Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pameran tunggal Bagus Pandega di ROH. Berbasis sains, menyoroti soal energi, lingkungan, alam, dan manusia.
Lewat bahan nikel elemen karyanya, Bagus mengkritik situasi industrialisasi, energi, dan kerusakan lingkungan.
Ada pula cerita dari masa pandemi dalam karya yang sarat makna siklus kehidupan.
PADA sebidang dinding, pantulan proyektor memperlihatkan sosok patung orang utan yang unik. Matanya seperti terpejam. Dalam larutan asam nikel yang memancarkan warna hijau toska, tubuh sekujur patung itu berselubung buih-buih. Buih itu seperti menyiram, menempel pada badan patung orang utan tersebut. Sebuah sensasi kimiawi yang artistik. Sementara di depan dinding itu sebuah proyektor dan lampu menyorot, di pojok proyektor terlihat sebuah patung mungil, mungkin sekitar 5 sentimeter tingginya. Itulah si orang utan yang diletakkan menghadap dinding, seolah-olah memandang imaji tubuhnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Karya ini sesungguhnya memperlihatkan sebuah ironi, kisah tentang manusia, energi, dan lingkungan. Patung mungil itu telah diperbesar imajinya oleh sang seniman, Bagus Pandega. Ia meletakkan patung logam mungil itu di “kolam” asam nikel. Buih-buih yang melumuri sekujur patung adalah proses pelapisan nikel, kurang-lebih hanya setebal 1 milimeter. Nikel bersifat melindungi material logam dari karat atau korosi. Benda yang akan dilapisi hendaknya bersih dari karat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ironi yang hendak disampaikan Andit—panggilan akrab Bagus Pandega, seniman lulusan Institut Teknologi Bandung—tak lepas dari kebutuhan manusia akan energi dan sumber-sumbernya. Saat ini Indonesia mendulang cuan dari produksi tambang nikel di beberapa pulau, antara lain di Sulawesi dan Maluku. Penambangan nikel dalam lima tahun terakhir sangat masif, untuk diekspor.
Di balik besarnya keuntungan produksi nikel, sejumlah kerusakan lingkungan menyertai. Pembukaan kawasan hutan dan penggalian serta aktivitas lain mengakibatkan kerusakan jalan dan desa di sekitar tempat penggalian dan pengolahan. Sumber air dan sungai pun rusak hingga menyusahkan masyarakat. Orang utan, yang muncul sebagai salah satu simbol lingkungan, adalah salah satu korban kerusakan lingkungan, meski tak secara langsung akibat tambang nikel, melainkan lantaran tambang batu bara dan industri kelapa sawit.
Proyektor yang menampilkan patung mungill orangutan dengan buih dalam Pameran Seni Instalasi Kinetik karya Bagus Pandega di ROH Project, Jakarta, 27 Maret 2024. Tempo/Martin Yogi Pardamean
Andit mencoba menyuguhkan dua sisi mata uang dari kebutuhan energi manusia, yakni di satu sisi memberikan keuntungan tapi di sisi lain kerusakan menyertai, apa pun sumber energinya, dari bahan fosil, tenaga matahari, angin, air, hingga panas bumi. Nikel adalah salah satu elemen yang tengah naik daun sebagai bahan baterai dalam pembuatan energi listrik. Baterai digunakan sebagai sumber energi untuk sejumlah peralatan atau perangkat, dari alat telekomunikasi seperti telepon seluler hingga sepeda dan mobil listrik.
Elemen sains dan lingkungan yang menyatu ditampilkan secara estetis melalui patung yang diselubungi buih-buih hasil pelapisan. Sejatinya, proses munculnya gelembung itu dimulai dari bawah, sedikit demi sedikit. Tapi kesan estetik muncul ketika buih itu seperti menyiram dari atas. Andit menampilkan rekaman enam jam proses pelapisan dengan narasi video yang dibalik.
Di sisi karya ini, Andit juga menyajikan dua bongkahan yang diletakkan terpisah. Setiap bongkahan disorot kamera yang terhubung dengan video. Kedua bongkahan itu adalah nikel mentah yang berwarna cokelat kecil-kecil seperti kumpulan kotoran kambing dan nikel matang yang siap diolah dan diaplikasikan. Dalam sorotan kamera, sisi artistik penampang material terlihat sedemikian rupa.
Dua karya ini merupakan bagian pameran tunggal Bagus Pandega berjudul “O (Circle)” yang digelar pada 13 Maret-28 April 2024 di ROH Projects, Jakarta. Karya-karya Andit tak lepas dari bagaimana alam “terlibat” dan memberi timbal balik dalam rekayasa sistem teknologi untuk kehidupan manusia. Melalui karya-karya ini, dengan material nikel, besi, dan elemen lain, Andit juga mengkritik kebijakan dan industrialisasi, hilirisasi yang dinilainya kurang tepat. Ia masih merasakan mahalnya nikel sebagai elemen untuk berkarya, setidaknya sebagai bahan menyolder-menyambungkan elemen dengan bahan lain dari karyanya. Padahal Indonesia saat ini adalah salah satu produsen nikel terbesar.
Elemen alam dan sains yang digarap secara estetik juga terlihat pada karya Andit dalam lingkaran besi berdiameter kurang-lebih 3 meter yang menjadi penghubung botol-botol berisi air dan batu nikel, kompresor, serta enam pot tanaman Sansevieria, yang lebih dikenal sebagai lidah mertua.
Pengunjung bisa melihat kabel-kabel dan pipa yang menjuntai di bawah besi yang tergantung. Sebuah lampu menjadi seperti matahari yang memberikan terang cahaya, menyorot enam pot Sansevieria yang berada di tengah-tengah lingkaran besi. Tanaman ini memang gampang hidup meski di bawah cahaya dalam ruangan. Suara gemelitik mengiringi botol yang tiba-tiba terang. “Ketika botol menyala, itulah pertanda oksigen teralirkan mengisi botol,” ujar Andit. Oksigen ini diproduksi kompresor buatan Andit, tapi tanaman Sansevieria inilah yang “memerintahkan” distribusinya. “Yang alami mengendalikan yang artifisial,” ucapnya.
Tanaman Sansivera dengan kabel-kabel dan pipa ang dalam Pameran Seni Instalasi Kinetik karya Bagus Pandega di ROH Project, Jakarta, 27 Maret 2024. Tempo/Martin Yogi Pardamean
Karya ini, Andit menjelaskan, terinspirasi masa pagebluk Covid-19, ketika orang kesulitan mendapatkan tabung oksigen. Ia menciptakan oksigen dari kompresor buatannya. Ia menyertakan Sansevieria karena tanaman ini juga merupakan penghasil oksigen dan penyerap racun. Ini adalah karya keduanya yang terkait dengan Covid-19. Pandemi atau bencana, Andit mengungkapkan, adalah bagian dari alam, siklus yang diperbuat alam untuk mengembalikan keseimbangan.
Di lorong, dua karya elektronik dengan banyak kabel tertaut. Lampu-lampu dan headphone tertempel pada dinding. Karya ini pun terhubung dengan kabel ke pohon kemboja dan karet kebo. Jika ia didengarkan, akan muncul suara. Dari dua karya ini, terdengar suara dan terlihat mata yang mewakili pemiliknya, yakni para tenaga kesehatan. Mereka yang menjadi garda terdepan saat pandemi Covid-19 melanda. Andit menemui orang-orang itu dari berbagai rumah sakit. Mereka berkisah tentang situasi saat itu—siklus kehidupan yang mencekam.
Andit bercerita, saat itu bersama komunitasnya ia ikut membantu mereka membuat alat pelindung diri atau APD untuk menangkal penularan virus penyebab Covid-19. Sebuah kisah di ambang hidup dan mati dalam situasi yang tak menentu. Pohon kemboja yang sering dipandang sebagai simbol kematian secara artistik diletakkan dalam sebuah pot. Kemboja itu pula yang menentukan suara atau mata siapa yang akan dimunculkan dalam karya ini. Selain berbasis pada sains dan lingkungan, karya-karya Andit memiliki aspek sosial yang sangat kental. Ia berupaya menyentuh sisi-sisi kemanusiaan dalam karya-karyanya.
Karya lain yang serona, masih berupa karya elektronik dengan kabel-kabel menjuntai dan terhubung dengan tanaman, mengeluarkan suara instrumen musik. Setiap kali instrumen berbunyi, sebuah mata muncul pada monitor kecil di tengah-tengah peralatan itu. “Jadi setiap kali instrumennya main, mata yang tampil adalah mata pemainnya,” tutur Andit. Sebuah kisah datang dari Jepang, ketika Andit menemukan alat musik kuno hasil karya seorang musikus Jepang yang diutus ke Eropa untuk belajar tentang musik. Andit kemudian berkolaborasi dengan musikus Jepang.
Karya ini pamerkan di bagian depan galeri yang dibuat pada masa pandemi dan ditampilkan di APT Brisbane, Australia. Setelah diresapi publik Australia, karya ini dibawa kembali untuk dinikmati di Tanah Air.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo