PUKULAN resesi dan kejatuhan harga minyak ternyata meninggalkan luka dalam bagi kalangan pengusaha dan buruh. Sejak 1982 sampai Maret 1985, sudah 80 ribu buruh lebih kehilangan pekerjaan karena berbagai alasan perusahaan. Tahun ini angka pemutusan hubungan kerja (PHK), boleh jadi, akan meningkat hebat karena pukulan terhadap sektor industri modern, seperti perakitan mobil, industri tekstil, dan elektronik, belum lagi usai. Menteri Tenaga Kerja Sudomo sendiri masih merasa tersundut mendenar ada sebuah perusahaan merencanakan PHK. Dalam kasus PHK 150 buruh PT Fairchild Semiconductor di Jakarta Maret lalu, misalnya, dia menyatakan tldak setuju pemecatan itu dilakukan karena perusahaan semikonduktor yang dulu membanggakan padat karya itu memasukkan robot. "Yang diinginkan di Indonesia adalah teknologi yang bisa menciptakan lapangan kerja, bukan malah menutup," katanya, pekan lalu. Benturan kepentingan, memang, selalu menyebabkan perbedaan pendapat antara pengusaha dan pemerintah. Lazimnya, sebelum suatu tindak PHK dilakukan, pengusaha dan serikat buruh biasanya berunding untuk melakukan pengurangan uang lembur. Jika cara itu dianggap masih belum bisa mengurangi pengeluaran perusahaan, maka jumlah regu kerja kalau perlu dikurangi. Kalau masih belum berhasil, sebagian karyawan lalu dirumahkan, hingga sampai pada tindakan paling akhir: mengurangi hari kerja. Menurut Dirjen Bina Hubungan Ketenagakerjaan dan Pengawasan Norma Kerja (Binawas) H.B. Manan, laporan keuangan perusahaan bila perlu juga akan diperiksa Depnaker. "Kalau ternyata hasil pemeriksaan keuangannya tidak merosot, kemungkinan untuk PHK itu bakal tidak dikabulkan Depnaker," ujar Manan kepada TEMPO. Dan keputusan itu, karena masalahnya sudah sampai ke atas, biasanya ditangani menteri sendiri. Tindakan pencegahan PHK seperti dianjurkan itu, tampaknya, sudah dilakukan Fairchild. Menurunnya pesanan semikonduktor dari 8 juta unit (1984) jadi 5 juta unit (1985), terutama dari perusahaan komputer ke perusahaan itu, telah menyebabkan kapasitas mesin di situ hanya terpakai 55%, dan hari kerja buruh berkurang jadi lima hari. Sejak Januari lalu, program penghematan juga sudah dilakukan, dengan mengurangi pemakaian listrik, mengurangi lembur, sampai pada memperkecil persediaan bahan. Di pihak lain, setiap dua atau tiga tahun sekali, perusahaan juga harus melakukan restrukturisasi teknologi untuk mengejar efisiensi. Tahun ini, PMA dari AS itu sudah merasa saatnya memasukkan teknologi baru pematrian, yang akan menyebabkan seorang operator bisa menangani sekaligus empat mesin jenis itu. Jauh lebih efisien dibandingkan sebelumnya yang cuma tiga mesin. "Sekarang memang bukan saatnya lagi untuk padat karya, melainkan padat teknologi dan manajemen," ujar Kent Goheen, presiden direktur Fairchild. Karena alasan itu, jumlah 2.400 buruh wanita di situ terasa memberatkan. Menurut Goheen, dengan situasi pasar seperti sekarang, idealnya perusahaan cukup mempekerjakan 1.800 buruh saja. Kalau langkah pengurangan sampai akhir April tidak bisa mencapai angka itu, besar kemungkinan masa kerja buruh di situ akan dipersingkat jadi tiga hari saja. "Jika tenaga kerja masih terlalu banyak, semangat kerja bisa patah," katanya. Kompensasi atas PHK dari perusahaan ini, syukur, dianggap cukup baik. Mereka dibekali pesangon 12 bulan gaji, Tabanas Rp 125 ribu bagi yang sudah bermasa kerja 10 tahun, plus sejumlah imbalan. Cukup baik, tentu, bila dibandingkan pesangon yang pernah diberikan PT Philips Ralin Electronics, Bandun. ketika memecati ratusan buruhnya antara 1983 dan 1984. Seorang buruh yang sudah bekerja di situ 23 tahun, misalnya, hanya diberi pesangon dua kali gaji. Padahal, seharusnya yang bersangkutan berhak mendapat pesangon lebih dari lima bulan gaji, tambah uang jasa satu bulan gaji. Parahnya lagi, pengusaha dl slni tldak berslkap seperti para pengusaha di Amerika. Ribuan buruh mobil di negeri industri itu, sebelum dipecati, diberi keterampilan praktis, seperti mereparasi mobil, radio, dan televisi, untuk bekal mereka menghadapi masa menganggur. Mereka juga diberi prioritas pertama bisa bekerja kembali jika perusahaan bisa berkembang. Nasib kaum buruh di sini! Perusahaan raksasa seperti Fairchild sekalipun tak merasa perlu memberi keterampilan praktis. Juga PT Koba Tin yang secara bertahap, Februari dan Maret, mengurangi 209 karyawannya - tidak ada keterampilan praktis diberikan perusahaan itu pada buruhnya. Memang benar akibat harga timah jatuh dari US$ 16.438 (1980) jadi USX 12.515 per ton menyebabkan laba perusahaan anjlok pula dari US$ 20 juta jadi US$ 1,9 juta. Karena alasan itu, "Biaya perusahaan harus ditekan sampai mencapai efisiensi optimal," ujar U. Suparta Suriakusumah, wakil presiden Koba. Permintaan PHK kemudian diajukan, dan Menteri Sudomo konon sudah menyetujui perusahaan penambangan timah itu untuk mengurangi secara bertahap 800 buruhnya dari jumlahnya yang 2.500. Menurut catatan pihak Depnaker, permintaan persetujuan PHK terbesar pada tahun lalu banyak datang dari sektor pertambangan seperti itu. Dari 17 ribu buruh yang kena PHK saat itu, hampir 14 ribu berasal dari sektor tadi. Selesainya pembangunan pengilangan minyak di Balikpapan dan Dumai, misalnya, telah memaksa para kontraktor di sana memutuskan hubungan kerja dengan para buruhnya. Dua tahun terakhir ini, gelombang penambahan penganggur dari sejumlah proyek pemerintah, baik yang ditunda maupun yang sudah selesai pembangunannya, terasa cukup besar sumbangannya. Jatuhnya harga minyak, secara langsung, memang menyebabkan kemampuan pemerintah membangun proyek yang menciptakan banyak lapangan kerja, turun tajam. Kenyataan ini tampaknya cukup pahit mengingat setiap tahun, selama Repelita IV ini, pemerintah harus menciptakan lapangan kerja baru untuk 9 juta orang dari 9,3 juta angkatan kerja yang memasuki pasar. Eddy Herwanto Laporan Suhardjo Hs dan Indryati (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini