Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teroka

Dia yang Telah Pergi tapi Tak Pernah Pergi

Buku Mencintai Munir tak hanya menggambarkan cinta Suciwati kepada mendiang Munir Said Thalib, juga cinta Munir kepada kemanusiaan dan kehidupan.

23 Oktober 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BUKU Mencintai Munir bukan buku yang hanya menggambarkan cinta Suciwati kepada mendiang Munir Said Thalib. Buku ini juga menggambarkan cinta Munir terhadap kemanusiaan dan kehidupan. Secara sederhana dan mengalir, Suciwati dapat menceritakan kasih sayang di antara mereka dan kasih sayang mereka kepada orang-orang yang tak bersuara dan terpinggirkan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Perjuangan Munir dan Suciwati dalam menyuarakan hak-hak buruh di masa kelam Orde Baru, sebagaimana dijelaskan pada bagian awal buku ini, menunjukkan kesungguhan dan komitmen mereka dalam perjuangan hak asasi manusia. Dari advokasi kasus buruh PT Sido Bangun hingga kasus Marsinah, Munir dan Suciwati berjalan dalam kesepian menyuarakan nasib kaum buruh.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesungguhan mereka menghadirkan makna bagi kita bahwa hak asasi manusia tidak datang dengan sendirinya, melainkan butuh perjuangan untuk mendapatkannya. Jadi kita jangan pernah berpikir negara dan kekuasaan akan dengan baik hati mau memajukan dan menegakkan HAM. Hanya melalui perlawanan dan perjuanganlah hak asasi mungkin diraih. Saya mengatakan "mungkin diraih" karena lihat saja perjuangan Aksi Kamisan yang sudah sekian ratus kali digelar dan melakukan perlawanan tapi hingga kini tak ada jawaban negara untuk memberi keadilan bagi korban.

Dalam spektrum pemaknaan yang lebih luas, buku ini juga menegaskan kembali nasib hak asasi manusia yang masih terabaikan dan jalan penghormatan terhadap HAM yang masih panjang dan berliku. Tidak perlu kita mempelajari buku dan teori hak asasi manusia untuk memahami tentang HAM. Cukup dengan membaca buku ini kita bisa memahami hak asasi manusia dan pentingnya penghormatan serta perjuangan HAM.

Buku ini bisa menjadi refleksi yang dalam bagi kita, terutama bagi saya. Melalui buku ini, saya seperti ditampar agar tidak bingung dan merasa frustrasi melihat kondisi sosial-politik yang tak berujung dan tak menentu. Kadang muncul rasa lelah untuk membicarakan penegakan HAM karena realitas politik yang tidak mendukung serta bayangan akan ketakutan dan kekalahan.

Dengan membaca buku ini, bayangan akan ketakutan dan kekalahan itu harus jauh dibuang dalam alam pikir kita. Sebab, buku ini memberi makna yang dalam bahwa upaya memperjuangkan suatu hal belum tentu akan menang dan berhasil. Bakal selalu ada kekalahan dalam sebuah perjuangan. Munir dan Suciwati beberapa kali kalah saat memperjuangkan hak-hak buruh, seperti dalam hal upah atau ketika buruh terkena pemutusan hubungan kerja. Tapi mereka tidak berhenti. Mereka tetap berjuang dalam keheningan. Kekalahan adalah sebuah kemungkinan sehingga kita tak perlu takut kalah. Kita justru semestinya takut kekalahan itu bakal membuat kita berhenti berpikir dan berjuang, yang dapat membawa kita pada ketidakpastian dan kebingungan.

Sebenarnya sulit bagi saya untuk menjelaskan buku ini. Penyebabnya bukan bahasanya yang rumit, melainkan lantaran perjalanan kisahnya yang terlalu dalam, tentunya sangat dalam bagi Suciwati dan keluarganya, juga buat orang-orang yang rindu akan keadilan dan kebenaran. Membaca buku ini, kita akan melihat sosok Munir yang kecil tapi tak kenal lelah dan letih membawa sepeda motornya memperjuangkan keadilan untuk korban. Walau risiko kekerasan pernah ia rasakan, ancaman pengeboman ia hadapi, berbagai teror ia terima, ia tak berhenti membicarakan kebenaran dan memperjuangkan keadilan. Munir adalah sosok voice of the voiceless sejati, sosok yang menyuarakan suara-suara yang terpendam dan tak bersuara. Tak salah orang tuanya memberinya nama Munir, yang berarti “cahaya”. Sebab, Munir memang memberikan cahaya buat kita, yakni cahaya kebenaran dan keadilan.

Beberapa kali saya membaca bab buku ini tentang Suciwati yang marah dan mengeluh kepada Munir karena teman-temannya di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Malang, Jawa Timur, selalu mengganggu ketika Munir berada di Malang untuk menghadiri diskusi-diskusi mereka. Kata Suciwati dalam buku ini: "HMI istri pertama Munir." Perasaan Suciwati itu tak bisa disalahkan karena Munir memang milik banyak orang sehingga jiwa dan raganya selalu dicari dan dijemput agar memberi dan menyampaikan kata-kata yang membuat kita termangu dan sekaligus terinspirasi. Walaupun yang menjemput Munir anak-anak mahasiswa dan tujuannya menghadiri acara mahasiswa, dia tak lelah datang meski sudah menjadi sosok yang terkenal dan terpandang. Ini yang membedakan Munir dengan yang lain. Ia selalu menghargai siapa pun yang mengundang.

Suciwati saat launching karyanya buku Mencintai Munir di Kemang, Jakarta, 14 September 2022/TEMPO/Febri Angga Palguna

Yang paling menarik dari tulisan Suciwati adalah kisah tentang pergulatan pemikiran Munir yang berubah dari pandangan beragama yang "keras" menjadi inklusif dan membela rakyat akibat perdebatan Munir dengan Malik Fajar, mantan Rektor Universitas Muhammadiyah Malang. Kata Malik Fajar: "Kenapa kamu bawa senjata bersama teman temanmu, berlari ke mana-mana untuk bertarung menggunakan agama demi mengontrol orang lain? Allah Subhanahu wa ta’ala tidak membutuhkan pengawal seperti kalian." Ucapan itulah yang membuat Munir berubah dan berjalan tegak perlahan meninggalkan cara beragama yang keras dan memperjuangkan masyarakat yang tertindas.

Tantangan terberat Munir dalam memperjuangkan keadilan adalah menghadapi keluarganya sendiri, khususnya orang tuanya dan Suciwati. Sejak awal mereka menyampaikan kekhawatiran akan langkah-langkah perjuangan itu kepada Munir. Puncaknya adalah ketika teror bom menimpa rumah Munir di Batu, Jawa Timur. "Keluarga memang mencemaskanmu dan aku pun pernah tebersit keinginan agar kamu pensiun saja dan kita tinggal di Batu,” ucap Suciwati. Munir menjawab kekhawatiran semua orang, "Kalau risiko orang hidup adalah mati, mau nggak ngapa-ngapain juga bakal mati. Berjuang melakukan sesuatu yang berguna, mati juga." Suciwati menjawab, "Kalau jalan sunyi itu adalah pilihan hidupmu, aku hanya akan selalu ada untuk mendukungmu.”

Ada hal yang dilupakan banyak aktivis atau pegiat demokrasi tapi dilakukan Munir. Keberhasilannya atas suatu hal tak membuatnya lupa akan tempat ia pernah berpijak. Bahkan langkah-langkahnya juga diikuti solidaritas nyata dalam membantu ekonomi korban. “Luar biasa” adalah kata yang pantas bagi Munir; hidupnya dijalani untuk keadilan korban, nyawanya dipertaruhkan buat kebenaran, rezekinya pun ia sedekahkan kepada keluarga korban dan kawan-kawan yang membutuhkan. Padahal Munir membutuhkan cukup banyak biaya untuk keluarga dan anaknya, terutama Soultan Alif Allende. Tapi dia tetap saja bersahaja dan beramal untuk korban, kawan, dan lembaga. 

Lihat saja uang hasil penghargaan Munir sebesar Rp 500 juta yang ia serahkan ke kantor Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras). Saya pun pernah mengalami kebaikan Munir. Pada awal dia meminta saya bekerja di Imparsial, saya bingung ketika harus pergi ke Jakarta tanpa uang. Munir memahami kegelisahan saya dari jauh walau saya tidak berbicara dengan dia tentang keresahan itu. Lewat telepon Munir berkata, "Kamu besok ganti saya, ya, jadi narasumber di acara diskusi publik di Cilacap untuk bicara konflik Agraria.” Alhamdulillah, saya berangkat dan setelahnya mendapat amplop hasil menjadi narasumber yang cukup untuk pegangan sebulan selama bekerja di Imparsial.  

Munir memikirkan kawan dan korban. Solidaritasnya kepada kita tak berbatas. Itu yang sering saya rasakan hilang di masa kini. Solidaritas perkawanan dalam hal formal dan informal makin terkikis.


Judul: Mencintai Munir
Penulis: Suciwati
Tebal: 360 halaman
Harga: Rp 150.000


Munir sosok yang sederhana dan bersahaja. Sepeda motornya menjadi kawan sejati saat ia menapaki relung-relung sunyi keadilan. Sepeda motor itu menjadi saksi bisu penderitaan dan kepedihan korban. Munir tidak pernah ingin dikenang dalam sebuah prasasti dan dia pun tak mau dibuatkan jalan jika telah pergi. Tapi masyarakat berkata lain. Jasadnya boleh pergi, tapi terdapat masjid di bumi Serambi Mekah yang bernama Munir, Jalan Munir di Belanda, tembok-tembok jalan di Jakarta yang berhias mural wajah Munir, serta patung Munir yang berdiri di kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Kontras, dan Imparsial. Semua itu menjadi penanda bahwa "Dia Telah Pergi, tapi Tak Pernah Pergi”.

Pada 7 September 2004, berita menyedihkan itu datang. Tak ingin rasanya saya mendengar, tapi berita duka itu tak terbendung. Puluhan orang berdatangan untuk menyambut Munir. Saya menyaksikan sendiri bagaimana mereka menantinya dengan wajah murung penuh kesedihan. Hanya sebentar ia singgah di kampus almamaternya di Universitas Brawijaya karena perlahan jasadnya dipersiapkan untuk meninggalkan kita. Pada hari kedukaan itu, tubuhnya perlahan masuk ke liang lahad dan beragam suara tangisan pecah tak tertahankan. Saya hanya memandang dari jauh karena kerumunan itu membuat saya bersabar untuk berdiri jauh melihat tubuh kecilnya masuk ke lubang.

Kini Suciwati menuliskan kembali kisah Munir. Berat sesungguhnya membaca buku ini bagi saya karena terlalu dalam kisahnya memberi cahaya kepada kita.

Maafkan kami Cak, yang belum sanggup menangkap dalang pembunuhanmu. Negara ini lupa dan abai kepada dirimu. Padahal banyak jejak langkah yang telah kau buat untuk negeri ini. Mereka hanya berebut kuasa tanpa disertai makna mengapa mereka harus berkuasa. Perjuangan Munir Said Thalib mungkin tak diketahui akan bertepi di mana, tapi menerima kekalahan tentu bukan pilihan. Selamat jalan, Cak. Kau telah pergi, tapi sesungguhnya tak pernah pergi. Kami merinduimu.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Al Araf

Al Araf

Ketua Centra Initiative dan dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus