Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

gaya-hidup

Mencukupi Gizi Anak di Masa Pagebluk

Kekurangan makanan bergizi mempengaruhi imunitas. Dari total anak yang sarapan saat ke sekolah, 90 persen gizinya belum tercukupi.

7 November 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

GURU besar Institut Pertanian Bogor Ahmad Sulaiman mengaku prihatin atas banyaknya anak usia sekolah yang mengalami kekurangan gizi. Kekurangan makanan bergizi akan mempengaruhi imunitas anak dan mudah terserang penyakit. “Dikhawatirkan anak berisiko terpapar virus SARS CoV-2,” ujarnya saat diskusi Ngobrol @Tempo bertajuk “Mendidik Anak Mewaspadai Pandemi”, Jumat, 6 November lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kecukupan gizi anak pada masa pandemi menjadi sangat penting. “Jadi salah satu kunci utama untuk mencegah tertular Covid-19 adalah bagaimana terpenuhi gizinya,” ucap Ahmad.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Berdasarkan riset, ahli gizi ini mengatakan, dari total anak yang sarapan saat ke sekolah, 90 persen gizinya belum tercukupi. Padahal anak usia dini harus terpenuhi kebutuhan nutrisi dan vitaminnya. Hal itu diperlukan guna menunjang pertumbuhan dan imunitas optimal.

Untuk memenuhi gizi anak, menurut Ahmad, minimal dalam makanan terdiri atas 30 persen kebutuhan energi dan 25 persen kebutuhan protein. “Kadang-kadang anak sekolah hanya minum saja atau hanya mengkonsumsi karbohidrat,” tuturnya. Selain itu, 90 persen anak-anak tidak mendapatkan asupan buah dan sayuran yang cukup.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan melalui program sarapan gratis dan edukasi karakter dinilai belum cukup memenuhi kebutuhan gizi anak. Program tersebut masih terlalu minim lantaran hanya menjangkau 100 ribu siswa sekolah. Ahmad mendorong pemerintah untuk menjalankan program dengan cakupan yang lebih luas. “Seharusnya program harus dilaksanakan di seluruh provinsi dan seluruh sekolah di Indonesia,” ujarnya.

Keprihatinan anak kurang gizi pada masa pandemi juga diungkapkan pendiri Foodbank of Indonesia (FOI) M. Hendro Utomo. Hasil survei terhadap 248 anak usia dini yang dilakukan FOI menyebutkan sebanyak 27 persen anak berangkat ke sekolah tanpa sarapan.

Menurut Hendro, survei menyebutkan kesadaran orang tua masih kurang tentang pentingnya sarapan sebelum ke sekolah. “Karena minimnya edukasi untuk memberikan makanan yang baik,” tuturnya.


“Orang tua harus memikirkan kualitas dari gizi anak karena bagian dari imunitas anak itu ditentukan dari gizi,”


Kebanyakan orang tua, kata Hendro, menyiapkan sarapan cepat saji atau memberikan uang jajan kepada anak untuk membeli makanan. “Ada gengsi orang tua apabila bisa memberikan makanan instan,” ujarnya.

Padahal, menurut Hendro, makanan cepat saji yang dibeli dari gerai makanan dan warung tidak diketahui kandungan gizinya. Kebiasaan orang tua membeli makanan dikhawatirkan akan mempengaruhi kecukupan gizi makanan pada anak.

Selain itu, kebiasaan memberikan makanan cepat saji akan mempengaruhi cita rasa pada anak. “Minat pada makanan di rumah akan berkurang,” kata Hendro.

Pada masa lalu, dia melanjutkan, para orang tua sangat memperhatikan makanan untuk anak-anaknya. Kebanyakan orang tua saat itu lebih suka memasak makanan di rumah dibanding membeli di warung. “Padahal tak ada makanan yang cukup, tapi makanan untuk anak-anak menjadi nomor satu.”

Saat pandemi Covid-19, kata Hendro, terjadi krisis ekonomi. Akibatnya, makanan juga menjadi lebih sulit didapat karena daya beli berkurang. Efek kurang gizi pada anak saat ini akan berefek di masa mendatang. Pertumbuhan anak menjadi tidak optimal. “Untuk itu perlu diubah gaya hidup orang tua dalam memberikan asupan kepada anaknya,” ucapnya.

Psikolog anak, Sani Budiantini Hermawan, menjelaskan tumbuh-kembang anak yang optimal tergantung pada peran orang tua. Salah satunya dengan memberikan asupan cukup. “Orang tua harus memikirkan kualitas dari gizi anak karena bagian dari imunitas anak itu ditentukan dari gizi,” ujarnya.

Selain gizi, kata Sani, kesejahteraan psikologis juga harus dibangun dalam keluarga. Kekuatan mental anak perlu dibangun di masa pandemi. Orang tua jangan membuat stres dan harus memahami kondisi anak. “Jangan menekan anak karena akan mempengaruhi imunitas,” tuturnya.

Sani menyarankan para orang tua menggunakan bahasa yang mudah diterima pada masa pandemi. Apabila anak punya masalah, ajak mereka berdiskusi untuk menemukan solusi. “Jadi jangan berlebihan atau kasar,” ucapnya.

Kegiatan bekerja dan belajar di rumah pada masa pandemi menjadi waktu yang tepat guna menjalin hubungan baik orang tua dengan anak. Pertemuan dan perbincangan bisa dilakukan di tempat dan waktu secara bersamaan. Keakraban menjadi lebih terjalin. “Selama ini orang tua dan anak sibuk dengan kegiatannya masing-masing. Kegiatan di rumah menjadi momen saling berkomunikasi,” tutur Sani.

ALI NUR YASIN
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus