Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

teroka

Tepuk Tangan Bergemuruh di Elbphilharmonie Hamburg  

Franki Raden dan Indonesian National Orchestra berpentas di gedung Elbphilharmonie Hamburg, Jerman, gedung konser musik klasik terbaik di dunia.

23 Oktober 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SESUATU yang luar biasa terdengar ketika pintu ruangan Kleiner Saal gedung Elbphilharmonie Hamburg, Jerman, sedikit dibuka dari luar selepas pukul 19.00, Senin, 17 Oktober lalu. Biasanya pengunjung datang ke gedung ini untuk mendengarkan konser atau resital musik klasik Barat. Elphie—demikian Elbphilharmonie kadang disebut—memang salah satu gedung konser musik klasik terbesar dan terbaik di dunia. Namun pada hari Senin itu suara yang didengar oleh audiens yang nyaris memenuhi kapasitas 550 tempat duduk tersebut bukanlah suara biola, piano, atau timpani.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Begitu pintu masuk dibuka terdengarlah suara tiga buah rebana biang bertalu-talu di tangan Mohammad Fahrurrozi, Arifin Effendi, dan Hendy Kurnia. Mereka menabuh sambil berjalan menuju panggung lalu duduk. Tak lama kemudian muncul pula personel Indonesian National Orchestra lain. Gugun Gumelar memukul kentongan di dekat kecapi. Markus Soegiharto Hartono dan Fanie Gara lincah memainkan kolintang melodi dan tenor. Ida Ayu Wayan Rihandari memukul beduk. Hendri Desmal memainkan didgeridoo, taganing, dan kentongan. Ade Juhana sigap memainkan kendang Sunda. Dwiki Pebriansyah meniup tarompet sementara rebab siap di sisinya. Mereka bergabung dengan trio rebana biang asli Betawi yang masuk panggung pertama sebelumnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Franki Raden, yang merupakan komponis, dirigen, dan pendiri Indonesian National Orchestra, pun bergabung dengan menabuh ceng-ceng Bali. Komposisi pertama mereka, Drumming for the Nation, segera memenuhi udara Kleiner Saal dengan aneka tetabuhan dari berbagai daerah di Indonesia, memainkan irama yang gegap gempita dan harmonis. Satya Cipta, pengalun vokal utama, kemudian bergabung di atas panggung pada komposisi ketiga. “Ini pertunjukan yang sangat signifikan bagi kami. Kalau mau bicara jujur, dunia musik di Eropa sangat kompetitif dan memiliki standar sangat tinggi,” ucap Franki. Komponis dan doktor bidang etnomusikologi lulusan University of Wisconsin, Amerika Serikat, ini mengaku terkejut pementasannya dikategorikan di bawah payung seri Klassik der Welt, Classical Music of the World. “Saya kaget. Kalau kita lihat alat-alat musik kita, kan itu sebenarnya berangkat dari alat-alat musik tradisional, bukan alat musik klasik.”

Pengunjung di gedung Elbphilharmonie Hamburg, Jerman, 17 Oktober 2022. Nelden Djakababa Gericke

Franki Raden mendirikan Indonesian National Orchestra pada 2010 dengan format 35 musikus dari berbagai daerah di Indonesia. Kemudian pada 2016 ia mengembangkan format INO Ensemble yang lebih kecil, yaitu dengan 12 personel. Munculnya gagasan pendirian Indonesian National Orchestra, menurut Franki, ada hubungannya dengan situasi musik di dunia yang didominasi oleh musik Barat. “Hegemoni itu berjalan secara benar-benar kencang. Apalagi dalam dunia yang disebut art music,” tutur Franki. “Tapi saya melihat sebenarnya Barat sudah selesai,” kata dia lagi. Menurut Franki, dunia musik Barat sudah tidak lagi bisa berkembang. Yang bisa dilakukan adalah mendaur ulang materi yang itu-itu juga. “Ide lama dibikin baru. Itu terus. Makanya ia mencari-cari ke Asia, Afrika, dan ke mana-mana. Nah, justru saya pikir ini semacam blessing in disguise. Kekuatan musik Indonesia adalah keberagamannya yang luar biasa. Mengapa kita tidak membangun sebuah orkestra yang bertumbuh dari cita rasa kita sendiri dalam bermusik?”

INO memainkan alat-alat musik tradisional dengan musik yang baru, yaitu musik yang diciptakan oleh Franki Raden berdasarkan alat musik berbagai daerah di Indonesia. “Begitu kita dianggap sebagai musik klasik, tantangannya luar biasa,” tuturnya. Franki bercerita, mereka berlatih giat sekali karena tahu banyak penonton yang datang adalah orang-orang kritis. “Tadi malam yang menonton banyak ahli-ahli musik tradisional. Kritikus pasti juga datang. Kalau mereka anggap jelek, ya, mereka akan bilang jelek.” Bila sudah mendapat penilaian demikian, menurut Franki, akan sulit untuk tampil lagi di Eropa.

Tampaknya pertunjukan Franki dan kawan-kawan lolos dari “ujian”. Aplaus membahana dari komposisi ke komposisi. “Waktu tepuk tangan gegap gempita sesudah lagu pertama, kami berpikir ini awal yang bagus. Sesudah lagu kedua, masih tetap gegap gempita. Ketiga, terus begitu sampai lagu terakhir. Oh, ya sudah. Aman,” ujar Franki. Apalagi pada bagian akhir terbukti penonton meminta tambahan lagu. “Encore, kan. Standing ovation itu sangat jarang dilakukan audiens di sini. Jarang sekali,” Franki menambahkan.

•••

MENGGELAR konser di Elbphilharmonie Hamburg, Jerman, menurut Franki, penuh tantangan teknis. Salah satu tantangannya adalah durasi pertunjukan. “Kami diminta main satu setengah jam nonstop. Aduh, saya pikir, gila juga kami tidak diberikan intermission,” ujar Franki. Tantangan teknis lain adalah persoalan akustik ruang. “Karena alat musik kami kan ada yang keras, ada yang lemah suaranya. Karena itu, beberapa instrumen yang lemah suaranya saya beri amplification, supaya bisa berimbang suaranya,” Franki menjelaskan.

Franki Raden di gedung Elbphilharmonie, Hamburg, Jerman, 17 Oktober 2022. Nelden Djakababa Gericke

Namun, saat pertunjukan, setelan amplifikasi itu malah dinonaktifkan oleh pihak teknisi suara Elbphilharmonie. “Ini karena mereka sangat kritis. Mereka ingin mendengar suara asli instrumen. Karena setiap nada punya yang namanya harmonic spectrum. Mereka ingin mendengar harmonic spectrum itu secara detail. Jadi kalau rebab diberi amplifikasi, suaranya akan mati. Memang suaranya jadi keras, tapi spektrum nada frekuensinya hilang.”

Menurut Franki, teknisi suara Elbphilharmonie mematikan amplifikasi agar audiens bisa merasakan timbre atau warna suara autentik yang membuat rebab atau kecapi terasa orisinal. Keputusan teknis teknisi suara Elbphilharmonie mulanya sempat menyulitkan para pemain di panggung. Para pemain tidak dapat mendengar suara tarompet karena tertutup oleh suara rebana yang keras. “Apalagi kami tidak memakai kertas skor musik. Tapi untunglah kami sudah matang berlatih. Jadi, meski pada saat itu kami tidak dapat saling mendengar dengan baik, kami sudah tahu bagaimana seharusnya bunyinya.” Menurut Franki, keputusan teknisi suara itu justru membuat penonton puas. Dia yakin hasilnya sangat bagus bagi penonton. Itulah yang mereka mau. Bagi dia, pengalaman di Elbphilharmonie ini berbeda dengan pengalaman mereka tampil di negara-negara lain. Belum ada yang standar kualitasnya seketat di Elbphilharmonie, bahkan di Amerika Serikat dan Australia.

Franki Raden dan Indonesian National Orchestra menggelar konser kecil di Rumah Budaya Indonesia, di Tempelhof, Jerman, 19 Oktober 2022. Nelden Djakababa Gericke

Franki tampak senang penampilan Indonesian National Orchestra dianggap memenuhi syarat kualitas musik klasik standar Eropa yang sangat ketat. Franki mengamati dalam empat puluh tahun terakhir ini tren popularitas genre world music (musik dunia) terus meningkat, bahkan menempati porsi pasar yang lebih besar daripada musik klasik. “Pasar world music ini nilainya sebesar US$ 6,5 miliar. Kalau kita tidak diakui atau bahkan tidak dikenal di level dunia tersebut, kita tidak akan dapat mengambil bagian dalam pasar musik dunia ini,” ujarnya. Keberhasilan INO di Hamburg baginya adalah upaya ambil bagian dalam pasar itu. Sesudah tampil di Elbphilharmonie, orkestra diharapkan lanjut menggelar pertunjukan di lokasi-lokasi lain dengan kelas kualitas yang sama.

Pada Rabu malam, 19 Oktober lalu, setelah dari Hamburg, Indonesian National Orchestra menggelar konser kecil di Indonesisches Kulturhaus atau Rumah Budaya Indonesia di bilangan Tempelhof di Berlin. Ruangannya jelas jauh lebih kecil daripada Kleiner Saal di Elbphilharmonie karena hanya mampu memuat 80 tempat duduk. Kualitas akustiknya pun tidak bisa dibandingkan dengan ruangan konser di Hamburg. Namun suasana di Rumah Budaya Indonesia itu pun menjadi khas dan terasa lebih intim. “Hari ini kami bermain di rumah sendiri,” ucap Franki Raden dalam sambutan singkatnya. Sebagaimana di Hamburg, tepuk tangan pun bergemuruh dari satu komposisi ke komposisi lain.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus