Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Skabies merupakan penyakit terlupakan atau neglected tropical diseases yang ditargetkan WHO untuk punah pada 2030.
Prevalensi skabies di pondok-pondok pesantren di Indonesia mencapai 50-80 persen dan mengancam empat juta santri.
Budaya dan mitos salah mempersulit pemberantasan skabies di lingkungan pondok pesantren.
SATU masalah yang sejak dulu menjadi momok di pondok pesantren di Indonesia adalah kurangnya perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS). Padahal, pada 2021, di Indonesia ada sekitar 4 juta santri yang tinggal dan belajar di puluhan ribu pesantren dari level pra-sekolah hingga mahasiswa universitas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebagai sekolah berasrama, dengan banyak penghuni dari beragam latar belakang dan bergaul erat dalam jangka lama, keadaan pesantren telah menciptakan risiko kesehatan. Salah satu penyakit kulit yang mudah ditemukan di pesantren adalah skabies alias gudik. Ini adalah penyakit infeksi kulit yang disebabkan oleh tungau Sarcoptes scabiei. Tungau betina mampu menggali ke dalam kulit dan bertelur, memicu respons imun yang menyebabkan rasa gatal dan ruam hebat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Data Kementerian Kesehatan Indonesia pada 2013 menunjukkan bahwa prevalensi skabies di populasi umum adalah 3,9-6 persen, tapi bisa mencapai 84,8 persen di sekolah asrama. Sejak 2017, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memasukkan skabies dalam daftar penyakit tropis yang terabaikan (neglected tropical diseases) yang ditargetkan hilang pada 2030. Indonesia juga punya kemauan ke arah sana.
Kita perlu melakukan intervensi yang serius untuk mengeliminasi skabies di pesantren, juga di masyarakat, agar anak-anak kita bisa lebih sehat. Agar mereka bisa belajar lebih lancar tanpa harus menggaruk-garuk kulitnya pada malam hari saat tungau skabies bekerja menggali kulit yang menghasilkan rasa gatal.
Ilustrasi seorang anak terinfeksi skabies. Shutterstock
Lingkungan dan Perilaku Berisiko
Di Indonesia, ada 27.600 pesantren yang tersebar di 34 provinsi. Di Daerah Istimewa Yogyakarta, saat ini ada 319 pesantren di 5 kabupaten dan kota. Jumlah santri mukimnya sebanyak 38.400 orang dan santri yang tidak mukim hampir 15 ribu orang.
Untuk meningkatkan kualitas hidup santri dan penghuni pesantren agar terbebas dari skabies, kami dari Tim Pengabdian Masyarakat Kader Santri Sehat Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan Universitas Gadjah Mada membuat sebuah program pengabdian Kader Santri Sehat di satu pesantren di Yogyakarta.
Kader Santri Sehat merupakan upaya untuk meningkatkan derajat kesehatan di lingkungan pesantren melalui sebuah sistem kesehatan yang melibatkan santri. Mereka adalah kader kesehatan yang merupakan perpanjangan tangan dari tenaga kesehatan, baik dokter, perawat, maupun ahli gizi, di lingkungan pesantren. Program ini didasarkan pada beberapa riset yang menunjukkan masalah kesehatan kulit tersebut begitu mengkhawatirkan di kalangan pesantren.
Sebuah studi pada 2014 di pesantren di Bantul, Yogyakarta, menunjukkan prevalensi skabies di sana mencapai 88,46 persen pada santri usia 10-19 tahun yang telah tinggal menetap lebih dari setahun. Riset lainnya di sebuah pesantren di Jakarta Timur pada 2012, dengan pemeriksaan terhadap 192 santri, menunjukkan prevalensi skabies 51,6 persen (laki-laki 57,4 persen dan perempuan 42,9 persen; siswa MTs 58,1 persen dan MA 41,3 persen). Lokasi lesi skabies terbanyak di bokong (33,8 persen) dan di sela jari tangan (29,2 persen).
Riset terbaru pada 2021 menunjukkan kurangnya perilaku hidup bersih dan sehat di lingkungan sebuah pesantren di Kabupaten Jember, Jawa Timur. Ini dibuktikan dari survei yang menunjukkan dapur, kamar tidur, dan kamar mandi kurang bersih. Mereka juga kurang dalam higienitas personal, terutama kebersihan rambut, telinga, dan pakaian.
Temuan serupa lebih lama juga ditunjukkan riset serupa pada 2004 di beberapa pesantren di Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, dan Kalimantan Timur. Pengelolaan sampah belum benar, kualitas air bersih belum memadai, serta perilaku sehat dan bersih masih kurang. Informasi dan akses kesehatan juga minim.
Riset-riset ini menunjukkan lingkungan padat penduduk, kontak erat antarpenghuni, serta kurangnya perilaku hidup bersih dan sehat dapat menjadi faktor risiko penyebaran penyakit menular di pesantren.
Beban Penyakit dan Perangkap Mitos
Berdasarkan Global Burden of Diseases Study 2015, Indonesia menempati peringkat pertama negara dengan beban penyakit tertinggi akibat skabies. Skabies dapat menurunkan kualitas hidup dan mengganggu aktivitas penting kehidupan, terutama pada siswa yang terkena pada saat bersekolah. Skabies mengakibatkan santri mengalami gatal, luka, hingga infeksi jika tidak ditangani dengan baik.
Sekitar 90 persen penularan skabies dilakukan oleh tungau dewasa betina. Mereka tidak dapat melompat atau terbang, tapi berpindah dengan merayap. Kontak kulit ke kulit yang cukup lama, misalnya, pada saat tidur bersama di asrama merupakan sarana penularan tungau. Pemakaian handuk dan seprai bersama dalam durasi lama juga bisa menjadi jalur penularan. Selain pesantren, panti jompo, panti asuhan, dan tempat lain yang penghuninya tinggal dalam jangka waktu lama merupakan tempat di mana berisiko tertular skabies.
Masalah makin berlarut-larut karena penyakit ini sering dianggap ringan dan kerap diabaikan sehingga tidak ditangani dengan serius oleh masyarakat serta pemerintah. Selain faktor mikrobiologi dan perilaku, ada kepercayaan, mitos, dan persepsi keliru yang mempengaruhi transmisi penyakit menular di pesantren. Sebagai contoh, skabies dianggap sebagai penyakit yang wajar diderita oleh santri jika akan memperoleh ilmu di pesantren.
Ada banyak kiai mengatakan, “Kalau kamu sudah gatal-gatal di pesantren, tandanya kamu sudah betah dan ilmu akan lebih mudah masuk." Walaupun argumen ini belum bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah, sebagian kiai menganggap penyakit kudis yang diderita santri merupakan tanda awal turunnya berkah.
Ilustrasi infeksi skabies. Shutterstock
Bebas dari Skabies
Perilaku tidak sehat dan mitos yang bertentangan dengan ilmu kesehatan perlu ditinjau ulang agar santri hidup lebih sehat dan studinya lancar. Kita perlu mempercayai bukti-bukti sains dan riset.
Tak ada cara lain, skabies harus disembuhkan dan dicegah menular agar kualitas hidup santri lebih baik. Kita perlu mencetak lebih banyak Kader Santri Sehat untuk mempromosikan perilaku hidup sehat dan mencegah penyakit di pesantren. Pengasuh dan pengelola pesantren dapat berkolaborasi dengan dinas kesehatan, puskesmas, atau universitas untuk mempromosikan hidup sehat secara rutin sebagai pencegahan primer.
Para santri yang terkena skabies perlu segera diobati secara serentak dan yang sudah sembuh dicegah agar tidak terinfeksi kembali. Untuk pencegahan, sanitasi dan akses pada air bersih serta sampah di pesantren perlu dikelola agar lebih bersih.
Rehabilitasi dan pencegahan munculnya komplikasi lain dilakukan dengan mencuci bersih pakaian, handuk, serta seprai yang telah digunakan dalam tiga sampai lima hari terakhir dengan air panas dan detergen. Barang-barang itu perlu dijemur di bawah sinar matahari untuk membunuh tungau. Adapun peralatan yang tidak dapat dicuci dapat diisolasi di dalam plastik tertutup dan didiamkan selama beberapa hari atau seminggu.
Pada akhirnya, penyakit skabies bisa sembuh dan hilang dengan upaya-upaya di atas yang berbasis sains kesehatan. Cara itu sudah terbukti di berbagai tempat.
---
Artikel ini ditulis oleh Fajrul Fatah, peneliti Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan FK-KMK Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, juga anggota Tim Pengabdian Masyarakat Kader Santri Sehat UGM. Terbit pertama kali di The Conversation.