MENINGGAL dunia adalah keadaan V insani, yang diyakini oleh ahli kedokteran yang berwenang, bahwa fungsi otak, pernapasan, dan Jantung seseorang terhenti." Ini kriteria mati yang sampai kini berlaku. Kriteria itu tercantum pada Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 1981 yang harus diikuti semua dokter dan juga dijadikan pegangan masyarakat. Ternyata, menurut para dokter, kriteria ini tidak akurat lagi. Karena itu, Senin pekan lalu, setelah melalui seminar dua hari di Jakarta, IDI (Ikatan Dokter Indonesia) mengumumkan batasan baru mengenai kematian. Dalam pertemuan ilmiah itu, empat makalah dibahas. Masing-masing dari Dr. Muhardi (ahli anastesi), Dr. H. Yusuf Misbach (ahli saraf), Dr. Asikin Hanafiah (ahli jantung) dan Dr. R.P. Sidabutar (ahli penyakit dalam). Semua makalah bermuara pada batasan kematian yang percaya bahwa di antara ketiga organ - jantung, paru-paru, dan otak kerusakan permanen pada batang otaklah yang bisa diandalkan sebagai tanda, seseorang secara keseluruhan tidak dapat dinyatakan hidup lagi. Di lapangan memang sering terjadi kebingungan kapan seorang pasien dinyatakan mati. "Di rumah sakit yang tak ada bagian gawat daruratnya, tidak ada masalah," ujar Prof. Dr. Mahar Mardjono, ketua PB IDI, "penderita sakit berat akan mati dengan sendirinya." Menurut Mahar, masalah bisa timbul di rumah sakit yang memiliki berbagaiperalatan modern yang mampu memberikan pertolongan ketika tanda-tanda kematian sudah terlihat. Maka, muncul pertanyaan: Perlukah pertolongan diberikan? Kadang-kadang memang perlu. Mahar mengajukan contoh kasus. Seorang pemuda yang dirawatnya mengalami perdarahan otak. Akibatnya, ada bagian pada pusat saraf penggerak - yang terletak pada batang otak - yang tidak beres. Maka, denyut jantung terganggu geraknya. Ketika tanda-tanda kematian diobservasi selama seminggu, Mahar memutuskan untuk memasang alat pacu jantung. Ternyata, pemuda itu sembuh. Yang juga bisa membingungkan, menurut ahli anestesi Muhardi dalam seminar, mati merupakan proses yang berjalan, bukan kejadian seketika - seperti umumnya dipercaya masyarakat. Setelah otak dinyatakan mati, jantung, misalnya, tak dengan sendirinya berhenti. Ia masih bisa berdenyut 1-2 hari, bahkan sampai ada yang 10 hari. "Karena itu, seolah-olah ada dua macam kematian pada PP No. 18/1981," ujar Muhardi. Yaitu kematian otak dan kematian Jantung. Asikin Hanafiah membenarkan, sekalipun otak sudah rusak, denyut jantung masih bisa ditolong. Dengan berbagai peralatan modern bahkan bisa dipertahankan. "Tapi ini tidak dapat dipertanggungjawabkan," ujar ahli Jantung itu, "apa artinya seseorang hidup dengan otak yang rusak." Selain sangat mahal, dan bisa memberatkan keluarga yang menanggungnya, pada kasus macam inilah seseorang, mati tidak hidup pun tidak. Ahli saraf Yusuf Misbach dalam seminar itu menjelaskan mengapa batang otak yang menjadi patokan. Ia menguraikan, terdapat dua kematian otak. Yaitu kematian korteks otak yang merupakan pusat kegiatan intelektual, dan kematian seluruh otak, termasuk batang otak. Kerusakan pada batang otak lebih fatal karena di bagian itu terdapat pusat saraf penggerak yang merupakan motor semua saraf tubuh. Lalu, bagaimana menentukan kerusakan otak? Menurut Mahar, tidak sulit. Tidak memerlukan peralatan modern seDerti EEG (elektro encefalograf). Cukup misalnya denganmengetes refleks kornea mata, apakah pupil (anak mata) masih bereaxsi terhadap cahaya. Juga bisa dengan memeriksa refleks vestibula okular, yaitu meneteskan 20 cc air es ke telinga kiri dan kanan, kemudian memeriksa reaksi motoriknya pada mata. "Secara klinis itu dapat dilakukan setiap dokter, hingga dapat dijadikan pedoman untuk semua dokter di Indonesia," ujar Mahar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini