Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Mencari Kesembuhan dari Kebun

Tanaman berkhasiat obat kini makin dikelola secara serius. Ada kebun yang dilengkapi dengan klinik, dikelola para dokter, yang menawarkan pengobatan alternatif. Dan penderita kanker pun banyak yang berburu tanaman obat.

29 April 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini


KESEMBUHAN tak hanya bisa dicari di rumah sakit, tetapi juga di kebun. Cobalah berjalan-jalan ke sebuah kebun terpencil di kaki Gunung Sanggabuana. Di lereng ini, di tengah perbukitan di Desa Karyasari, Leuwiliang, Bogor, terhampar Kebun Tanaman Obat Karyasari. Di tempat sejuk ini tumbuh beragam tanaman yang berkhasiat obat. Setidaknya itulah keyakinan Winarto, lulusan Institut Pertanian Bogor yang memiliki kebun tersebut. "Alam adalah penyembuh yang luar biasa," kata pria 41 tahun itu.

Diusahakan sejak 1995, Karyasari bukanlah kebun yang sekadar mengutamakan keindahan. Sepintas lalu, ratusan tanaman yang memenuhi kebun malah tampak seperti semak yang biasa tumbuh liar. Namun, bagi banyak orang yang lebih suka pengobatan alamiah, berbagai tanaman itu adalah dewa penolong: pasukan pelawan berbagai penyakit dari yang ringan seperti demam, batuk, sampai kanker yang ganas.

Sejak enam tahun silam, Winarto rajin berburu dan mempelajari tanaman obat (fitofarmaka). Kini, koleksinya mencapai 420 spesies, yang terawat rapi. Semua tanaman yang dikelola secara organik—tanpa pupuk dan pestisida kimia—ini dilengkapi label yang menginformasikan nama lokal, julukan ilmiah, dan khasiatnya. Walhasil, pengunjung dengan gampang menemukan daun andong, cakar ayam, daun dewa, daun gandarusa, jinten hitam, sampai rumput mutiara.

Sebagai kebun tanaman obat, Karyasari bukanlah satu-satunya. Setidaknya ada 80 kebun tanaman obat yang tersebar di seantero negeri. Sebelas perguruan tinggi, di antaranya Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, dan Universitas Airlangga, Surabaya, juga mengembangkan kebun khusus untuk menunjang kegiatan riset di Pusat Penelitian Obat Tradisional.

Namun, Karyasari punya nilai tambah. Secara rutin, Karyasari menggelar kursus singkat untuk umum ataupun profesional pengobatan. Fokus pelatihan adalah menggali kandungan farmakologis dan jurus-jurus memanfaatkan tanaman obat. Sampai kini, sudah 160 peminat tanaman obat yang datang berguru dan kemudian mengembangkan kebun tanaman obat di berbagai tempat. Namun, hanya ada 14 dokter dan dua apoteker yang berminat mengikuti training. "Memang perlu kampanye lebih gencar untuk menarik minat kalangan medis," kata Winarto.

Satu lagi keistimewaan kebun swasta ini, sejak sebulan lalu Karyasari dilengkapi dengan dua klinik herbal yang di- kelola enam dokter. Kedua klinik tersebut—di Pondokcabe, Tangerang, dan Pulonangka, Jakarta—juga di-penuhi ratusan pot tanaman obat. Dengan demikian, pasien bisa membawa pulang tanaman dalam kondisi segar. Tak jarang pula, pasien memborong pot-pot tanaman yang berharga Rp 10 ribu per pot itu untuk dibiakkan di halaman rumah mereka.

Menurut pengelola Karyasari, Krisdianto Nugroho, puluhan pengunjung yang biasa berburu tanaman ke kebun, di akhir pekan, paling sering mencari tanaman untuk penyakit menahun seperti kanker, rematik, tekanan darah tinggi, dan diabetes. "Orang Jakarta paling suka mencari kunyit putih untuk obat mag, menambah nafsu makan, dan menghambat pertumbuhan sel kanker," kata Krisdianto.

Selama ini, kunyit putih (Curcumae alba) memang populer sebagai tanaman obat untuk kanker rahim dan payudara. Retno Sudibyo, peneliti di Pusat Antar-Universitas (PAU) Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, kepada TEMPO pernah menyebutkan bahwa kunyit putih mengandung zat aktif ribosome-inactivating protein (RIP). Protein inilah yang menghambat pembentukan sel kanker. Pada 1999, tim peneliti Pusat Penelitian Tanaman Obat Universitas Gadjah Mada juga mengamati efek antikanker pada kunyit putih ini.

Selain kunyit putih, tanaman yang juga laris-manis adalah keladi tikus (Typhonium flagelliforme), yang punya sifat sitostatika atau pembunuh sel kanker. Pamor keladi tikus melesat sejak 1995. Kala itu, Chris Teo, ahli onkologi dari Universiti Sains Malaysia, meneliti khasiat tanaman ini. Peneliti Malaysia ini memang belum sukses melacak senyawa aktif yang berperan dalam keladi tikus. Namun, fungsinya sebagai pembunuh sel kanker (sitostatika) sudah banyak terbukti pada banyak pasien kanker.

Kepada penderita kanker, Winarto biasa menyarankan untuk minum keladi tikus dalam waktu lama. Jadi, lebih efektif bila pasien menanam sendiri keladi tikus di halaman rumahnya. Resep yang dianjurkan: tiga tanaman keladi tikus direndam, ditumbuk, dan diperas airnya. Air perasan ini diminum setiap hari.

Hasilnya? Mungkin bisa merujuk pengalaman Herlisa, 30 tahun, penderita tumor—bukan kanker—payudara. Pada 1992, Herlisa sudah menjalani operasi untuk mengangkat benjolan tumor di dada kanannya. Namun, akhir tahun 2000, benjolan kecil tumbuh lagi di tempat yang sama. Melalui pemeriksaan laboratorium, dokter memastikan bahwa benjolan tersebut adalah tumor yang harus diangkat sebelum menyebar.

Herlisa, yang enggan dua kali dioperasi, mendatangi Karyasari, yang saat itu belum dilengkapi klinik. Kemudian, Winarto menyarankan ibu satu anak ini minum air keladi tikus dan kapsul yang berisi ekstrak daun sambiloto, daun jombang, dan rumput mutiara. Merujuk Winarto, daun sambiloto bisa menggusur racun dari tubuh, sedangkan rumput mutiara dan daun jombang bertugas mengempiskan benjolan kanker. Setelah enam minggu, Herlisa merasa kondisinya membaik. "Pemeriksaan ultrasonografi juga memperlihatkan benjolan tumor di dada saya sudah menghilang," tuturnya.

Benarkah berbagai tanaman itu ampuh melawan tumor? Memang, Winarto mengakui, sebagian besar tanaman obatnya belum diuji klinis secara komplet seperti halnya obat-obatan kimia. Namun, bukan berarti Winarto serampangan memilih tanaman. "Saya mempelajari kandungan farmakologis tanaman dan menggabungkannya dengan kajian pengobatan alternatif dari berbagai negara seperti Cina, Malaysia, dan India," ujarnya.

Sementara itu, Zuhaida Mahfud, dokter di Klinik Herbal Karyasari, menegaskan bahwa tanaman obat tidak seratus persen melawan penyakit. "Yang jauh lebih penting, kami menerapkan pendekatan yang holistis," kata Zuhaida, yang tiap hari menangani 5-10 pasien. Cara ini, menurut Zuhaida yang akupunkturis itu, mensyaratkan hubungan manusiawi antara dokter dan pasien. Selama konsultasi yang cukup intensif, dari setengah sampai satu jam, dokter akan menggali keluhan dan pola hidup yang dijalani pasien. Relasi semacam ini sangat berguna bagi pasien kanker dan penyakit berat lain yang umumnya sudah merasa lelah menjalani pengobatan medis. Setelah curahan hati pasien tergali, dokter akan meminta keterlibatan pasien untuk menyaring perilaku yang layak ditinggalkan, diubah, atau diperbaiki.

Pendekatan serupa juga diterapkan di Klinik Pengobatan Alternatif Terpadu milik Yayasan Kanker Wisnuwardhana (YKW), Surabaya. Seperti juga Karyasari, Klinik YKW, yang berlokasi di Jalan Kayun 16-18 ini, juga memaksimalkan penggunaan tanaman berkhasiat obat. Bedanya, sesuai dengan namanya, klinik ini semata berkonsentrasi pada penanganan kanker. Selain itu, tanaman obat di klinik ini sudah dikemas lebih praktis, yakni dalam bentuk ekstrak kapsul berharga Rp 10 ribu-Rp 60 ribu tiap paket.

Klinik yang melayani 300-400 pengunjung per hari ini juga memiliki personel dan sarana pendukung yang lebih komplet. Setidaknya ada sebelas dokter sukarelawan, lima di antaranya spesialis berbagai bidang, yang bergabung dengan YKW. Berbagai peralatan deteksi kanker juga tersedia di balai pengobatan yang dirintis oleh almarhum Profesor Asmino, ahli onkologi dari Rumah Sakit Dr. Soetomo, sejak 32 tahun silam ini.

Yang layak disorot, Klinik YKW lebih memfokuskan pada penanganan pasien kanker stadium lanjut. Pasien kanker stadium dini justru dianjurkan berobat secara konvensional. Alasannya, "Kanker tahap dini bisa sembuh tuntas melalui jalur medis biasa," kata Koosnadi Saputra, ahli akupunktur yang juga penanggung jawab Klinik Terpadu YKW.

Sementara itu, pasien kanker tahap lanjut hampir selalu merasakan berbagai hal yang tidak nyaman akibat kemoterapi, seperti rambut rontok, mual, dan nafsu makan hilang. Untuk itu, Klinik YKW menggunakan berbagai pintu alternatif. Di samping kapsul tanaman obat seperti daun dewa (Gynura procumbens) dan keladi tikus, pasien juga diberi serbuk tulang rawan ikan hiu untuk menggenjot kekebalan tubuh dan terapi akupunktur guna melancarkan sirkulasi darah. Untuk mengontrol emosi dan meningkatkan kondisi fisik, pasien dianjurkan aktif berlatih senam taichi atau latihan pernapasan qiqong.

Memang, bukan berarti beragam jalur alternatif tadi menjamin pasien sembuh total dari kanker yang parah. Namun, "Paling tidak, kami berusaha meringankan penderitaan hidup pasien dengan mengerahkan seluruh kekuatan fisik dan spiritual," kata Koosnadi.

Mardiyah Chamim, Tomi Lebang, Dewi Rina Cahyani (Jakarta), Adi Sutarwijono (Surabaya)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus