Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Berburu Oleh-oleh Lebaran dari Toko Legendaris

Toko oleh-oleh legendaris di berbagai daerah menjadi buruan wisatawan dan pemudik ketika Lebaran. Apa yang istimewa?

14 April 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HARUM biji kopi yang disangrai menguar. Wanginya seperti mengajak sekitar 20 orang untuk berdiri mengantre di Koffie Fabriek Aroma yang masih tutup, Rabu pagi, 3 April 2024. Tempat kopi Aroma di sudut Jalan Banceuy Nomor 51 dan Jalan Pecinan Lama, Bandung, itu biasanya baru buka pada pukul 08.30 dan melayani pelanggan hingga pukul 14.30, dari Senin sampai Sabtu dan tutup tiap Ahad juga hari libur nasional.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bonar Sihotang dan istrinya, yang pagi itu ikut mengantre, termasuk penggemar berat kopi Aroma sejak keduanya pernah tinggal di Bandung pada 2008. Sebelumnya, Bonar mencicipi kopi Aroma dari oleh-oleh kawannya dan ia merasa cocok. Dia mengaku lebih menyukai jenis kopi robusta.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kini, setelah tinggal di Jakarta, Bonar masih rutin memesannya. “Kopi robustanya enggak asam, untuk lambung bagus,” kata pria yang mengaku punya masalah dengan asam lambung itu.

Kopi Aroma kini menuju usia seabad, sejak dirintis oleh Tan Houw Sian pada 1930. Tan yang buta huruf adalah mantan pekerja kopi zaman Belanda yang kerap ikut berkeliling ke perkebunan kopi di Nusantara.

Berbekal pengalaman dan upah yang dikumpulkan sebagai modal, Tan membuat rumah sekaligus pabrik kopi di Jalan Banceuy. Dia juga menjalin kerja sama dengan para petani kopi sambil membuka perkebunan kopi sendiri jenis arabika dan robusta.

Di era kolonial, kopi Aroma dijajakan keliling Bandung dengan sepeda ontel ke rumah, toko, serta hotel yang dikelola orang Belanda, seperti Savoy Homann dan Preanger. Pada 1960-1970, usaha kopi Tan kurang berkembang, hasilnya hanya cukup untuk makan keluarga.

Pada 1971, Widya Pratama, anak tunggal Tan yang baru lulus dari Fakultas Ekonomi Universitas Padjadjaran, Bandung, ikut membantu mengembangkan usaha kopi milik keluarganya itu. Widya mengganti sepeda ontel dengan sepeda motor untuk memasarkan kopi Aroma. Dia kemudian menjajakan kopi ke berbagai kalangan, terutama turis-turis asing.

Waktu berlalu. Usaha kopi Aroma pun mulai maju. Pada 1982, Tan wafat. Tongkat estafet bisnis Tan kemudian dipegang Widya, yang kini berusia 67 tahun. Kini dua anak perempuan Widya ikut menangani usaha warisan keluarga itu sebagai penerus, atau telah mencapai generasi ketiga.

Widya menuturkan, selain nama, tempat dan proses pengolahan kopinya tetap sama. Untuk menyangrai biji kopi, Aroma menggunakan arang dari kayu selama dua jam. “Biji kopinya disimpan lima-delapan tahun supaya kadar asamnya turun, sehingga peminumnya sehat,” ucap Widya kepada Tempo, Rabu, 3 April 2024.

Dua jenis varian kopinya, arabika dan robusta, juga dipertahankan. Menurut Widya, biji kopinya berasal dari berbagai daerah di Tanah Air, seperti Toraja, Sulawesi Selatan; Flores, Nusa Tenggara Timur; Jawa Barat; Lampung; dan Jawa Tengah. “Pemasoknya juga sama dari dulu. Mereka sudah punya cucu, buyut,” ujarnya.

Konsumen kopi Aroma bukan hanya kalangan dewasa dan orang tua, tapi juga anak-anak muda. Angka penjualannya kini sekitar 100 kilogram per hari, baik dalam bentuk biji kopi maupun bubuk gilingan halus, medium, dan kasar sesuai dengan selera konsumen.

Pemasarannya dari dulu sengaja tak dilakukan lewat iklan, melainkan dari mulut ke mulut. Tujuannya supaya orang lebih yakin untuk menikmati kopi Aroma. Selain itu, mereka tidak membuka cabang di tempat lain, pun tidak melayani pembelian secara daring.

Kopi Aroma disiapkan dalam dua jenis dan ukuran dengan kemasan kertas berbalut plastik bening. Mokka Arabika 250 gram seharga Rp 45 ribu dan 500 gram Rp 90 ribu. Sementara itu, Robusta 250 gram dibanderol Rp 32.500 dan 500 gram Rp 65 ribu.

Pelanggan setia Kopi Aroma antre di pabrik kopi sekaligus toko di Jalan Banceuy, Bandung, Jawa Barat, 3 April 2024. Tempo/Prima Mulia

Widya justru menganjurkan para pelanggan membeli kopi Aroma sedikit demi sedikit seukuran seperempat kilogram. Alasannya, kata dia, lebih baik minum kopi segar yang baru digiling.

Kiat lain dalam menyeduh kopi agar nikmat dan aromanya menguar, bubuk kopi dalam gelas harus disiram dengan air panas yang baru mendidih. Setelah diaduk hingga buihnya muncul, minuman itu bisa dinikmati tanpa gula atau ditambah gula. Widya menyarankan gula merah agar rasanya lebih enak.

Widya menjelaskan, biji kopi bisa bertahan hingga empat bulan. Sedangkan dalam bentuk bubuk bakal terjaga aromanya hingga tiga bulan. “Syaratnya gampang. Ikuti saja petunjuk dalam kemasan.”

Sebagai oleh-oleh, kopi Aroma kini menyediakan beberapa suvenir pelengkap, seperti cangkir, buku catatan, tas selempang kecil, tas pengganti kresek, dan dus berkapasitas 1-5 kilogram.

Kopi Aroma yang legendaris itu juga menjaga keaslian fisik bangunan serta perabot di dalamnya. Kesan jadul sangat lekat ketika pabrik sekaligus toko dan rumah tinggal itu masih tutup. Bilah-bilah papan lipat bercat cokelat tua dan muda menutupi jendela dan pintu di sekujur muka bangunan. Gerendel besi panjang menguncinya.

Widya sengaja membiarkan tempat itu seperti ketika didirikan ayahnya. Pada 2018, Pemerintah Kota Bandung memasang tanda bangunan cagar budaya di sudut toko tersebut.

•••

TOKO oleh-oleh legendaris yang kerap menjadi incaran para turis ataupun warga lokal, terlebih ketika musim mudik Lebaran, juga terdapat di Yogyakarta. Salah satunya adalah Bakpia Pathok 25 di Kampung Ngampilan Nomor 38, Kota Yogyakarta.

Siang itu suasana toko yang berada di area Pabrik Jaya, tempat produksi Bakpia Pathok 25, tersebut mulai ramai. Satu per satu pembeli mulai berdatangan. Septia, salah seorang pembeli, tengah memburu bakpia berbagai varian rasa. “Biasanya ke toko di pabrik ini. Ya, merasa lebih mantap aja,” ujarnya kepada Tempo, Selasa, 2 April 2024.

Selain disesaki pengunjung, suasana toko itu ramai oleh pekerja pabrik yang lalu-lalang ke ruang produksi pembuatan bakpia. Tempo sempat diajak berkeliling untuk melihat proses produksi di ruang pencetakan manual, pemanggangan, juga penyortiran. Di pelataran pabrik, mobil-mobil boks lalu-lalang mengangkut bahan baku bakpia.

Bangunan pabrik itu terbilang kuno dengan dinding kokoh memanjang dan atap yang pendek. Di situlah Tan Aris Nio, generasi pertama perintis Bakpia Pathok 25, tinggal sekaligus membuat bakpia sejak 1979 dengan nama Bakpia Pathok 38, sesuai dengan nomor rumahnya.

Tan membuat bakpia dengan peralatan sederhana. Ia mengaduk adonan kacang hijau dalam wajan jumbo dengan sepenuh tenaga seperti orang mendayung. Lalu dia menjualnya dalam jumlah tak banyak di toko kelontong yang disewanya di ujung gang rumah.

“Dulu orang makan bakpia untuk sarapan. Ngganjal perut,” kata Lautan Usha, Manajer Online Corporate Affairs Bakpia Pathok 25, saat ditemui Tempo di toko, 2 April 2024.

Penyortiran bakpia Pathok 25 di Pabrik Jaya, Ngampilan, Yogyakarta, 2 April 2024. Tempo/Pito Agustin Rudiana.

Saat itu, sebelum ke sawah, para petani mengudap bakpia sembari minum segelas teh kental manis dari termos yang mereka bawa. “Dan beberapa orang suka. ‘Enak iki enak, mbok gawe maneh (enak ini enak, buatlah lagi)’,” tutur Lautan menirukan respons pembeli saat itu.

Pada 1981, bakpia itu mulai dikomersialkan dan berkembang menjadi usaha mikro. Saat ditangani anak bungsu Tan Aris Nio, Siek Angling Saputra Sanjaya, Bakpia Pathok 38 mengalami rebrand menjadi Bakpia Pathok 25 sejak 1988 hingga kini.

Menurut Lautan, nama dengan angka “25” dipilih karena penyebutannya mudah dan khas dalam bahasa Jawa. Angka 25 diucapkan dengan sebutan “selawe”.

Di tangan Angling, bisnis Bakpia Pathok 25 berkembang pesat. Tapi persaingannya juga ketat karena banyak yang membuka bisnis serupa di Jalan Pathuk (kini Jalan Karel Satsuit Tubun) hingga dikenal sebagai “Kampung Bakpia”. Sepanjang jalan itu penuh dengan nama usaha bakpia sesuai dengan nomor rumah masing-masing.

Puncaknya, pada 1995-an, persaingan bisnis bakpia kian ketat. Mereka pun punya tim marketing masing-masing yang menyusun strategi merebut pasar.

Sudrajat, 57 tahun, adalah tenaga marketing senior yang mengawali kiprahnya dengan menjadi reseller Bakpia Pathok 25 pada 1990-an. Bersama istrinya, ia mendatangi bus-bus wisata yang mangkal.

Dengan membawa kotak berisi sampel bakpia, Sudrajat merayu para wisatawan di dalam bus dengan meminta mereka mencicipi bakpia yang ia bawa. Bagi yang berminat, dia mencatat nama dan alamat penginapan mereka. Lalu ia datang ke sana sembari membawa kotak-kotak berisi bakpia pesanan. “Kami antar gratis,” kata Sudrajat.

Pada 2000-an, bisnis bakpia terengah-engah lantaran kebijakan ekspor kacang hijau. Kebijakan itu membuat harga kacang hijau sebagai bahan baku bakpia tak stabil. Padahal kacang hijau adalah bahan baku untuk produk best-seller Bakpia Pathok 25 sampai saat ini.

Kini usaha bakpia juga menghadapi tantangan lantaran pengaruh perubahan iklim yang ekstrem. Cuaca tak menentu membuat para petani kacang hijau yang menjadi pemasok pelanggan di Jawa Timur dan Nusa Tenggara Timur kelabakan sejak enam tahun lalu.

Untuk menyiasati kondisi itu, Bakpia Pathok 25 membuat produk dengan beragam varian rasa. Pada 2000-an, lahir varian rasa baru, yakni keju, cokelat, dan nanas. “Bahan bakunya mudah dan membuatnya lebih gampang,” ujar Lautan Usha. “Membuat bakpia varian rasa juga sebenarnya atas permintaan konsumen.”

Saat persaingan bisnis bakpia makin ketat dengan makin banyaknya kompetitor yang muncul pada sekitar 2011, Bakpia Pathok 25 berbenah lagi. Dibuatlah produk premium dengan varian rasa kacang hijau, cokelat, keju, dan nanas. Lalu ditambah varian rasa lain, seperti durian, ketela ungu, cappuccino, kacang merah, susu, juga green tea.

Produk premium itu dibanderol lebih mahal. Untuk yang original satu kotak isi 15 buah seharga Rp 35 ribu dan premium seharga Rp 50 ribu. Strategi-strategi itulah yang, menurut Lautan, membuat Bakpia Pathok 25 bisa tetap eksis sampai sekarang. 

Hingga kini Bakpia Pathok 25 telah membuka delapan toko resmi. Semuanya ada di Yogyakarta sebagai upaya mempertahankan kekhasan asal oleh-oleh itu. Selebihnya ada kios-kios reseller yang juga berada di seputar Yogyakarta.

Lautan bercerita, setiap hari total produksi bakpia bisa mencapai ribuan kotak. Pada Jumat-Ahad dan masa libur panjang, produksinya hingga 300 persen dari hari biasa.

Pembeli yang datang juga kerap melebihi ekspektasi. Pernah suatu malam ada enam rombongan bus besar datang menjelang pabrik tutup pada pukul 23.30. Pernah juga pada pukul 03.00 ada konsumen mengetuk pintu untuk membeli karena harus bergegas mengejar penerbangan pagi.

Bagi pembeli dari luar Yogya, Bakpia Pathok 25 membuka layanan pemesanan untuk dikirim. Mereka juga melayani penjualan melalui toko online. “Lagi-lagi ini atas permintaan konsumen,” ucap Lautan.

•••

SOLO juga memiliki beberapa toko oleh-oleh khas legendaris. Salah satunya Toko Serabi Notosuman Ny. Lidia di Jalan Moh. Yamin Nomor 28, Kratonan, Kecamatan Serengan, Kota Solo, Jawa Tengah. Selasa, 2 April 2024, sejumlah pembeli datang silih berganti sejak toko itu mulai dibuka pada pukul 08.00 WIB.

Di antara aneka jajanan yang ditawarkan toko oleh-oleh itu, serabi Notosuman-lah yang paling banyak dibeli pelanggan. Tak mengherankan, karena dari toko itulah asal penganan legendaris khas Solo tersebut.

Lydiawati, 66 tahun, pemilik Toko Serabi Notosuman Ny. Lidia, adalah generasi ketiga dari pemilik resep sekaligus perintis serabi Notosuman, yakni pasangan suami-istri Hoo Geng Hok dan Tan Giok Lan.

Selain Lydiawati, kakaknya, Handayani, mendapat warisan resep asli serabi Notosuman dan terus melestarikannya hingga sekarang. Toko Serabi Notosuman Ny. Handayani berlokasi di kawasan yang sama, di seberang jalan Toko Serabi Notosuman Ny. Lidia.

Lydiawati menuturkan, usaha serabi Notosuman dirintis kakek dan neneknya pada 1923. Awalnya mereka berjualan kue apam. “Awalnya Kakek dan Nenek disuruh membuat apam oleh pihak Keraton Surakarta untuk suguhan pada acara-acara tradisi keraton karena rasanya enak,” kata Lydiawati kepada Tempo, 2 April 2024.

Sambil berjualan apam, kakek dan nenek Lydiawati kemudian mencoba memodifikasi apam hingga tercipta resep serabi Notosuman. Ternyata serabi buatan mereka banyak disukai pelanggan. “Dulu disebut serabi Inggris,” ujarnya.

Serabi Notosuman terbuat dari tepung beras, santan, gula pasir, garam, pandan, dan air. Di kedua toko itu serabi yang dijual hanya ada dua rasa, yaitu orisinal dan cokelat.

Serabi rasa orisinal mengedepankan rasa gurih yang berasal dari santan kental tanpa tambahan perasa. Sedangkan manisnya serabi rasa cokelat berasal dari meses cokelat yang ditaburkan di atasnya. Yang perlu diingat, serabi Notosuman hanya dapat dinikmati dalam waktu 24 jam karena makanan ini memang bebas dari bahan pengawet.

Lydiawati mengatakan ia masih mempertahankan dua rasa tersebut karena banyak pelanggan loyal yang menyukainya. Rasa orisinal sudah ada sejak era neneknya, sedangkan rasa cokelat merupakan variasi dari zaman ibu Lydiawati.

“Saya tidak tambah rasa-rasa lain karena memang pelanggan banyak yang lebih suka yang putih atau cokelat. Yang sepuh-sepuh biasanya suka yang putih,” ucapnya.

Dalam sehari, produksi serabi bisa menghabiskan rata-rata 60 kilogram tepung beras dan 30 kilogram gula pasir. Untuk komposisi bahan lain, seperti santan, pandan, dan garam, dia menggunakan seperlunya. “Untuk hari Minggu atau musim Lebaran biasanya bikin lebih banyak,” tuturnya.

Karyawan Toko Serabi Notosuman Ny. Lidia Solo membuat serabi yang akan dijual kepada pelanggan, di Solo, Jawa Tengah, 2 April 2024. Tempo/Septhia Ryanthie

Tahun ini usaha serabi Notosuman akan berusia 101 tahun dan telah berkembang secara turun-temurun hingga generasi kelima. Pelanggannya pun datang dari berbagai kota dan kalangan, termasuk ibu negara Iriana Jokowi.

Saat ini Toko Serabi Notosuman Ny. Lidia sudah memiliki cabang di sejumlah kota, yaitu Yogyakarta; Semarang, Tegal, Kudus, dan Boyolali, Jawa Tengah; dan Ponorogo, Jawa Timur. Toko-toko cabang tersebut, kata Lydiawati, dikelola oleh anak-anaknya.

Meskipun kini bermunculan penjual lain yang menawarkan serabi sejenis, bahkan dengan berbagai inovasi rasa, Serabi Notosuman Ny. Lidia dan Serabi Notosuman Ny. Handayani tetap menjadi favorit bagi para pelanggan mereka.

Fransisca, 25 tahun, seorang pelanggan asal Solo Baru, Sukoharjo, Jawa Tengah, mengaku selalu membeli serabi di Toko Serabi Notosuman Ny. Lidia. “Enggak pernah ke tempat lain,” ujarnya. Fransisca suka serabi rasa orisinal dan cokelat. “Tapi rasa orisinal paling favorit.”

Sriyanto, warga Kota Solo, juga sering membeli serabi Notosuman. Biasanya serabi itu dia konsumsi sendiri atau untuk oleh-oleh ketika mengunjungi teman ataupun kerabat di kota lain yang tidak terlalu jauh jaraknya. “Rasa orisinal enak, yang cokelat juga suka,” ucap Sriyanto.

•••

PERAJIN keripik tempe Sanan, Malang, Jawa Timur, M. Arif Sofyan Hadi, masih sibuk mengemasi keripik hingga larut malam. Keripik tempe merek Dua Karunia yang ia produksi telah didistribusikan ke sejumlah kota di Indonesia.

Dua Karunia juga memiliki reseller di Papua dan Hong Kong. Secara rutin, Arif mengirim keripik tempe sesuai dengan pesanan. Selama bulan puasa, ia mengaku kewalahan melayani pesanan pelanggan dari berbagai kota. “Produksi naik dua kali lipat. Biasanya 50 kilogram per hari, sekarang sampai 100 kilogram,” kata Arif.

Arif adalah generasi kedua yang mewarisi pekerjaan orang tuanya sebagai produsen keripik tempe. Ia membantu orang tuanya memproduksi keripik tempe sejak 1970-an.

Awalnya orang tua Arif membuat keripik tempe lantaran sampai sore masih ada sisa tempe. Daripada tempe itu membusuk, mereka lantas mengolahnya menjadi keripik. Tempe diiris tipis lalu digoreng dengan adonan tepung.

Keripik tempe kemudian dijual di pasar tradisional di Malang dan sejumlah rumah makan. Arif menjajakan keripik tempe tanpa merek dagang. Lambat-laun ternyata keripik tempenya menjadi primadona sehingga, pada 1980, Arif membuat jenama Dua Karunia.

Selain memproduksi, Arif membuka gerai di rumahnya. Kini berjualan keripik tempe menjadi pekerjaan utamanya. Apalagi sejak pemerintah mencanangkan Sanan sebagai sentra keripik tempe pada 1986. Lantas, pada 2005, popularitas keripik tempe kian meledak sebagai oleh-oleh khas Malang.

Perajin keripik tempe Dua Karunia, M. Arif Sofyan menunjukkan keripik tempe produksinya, di Blimbing, Malang, Jawa Timur, 4 April 2024. Tempo/Eko Widianto

Arif mempromosikan keripik tempe melalui radio dan dari mulut ke mulut. Saat memasuki era digital, promosinya dilakukan di berbagai platform media sosial dan keripik tempenya dijual di lokapasar sehingga produknya makin luas menjangkau pelanggan dari pelosok negeri.

Jumlah permintaan yang melonjak dan makin banyaknya perajin keripik tempe lantas membuat banyak toko yang menjual penganan tersebut di depan Kampung Sanan. “Keripik tempe rasa original paling laris. Ada juga rasa pedas manis, balado, dan ayam lada hitam,” ujar Arif.

Arif menaikkan harga keripik tempe per pak menjadi Rp 7.500, dari sebelumnya Rp 5.500. Sebab, dalam setahun terakhir harga beragam bahan baku melonjak. Meski demikian, kata Arif, keuntungannya tipis dan persaingan makin ketat.

Ia tetap bertahan dengan menjaga kualitas produknya. Arif kemudian mulai memproduksi keripik tempe berbentuk bulat, sementara keripik buatan perajin lain masih persegi panjang. “Awalnya iseng dan ingin berbeda dari yang lain,” tuturnya. Kini, Arif melanjutkan, perajin lain mengikuti langkahnya membuat keripik berbentuk bulat.

Arif pula yang membuat formula keripik tempe yang renyah dan gurih. Sebab, sebelumnya sebagian pelanggan menilai keripik tempe keras. Formula perenyah keripik tempe tersebut juga ia bagikan kepada perajin lain di Sanan.

Arif yang juga Ketua Paguyuban Sentra Industri Tempe Sanan menjelaskan, jumlah perajin tempe di Sanan sebanyak 536, dengan sekitar 200 di antaranya perajin keripik tempe. Setiap hari produksi keripik tempe berkisar 50-100 kilogram. “Menjelang Lebaran produksi rata-rata meningkat dua kali lipat.”

Kini gerai penjualan keripik tempe juga menjamur di jalan masuk Kampung Sanan. Pelanggan berjubel antre memilih aneka jenis keripik tempe di toko oleh-oleh di sana.

Salah seorang pembeli, Dini Rachmati, mengaku setiap Lebaran membeli keripik tempe produksi Arif di Sanan. Ia menilai keripik yang dihasilkan lebih renyah dan tempenya lebih terasa. “Renyah dan enak,” ucap Dini.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Anwar Siswadi dari Bandung, Pito Agustin Rudiana dari Yogyakarta, Septhia Ryanthie dari Solo, dan Eko Widianto dari Malang berkontribusi dalam penulisan artikel ini. Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Laris Manis Toko Oleh-oleh Legendaris"

Friski Riana

Friski Riana

Reporter Tempo.co

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus