Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Kebanyakan jenama sustainable fashion memakai bahan dasar kain dan pewarna alami.
Setiap tahun, 60 persen orang dewasa di Indonesia membuang minimal satu pakaiannya.
Tren sustainable fashion tak hanya ada pada pakaian, tapi juga aksesori seperti jam tangan dan sepatu.
SEORANG perempuan Lembah Bada, Lore Selatan, Poso, Sulawesi Tengah, tampak berulang kali menghantamkan peboba—pentungan tradisional yang terbuat dari kayu enau atau aren—pada kulit kayu pohon bea atau saeh yang membujur di atas sebuah balok. Kulit kayu yang juga bernama paper mulberry tersebut tampak makin tipis dan lebar. Proses ini adalah tahap pembuatan salah satu bahan pakaian ramah lingkungan atau sustainable fashion, yaitu kain tapa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Perajin kain kulit kayu yang oleh warga setempat disebut ranta tersebut adalah salah satu pemasok material dasar jenama fashion Cinta Bumi Artisans. Pendiri merek produk ramah lingkungan ini, Novieta Tourisia, 35 tahun, mengatakan menggandeng masyarakat Lembah Bada sejak 2016.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Sustainable fashion menjadi tren gaya busana global karena penjualan terus meningkat,” kata Novieta saat menunjukkan rekaman video pembuatan kain tapa kepada Tempo, Kamis, 20 Oktober lalu.
Novieta menjelaskan, Cinta Bumi Artisans berupaya menjadi salah satu brand busana berkelanjutan dengan memastikan sejumlah proses produksinya berpihak pada alam dan manusia. Dia menjelaskan, pohon bea baru akan dipanen setelah berusia 18 bulan dengan ciri fisik memiliki diameter 2-3 sentimeter. Hal ini menyebabkan pembuatan kain tapa tak bisa seperti proses dalam industri tekstil yang mengusung konsep fast fashion.
Produk dari kain kulit kayu produksi Cinta Bumi Artisan/Dokumentasi Cinta Bumi Artisan
Selembar kulit pohon bea bisa menjadi kain dengan lebar maksimal 30 sentimeter dan panjang 300 sentimeter. Pembuatan kain ini memakan waktu 12 hari. Setelah dipanen, kulit pohon akan melalui tahap perebusan dan fermentasi sebelum masuk fase pembentukan dengan peboba.
Cinta Bumi Artisans pun mengembangkan konsep berkelanjutan dengan memberikan kesejahteraan kepada para perajin kain tapa. Hal ini juga membuat harga produk jenama itu lebih mahal dibanding busana umumnya. Satu helai pakaian saja dihargai Rp 800 ribu-1,5 juta.
Selain bahan, desain busana Cinta Bumi Artisans cukup sederhana. Novieta mengatakan penerapan pola dan potongan pakaian yang simpel itu bertujuan memperkecil jumlah sisa kain dalam pembuatannya. Jika masih ada sisa, mereka tetap bisa menggunakannya karena telah mengembangkan berbagai produk aksesori dengan bahan tersebut. Beberapa produk yang muncul dari langkah penghematan ini adalah syal, dompet, tas, juga jurnal yang harganya berkisar Rp 250-450 ribu per unit.
Cinta Bumi Artisans pun mengembangkan sebuah workshop dan kebun bunga di kawasan Ubud, Bali, empat tahun terakhir. Mereka menanam dan mengolah sejumlah bunga menjadi pewarna alami. Selain itu, mereka menggunakan pewarna alami dari limbah dapur, seperti kulit bawang bombai dan biji alpukat.
"Kami juga sedang menggarap desain dari kain tenun Tumanggal, Jawa Tengah, dan kain tenun serat nanas Subang, Jawa Barat," tuturnya.
Meski demikian, Novieta melanjutkan, komitmen terhadap bisnis pakaian berkelanjutan tak mudah dijalankan. Produk mode ini masih memiliki pasar yang terbatas. Busana Cinta Bumi Artisans awalnya hanya bisa dijual kepada teman dan kerabat. Dia pun hanya dapat memasarkan produknya lewat kerja sama konsinyasi dengan beberapa toko di kawasan Ubud.
Penjualan dan nama produk ini mulai mencuat saat ia rutin mengikuti bazar seni dan pameran. Salah satunya pameran busana di sebuah museum di Frankfurt, Jerman. Bisnis ini pun makin berkembang hingga memiliki platform pribadi di Internet. Menurut Novieta, konsumen Cinta Bumi Artisans berasal dari kalangan usia 20-50 tahun. Namun mayoritas kliennya adalah warga negara asing, terutama Amerika Serikat dan Jepang.
“Saat bisa memasarkan secara online, penjualan meningkat tiga kali lipat,” ujar Novieta.
•••
TREN sustainable fashion tumbuh menjadi salah satu pilihan gaya busana masyarakat modern. Konsep busana berkelanjutan ini menguat seiring dengan keterbukaan informasi dan kesadaran masyarakat terhadap kerusakan alam, termasuk akibat sampah dan emisi gas rumah kaca.
Sejumlah lembaga—salah satunya Waste4Change—pernah merilis data jumlah pakaian yang dibuang ke tempat sampah dan laut sudah mencapai 92 ton per tahun di seluruh dunia. Angka ini hampir setara dengan 80 persen dari total produksi industri tekstil modern pada periode yang sama.
Berdasarkan riset YouGov Indonesia, sebanyak 66 persen masyarakat usia dewasa di Indonesia minimal bisa membuang satu pakaiannya per tahun. Bahkan 25 persen di antaranya tercatat membuang lebih dari sepuluh pakaian tiap tahun. Temuan ini senada dengan data bahwa 41 persen generasi muda tengah menjadi konsumen tertinggi industri fast fashion.
Padahal sebagian besar produk tekstil atau pakaian modern menggunakan bahan baku berbasis minyak bumi yang lebih murah dan mudah, seperti poliester, akrilik, dan nilon. Semua bahan ini kerap menimbulkan masalah karena sangat sulit terurai oleh alam.
Industri busana modern juga kerap membuat produk dalam jumlah besar dan cepat. Akibatnya, tak jarang banyak barang tak laku dan terbuang menjadi sampah. Pengolahan bahan-bahan ini pun memerlukan banyak energi. Bahkan kegiatan industri tekstil tercatat sebagai salah satu sumber pencemaran lingkungan, terutama air sungai.
Selain membahayakan alam, industri fast fashion dinilai tak berpihak pada keberlanjutan masyarakat yang terlibat dalam pembuatannya. Para petani, perajin, dan buruh kerap mendapat upah rendah untuk menekan ongkos produksi. Hal ini juga yang kemudian membuat harga busananya lebih murah dan terjangkau.
Sedangkan busana ramah lingkungan yang dikenal dengan sebutan slow fashion menaruh perhatian pada perawatan alam dan kesejahteraan manusia. Setiap brand memiliki ciri dan cara sendiri untuk membuat produknya turut dalam gerakan menjaga lingkungan hidup. Namun hingga kini belum ada ketentuan dan definisi yang lebih detail tentang sebuah produk yang bisa menyandang status sustainable fashion.
•••
SUKKHACITTA, jenama busana batik ramah lingkungan, juga mengusung konsep berkelanjutan dalam setiap tahap pembuatan produknya. Merek garapan Denica Riadini-Flesch ini bahkan memiliki lahan sendiri untuk memastikan semua bahan baku busananya memenuhi standar #maderight—tagar kampanye SukkhaCitta yang memastikan produknya memberikan kesejahteraan kepada perajin, menjaga alam, dan merawat kebudayaan.
Community Partnership SukkhaCitta Arti Purbo mengatakan mereka menanam sendiri kapas yang kemudian dipintal menjadi benang dan bahan baku kain. Selain itu, mereka menanam beberapa jenis tanaman dan bunga yang menjadi bahan baku pewarna alami, seperti daun secang, kunyit, indigo, dan mahoni.
Saat ini SukkhaCitta sudah menggandeng ratusan perajin kain dan batik di lima desa di Jawa Barat dan Jawa Timur. Mereka memastikan semua perajin ini menerima upah layak yang mampu mengangkat kondisi ekonomi masing-masing. Menurut Arti, jenama ini memang lahir dari kepedulian terhadap ketimpangan antara upah perajin dan keuntungan industri busana modern.
Pendiri Cinta Bumi Artisan Novieta Tourisia (kanan) menunjukkan cara membuat motif dengan pewarna alami/Dokumentasi Cinta Bumi Artisan
SukkhaCitta juga mengusung gaya busana untuk jangka waktu panjang. Misalnya, Arti menerangkan, SukkhaCitta tak pernah meluncurkan seri khusus yang merujuk pada waktu, seperti musim. Menurut dia, semua produknya bisa digunakan pada semua musim, waktu, dan acara. Hal ini mencegah kecenderungan konsumen untuk bergonta-ganti busana padahal tak terlalu membutuhkan.
Denica Riadini-Flesch, Arti menambahkan, juga menjadi contoh kampanye #maderight. Selama enam tahun, pendiri SukkhaCitta tersebut selalu memakai pakaian yang sama dari seri pertama merek tersebut, Kupu Outer, dalam banyak kesempatan. Meski berbisnis busana, dia mengklaim, SukkhaCitta tetap mendorong konsumennya bertindak bijak dengan tak membeli pakaian secara berlebihan.
SukkhaCitta juga mendorong pemakaian produknya dalam jangka waktu panjang dengan memberikan garansi seumur hidup kepada tiap pembeli. Arti mengatakan konsumen bisa membawa koleksi SukkhaCitta yang rusak. Mereka akan melakukan perbaikan sehingga pakaian atau aksesori tersebut bisa kembali digunakan. Bahkan layanan ini memberikan jasa perbaikan dari penggantian kancing hingga pewarnaan kembali.
Satu produk pakaian label SukkhaCitta dibanderol seharga Rp 900 ribu-2 juta. Tapi, dalam setiap transaksi, pembeli sudah turut serta dalam kegiatan penanaman pohon gamal di Nusa Tenggara Timur.
Seperti Cinta Bumi Artisans, menurut Arti, SukkhaCitta awalnya sulit menarik minat pembeli. Sebagian besar calon konsumen selalu terpaku pada label harga yang cukup tinggi atau mahal. Selain itu, banyak orang belum memahami kondisi kerusakan lingkungan sehingga kurang bisa memahami visi jenama tersebut.
Masyarakat mulai memahami filosofi busana SukkhaCitta seiring dengan merebaknya kampanye #maderight. Konsumen juga tertarik pada layanan garansi yang memungkinkan mereka tetap menggunakan pakaian yang sama.
"Sebenarnya dalam setiap penjualan kami ingin mengajak pembeli mengetahui dari mana dan bagaimana pakaian itu berasal," kata Arti.
•••
PENDIRI merek busana Sejauh Mata Memandang, Chitra Subyakto, menilai belum ada produk mode di Indonesia yang sudah murni ramah lingkungan. Termasuk produk jenamanya sendiri yang kerap mendapat label sustainable fashion dari masyarakat. Meski demikian, dia tak menafikan gerakan kepedulian terhadap alam dan manusia dalam produksi busana yang sudah sangat berkembang.
"Belum 100 persen. Saya lebih merasa produk ini adalah responsible fashion," ucap Chitra.
Dia mengatakan mulai memperhatikan dampak industri busana terhadap lingkungan pada 2018. Hal ini yang kemudian memicunya bergandengan dengan sejumlah lembaga pegiat lingkungan hidup untuk menggelar pameran busana yang memakai bahan sampah atau limbah plastik. Sejak itu, Sejauh Mata Memandang konsisten membagikan dan menyebarkan kesadaran tentang kepedulian terhadap alam dan manusia.
Chitra pun mulai merancang tiap busananya lebih ramah lingkungan. Salah satu caranya adalah menggunakan bahan linen dan katun yang lebih mudah terurai di alam. Dia juga menciptakan desain pakaian yang mampu memaksimalkan penggunaan kain sehingga minim yang terbuang. Dia pun kerap merancang pakaian atau aksesori menggunakan kain perca atau sisa.
Selain itu, dia membuat busana Sejauh Mata Memandang dengan konsep circular fashion—produk mode yang memiliki manfaat dan masa guna lebih panjang. Sejauh Mata Memandang menerima kiriman pakaian bekas berbahan linen dan katun. Pakaian ini kemudian melalui sejumlah tahap pengolahan menjadi benang, meski fisiknya menjadi lebih kasar. Benang tersebut lantas dijadikan bahan baku kain atau busana baru.
"Sebagian besar busana kan linier. Setelah dibeli, dipakai, lalu dibuang," tutur Chitra.
Salah satu contoh produknya adalah kebaya merah yang digunakan aktivis lingkungan hidup Aceh, Farwiza Farhan, di sampul majalah Time. Menurut Chitra, kebaya tersebut adalah produk daur ulang dari kain perca atau sisa produksi.
Dia akan menampilkan jejeran koleksi baru Sejauh Mata Memandang bertema Baur di Jakarta Fashion Week 2023 yang berlangsung pada 24-30 Oktober 2022. Dalam acara tersebut, dia berencana memamerkan sejumlah baju berbahan dasar pakaian dead stock, sisa pameran, kain perca, dan benang daur ulang.
•••
KONSEP sustainable fashion juga mulai berkembang pada produk aksesori, seperti syal, tas, dompet, sepatu, dan jam tangan. Salah satu penggeraknya adalah Lakanua, merek jam tangan asal Bandung yang menggunakan bahan dasar limbah kayu dan semen. Mereka menggabungkan konsep produksi keberlanjutan melalui teknik upcycle yang meningkatkan fungsi semen menjadi aksesori mahal. Plus konsep daur ulang dengan mengolah limbah atau sisa kayu menjadi arloji.
Pendiri Lakanua, Restu Irwansyah Setiawan, 32 tahun, mengatakan produknya juga menggunakan material ramah lingkungan pada bagian strap atau tali jam tangan. Awalnya, dia mengungkapkan, Lakanua menggunakan bahan kulit sebagai pengait. Tapi desain tersebut membuat pemakainya merasa tak nyaman karena mudah menyebabkan berkeringat.
Akhirnya dia menggantinya dengan kain tenun asli dari masyarakat Lombok, Nusa Tenggara Barat; Jawa Timur; dan Yogyakarta. "Sedangkan mesin dari Jepang, yaitu Myota," kata Restu.
Gerai Sukkha Citta di Distric Senopati, 21 Oktober 2022/TEMPO/Magang/Aqsa Hamka
Restu menambahkan, dia membutuhkan waktu panjang untuk menemukan material yang cocok dalam pembuatan arloji ramah lingkungan. Dia berulang kali melakukan uji coba untuk menemukan bahan yang kuat dalam waktu panjang. Akhirnya dia menemukan kecocokan saat menguji ketahanan tiga jenis kayu, yaitu sonokeling, jati, dan kamper.
Seperti yang lain, penjualan perdana Lakanua terseok. Restu bahkan mencatat tak ada satu pun produk jam tangan tersebut yang laku pada tahun pertama. Lakanua baru mendapat peluang saat bekerja sama dengan Badan Ekonomi Kreatif dua tahun kemudian atau pada 2019. “Itu jackpot pertama, 50 jam tangan laku," ujarnya.
Restu mengatakan produk ramah lingkungan bersandar pada konsumen yang memiliki kesadaran dan kepedulian yang sama. Usaha ini mengambil kebijakan yang berbeda dengan industri umum yang justru mengejar kebutuhan dan keinginan masyarakat.
Meski demikian, kata Restu, usaha yang berkampanye untuk pelindungan alam akan terus berkembang, termasuk bisnis pakaian ramah lingkungan. Hal ini juga yang membuat dia percaya diri merintis seri baru Lakanua yang akan menggunakan bahan baku batu granit dan limbah furnitur atau perabot.
MADE ARGAWA (BALI), AHMAD FIKRI (BANDUNG), FELIN LORENSA (MAGANG)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo