lewat musik, tarian, drama, dan tulisan.
Menurut British Association of Art Therapists berdasarkan penelitian yang diambil pada 2015, di antara media seni lain, gambar dan lukisan diakui sebagai metode yang paling bermanfaat. Jenis terapi ini tidak mengharuskan klien memiliki pengalaman atau keterampilan dalam bidang seni. Pasien diberi kesempatan untuk menggambar atau melukis apa pun yang diinginkan.
Agung Wahyu Prasetyo, psikolog klinis, mengatakan terapi lukis hanya membutuhkan kertas, pulpen, dan pewarna atau cat lukis. "Melukis adalah healing paling simpel, mudah, dan praktis," kata dia kepada Tempo.
Agung juga menerapkan terapi seni, khususnya menggambar, sebagai salah satu metode bagi pasiennya. Menurut dia, manfaat terbesar dari metode terapi melukis adalah mampu membantu individu menyampaikan dan mengatasi emosi yang sulit diungkapkan dengan kata-kata. "Tidak semua orang yang datang ke psikolog atau psikiater bisa mengkomunikasikan permasalahannya," ujarnya.
Berdasarkan pengalamannya, psikolog klinis yang membuka praktik di klinik di Ciputat ini mengatakan pasien yang mengalami depresi, gangguan kecemasan, trauma, autisme, hingga gangguan kepribadian borderline personality disorder (BPD) biasanya membutuhkan terapi model ini. "Karena sulit mengekspresikan perasaan dan impulsifnya dominan sehingga sulit mengontrol diri," kata dia.
Meski demikian, Agung melanjutkan, terapi seni tidak dapat diterapkan kepada semua pasien gangguan kesehatan mental. Misalnya bagi pasien skizofrenia, kecuali kondisi pasien stabil dan terkendali. "Mereka harus menjalani farmakoterapi dulu atau terapi obat ke psikiater," ucapnya.
Bagi yang mengalami depresi, kecemasan, atau trauma, menurut Agung, melukis dapat menjadi alat yang tepat untuk mengekspresikan perasaan yang terpendam. Aktivitas ini juga mengurangi tekanan emosional dan membuat orang menemukan kenyamanan dalam menghadapi permasalahan.
Sebelum menyarankan terapi seni, kata Agung, psikolog tetap akan melakukan pendekatan atau psikoanalisis. "Asesmen dulu, wawancara, penyebab gangguan mentalnya, historinya dulu, perjalanannya, gangguan dari umur berapa," ujar dia. Setelah itu, barulah psikolog menentukan pilihan terapi yang tepat, termasuk terapi lukis.
Pengunjung menggambar di Perpustakaan Nasional, 24 Juni 2023. Tempo/Ilona Esterina
Dalam terapi ini, individu diberi kesempatan untuk menggambar apa pun yang diinginkan, tanpa batasan atau kritik. Karya seni yang dihasilkan menjadi bahan untuk refleksi dan eksplorasi lebih lanjut bersama psikolog atau terapis. Jika menyarankan melukis, terapis juga akan menjelaskan tekniknya. Pasien umumnya diminta mengungkapkan perasaan tanpa perlu khawatir tidak bisa menggambar.
"Karena banyak yang responsnya 'saya enggak bisa menggambar, saya enggak pede' karena kan enggak semua punya jiwa seni," ujarnya.
Agung tidak memaksakan terapi seni kepada pasiennya. "Kami lihat juga pasiennya. Kalau dia nyaman dengan ngobrol, cukup dengan konseling kognitif saja," kata dia.
Terapi seni dianggap menghasilkan efek terapeutik yang baik. Agung mengatakan, sepanjang 2023, ada tujuh pasiennya yang gangguan kesehatan mentalnya berkurang setelah menerapkan terapi lukis.
Tak Hanya bagi yang Memiliki Masalah Mental
Soleh, dokter spesialis neurologi, mengatakan terapi lukis tidak hanya diperuntukkan bagi mereka yang mengalami permasalahan kesehatan mental, melainkan untuk semua orang. "Baik untuk mood karena melukis mengeluarkan endorfin—senyawa kimia yang dihasilkan tubuh sebagai pereda rasa nyeri alami ketika sakit atau stres—dan mengurangi kortisol, hormon yang cenderung tinggi ketika seseorang dilanda stres," ujarnya.
Tingginya kadar kortisol biasanya ditandai dengan perasaan cemas dan gelisah. Bahkan jumlahnya dapat menetap dalam waktu yang cukup lama dan bisa berakibat gangguan kesehatan mental serius.
Manfaat Terapi Seni
Melukis juga bermanfaat bagi fisik karena melatih fokus. "Karena di otak kita ada lobus yang dominan saat melukis, yaitu oksipital, yang berkaitan dengan penglihatan," kata dokter yang berpraktik di Rumah Sakit Permata Cibubur, Bekasi, ini.
Melukis melibatkan gerakan tangan yang presisi. Mengendalikan kuas atau pensil dapat membantu meningkatkan koordinasi mata, tangan, dan otak, sehingga mengembangkan keterampilan motorik halus. "Menggerakkan kuas di kanvas sangat bermanfaat karena pelukis harus menyesuaikan ritme gerakan dengan pola atau gambar," ujarnya.
Soleh mengatakan setiap fungsi koordinasi pada otak membutuhkan bagian yang disebut dengan basal ganglia, struktur yang mengelilingi sebagian talamus di otak. Bagian ini berfungsi mengelola pesan untuk disampaikan atau dikirim ke beberapa bagian otak. "Kebanyakan pelukis aktif ganglianya bagus," ucapnya. Melukis juga dapat menjadi salah satu terapi untuk pasien parkinson.
ILONA ESTERINA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo