Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TAK lengkap rasanya bertandang ke Ranah Minang jika tak membeli keripik Sanjai. Penganan khas dari Nagari Sanjai, Bukittinggi, itu sudah lama menjadi primadona buat para wisatawan yang berkunjung ke Sumatera Barat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Meski masyarakat setempat menyebutnya karupuak (kerupuk) Sanjai, penganan berbahan baku singkong itu sebetulnya keripik. Awalnya keripik singkong itu merupakan camilan bagi anak-anak di Sanjai.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Agus Rizal, generasi keempat pembuat keripik Sanjai, masyarakat Kampung Sanjai dulu berkebun singkong. Hasil kebun yang tersisa kemudian mereka buat camilan.
“Karena orang dulu punya banyak anak, jadi untuk camilan, inisiatiflah nenek-nenek ini bikin kerupuk dari hasil kebun,” ucap Agus.
Dari cerita yang berkembang turun-temurun, usaha pembuatan keripik itu dirintis oleh beberapa ibu di Sanjai. Menurut Agus, mereka mulai membuat keripik Sanjai sebelum masa kemerdekaan Indonesia.
Mereka kemudian mencoba menjual keripik singkong itu ke pasar di Bukittinggi. Ternyata banyak peminatnya. Karena tidak tahu akan diberi nama apa, lalu makanan ringan itu dinamai sesuai dengan daerah asalnya, karupuak Sanjai. Kini penganan itu populer dengan nama keripik Sanjai.
Seiring dengan waktu, usaha keripik Sanjai berkembang pesat. Banyak warga di kampung itu yang beralih profesi menjadi perajin penganan tersebut. Kampung Sanjai pun menjelma menjadi sentra industri rumahan keripik singkong.
Agus menjelaskan, ciri khas keripik Sanjai di awal-awal pembuatan adalah irisan singkong yang digoreng tanpa diberi bumbu macam-macam, hanya garam. Namun, seiring dengan perkembangan, muncul inovasi dengan aneka bumbu. Salah satu yang populer adalah bumbu balado.
Bukan hanya bumbunya, cara menggoreng dan memotongnya juga sudah berubah. Dulu, kata Agus, caranya serba manual dengan peralatan tradisional. Sekarang mereka sudah memakai alat semi-otomatis sehingga produksinya makin banyak. Sejumlah daerah lain di Sumatera Barat juga sudah bisa membuat penganan seperti keripik Sanjai.
“Malah akhir-akhir ini karupuak Sanjai menjadi ikon Sumatera Barat, bukan hanya Bukittinggi. Kalau orang-orang belum beli Sanjai artinya belum ke sana,” ujar Agus.
Toko Sanjai milik Reni, di Kampung Wisata Sanjai, Bukittinggi, Sumatera Barat, 2 April 2024. Tempo/Fachri Hamzah
Namun jumlah perajin keripik Sanjai kini mulai berkurang, beralih profesi menjadi pegawai. Agus menjelaskan, dulu ada sekitar 20 tungku lebih di Sanjai, tapi sekarang tinggal 9 tungku.
Faktor lain yang membuat perajin keripik berkurang, kata Agus, adalah masyarakat Sanjai jarang mempunyai toko oleh-oleh. Sebab, kebiasaan mereka adalah hanya sebagai produsen, lalu menjual produknya ke distributor.
Salah satu yang usahanya masih eksis hingga sekarang adalah Mardi Sanil. Dulu Mardi adalah pengusaha kain. Namun, saat terjadi krisis moneter pada 1998, usahanya bangkrut. Dia kemudian memutuskan mencari usaha baru. “Karena istri bisa membuat keripik Sanjai, inilah usaha yang kami pilih,” tutur pria 74 tahun itu.
Awal menjalani usaha tersebut, Mardi dan istri hanya membuat keripik ubi biasa dengan bermodalkan tungku kecil. Setelah merasa mampu, barulah dia menambah dengan memproduksi keripik Sanjai.
Lambat-laun Mardi terus mengembangkan usahanya dan membuat jenama sendiri, yakni Sanjai Emi. Sejak berdiri, Sanjai Emi terus berinovasi dengan menambah cita rasa balado. “Kami ada dua rasa, yakni original dan balado,” ucapnya.
Mardi mengungkapkan, penghasilan dari penjualan keripiknya saat ini cukup untuk hidup. Seusai masa pandemi Covid-19, kata dia, angka penjualannya belum meningkat signifikan. “Saat masa pandemi itu pemesanan sangat anjlok, jadi kami mencoba untuk bangkit lagi,” ujarnya.
Sekarang untuk satu bulan, Mardi menambahkan, Sanjai Emi hanya melakukan 10 kali penggorengan dengan menghasilkan 25 ton keripik. Padahal, sebelum Covid-19 melanda, Sanjai Emi bisa menggoreng 20 kali dalam sebulan.
Mardi hingga kini belum memiliki toko. Sebab, produksi Sanjai Emi diperuntukkan bagi para pedagang. “Kami tidak punya toko, produksi ini hanya untuk para pedagang yang memesan,” katanya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Fachri Hamzah dari Padang berkontribusi dalam penulisan artikel ini. Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Primadona dari Nagari Sanjai"