Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PARA eksekutif muda itu berkumpul di Citywalk, sebuah plaza di kawasan Sudirman, Jakarta Selatan, Rabu malam dua pekan lalu. Mereka tampak matang dan berduit. Maklum, kesembilan orang berusia 30-45 tahun itu rata-rata manajer profesional di berbagai bidang usaha. Ada yang bekerja sebagai konsultan industri perkapalan atau mengelola perusahaan event organizer.
Mereka tampak serius, tapi bukan tengah membicarakan bisnis di masa krisis atau situasi politik menjelang Pemilihan Umum 2009. Yang sedang dibicarakan adalah agenda penting komunitas Lapanpuluhan, komunitas yang mewadahi para penggemar masa 1980-an—musik, film, makanan, dan lain-lain. Ya, mereka berencana membuat acara ulang tahun ketiga komunitas ini, Januari mendatang. Seperti dua kali ulang tahun sebelumnya, anggota komunitas juga ingin membuat acara heboh bertema 80-an.
Komunitas Lapanpuluhan memang merupakan salah satu pertanda menguatnya tren era 1980-an. Bermula dari blog dan berkembang menjadi mailing list (milis), selama tiga tahun jumlah anggota komunitas ini berkembang menjadi 3.000-an orang, dari dalam dan luar negeri.
Sebagian dari anggota komunitas ini—yang berumur belasan tahun pada periode 1980-1990—kini sudah mencapai usia 30 hingga 40 tahunan. Namun tak jarang anak-anak muda yang kini masih duduk di bangku sekolah menengah atas atau masih kuliah turut bergabung dalam komunitas ini. ”Mereka suka pada lagu-lagu yang ngetop pada 1980-an. Kata mereka, lagu itu tetap enak didengar,” tutur Baihaqi, konsultan sebuah industri perkapalan yang menggawangi milis Lapanpuluhan.
Bagi anggota komunitas yang sudah berusia matang, ada saja cara mereka untuk bertemu. Kreativitas mereka untuk ”kopi darat” berkembang sejalan dengan makin menjamurnya penggemar tren 80-an. Sekali seminggu, misalnya, sebagian dari mereka bertemu untuk bermain tenis di lapangan kompleks Kejaksaan Agung, Jakarta Selatan. Memang, yang main tenis lapangan biasanya cuma beberapa gelintir orang. ”Tapi yang datang sekadar ngobrol sesama anggota komunitas bisa 20-an orang,” kata Eddy Sumarman, salah satu anggota komunitas ini.
Ketika bertemu, topik pembicaraan yang seru adalah tentang masa 1980-an. Misalnya, tebakan yang sering diulang-ulang: ”Siapa ibu petinju Ellyas Pical?”, ”Siapa musuh bebuyutan pebulu tangkis Icuk Sugiarto?, ”Siapa nama artis pacar si Boy?” Biasanya mereka sudah hafal jawabannya: ”Mama Ana”, ”Yang Yang”, dan ”Paramitha Rusady”. Toh, pertanyaan semacam itu masih mengulik tawa di antara mereka, apalagi bila ditambahi cerita lucu yang beredar di masa lampau itu. Tak tertutup kemungkinan mereka juga bicara tentang topik-topik hangat terbaru, termasuk bisnis. Pokoknya, yang penting kumpul.
Mereka juga pernah menggelar lomba Lapanpuluhan Idol di Barcode Cafe, Kemang, Jakarta Selatan, Agustus lalu. Acara ini digelar untuk memperingati hari ulang tahun kemerdekaan Republik Indonesia.
Pesertanya memang hanya sebelas. Namun itu tak mengurangi kemeriahan acara tersebut. Karena anggota komunitas yang jadi peserta, mereka wajib tampil dengan lagu dan gaya busana 1980-an. Rinto A. Navis, salah satu penggiat komunitas yang kini bekerja sebagai manajer akuntansi di Grey Advertising, muncul sebagai pemenang. Laki-laki yang kadang menjadi pendongeng di toko buku Gramedia ini tampil dengan lagu Careless Whisper yang dilantunkan George Michael ketika masih bergabung di Wham. ”Saya beli kostum baru, khusus untuk acara itu,” ujar putra penulis novel Robohnya Surau Kami, A.A. Navis, ini.
Kini Rinto menjadi satu dari tujuh vokalis tetap kelompok band Lapanpuluhan yang beranggotakan anggota komunitas tersebut. Ketujuh vokalis itu punya karakter suara yang beragam, mulai jazz, bossas, dangdut, pop kreatif, disko, hingga rock. Ini dimaksudkan agar semua jenis lagu yang ngetop pada 1980-an bisa mereka bawakan.
Tentu saja mereka bukan penyanyi atau sekumpulan anak muda yang punya cita-cita membentuk band untuk bersaing dengan Ungu atau D’Masiv, misalnya. Mereka punya pekerjaan dan karier sendiri. Namun, demi memuaskan dahaga penggemar lagu-lagu era 80-an di setiap acara kumpul-kumpul, band Lapanpuluhan ini rela tampil prima. Dalam perayaan ulang tahun kedua komunitas ini April lalu, beberapa artis kondang masa itu, seperti Keenan Nasution, Dani Mamesah, Ricky Basuki, Ikang Fawzi, dan Ria Resty Fauzi, berkolaborasi dengan band ini.
Untuk menikmati kenangan indah tersebut, para pengikut tren kembali ke 1980-an tak wajib mengeluarkan uang layaknya sebuah organisasi. Maklum saja, komunitas ini sengaja dibentuk tanpa ketua dan pengurus. Anggotanya pun bebas keluar-masuk tanpa persyaratan, kecuali: menyukai tren 80-an. ”Jadi tidak ada iuran anggota,” kata Baihaqi.
Ketika bertemu, mereka biasanya hanya mengeluarkan uang untuk makan atau minum—dan itu bukan masalah. Sesekali mereka juga membeli mug, kaus, dan stiker bertema 80-an yang dijual Baihaqi dan beberapa penggiat milis.
Hasil penjualan itu tak langsung masuk kantong pribadi, tapi dijadikan uang kas. Nah, uang inilah yang dipakai sebagai modal awal menggelar berbagai acara, seperti bakti sosial bertajuk Lapanpuluhan Peduli Indonesia di kawasan Penjaringan, Jakarta Utara, Agustus lalu. Para anggota kemudian menyumbang uang, pakaian bekas, dan bahan kebutuhan pokok. Mereka juga menjual murah paket bahan pokok dengan harga Rp 5.000 saja. Mereka tak perlu bayar jasa sepuluh dokter beserta obat yang dibagikan kepada 400 orang. Maklum, para penggerak komunitas yang rata-rata manajer dan punya jaringan luas tersebut begitu mudah mengumpulkan semua itu.
Karena komunitas ini makin besar dan rata-rata anggotanya adalah kaum yang sudah bekerja—juga banyak yang kaya—pasar pun mulai melirik. Forbidden City Resto di Jalan Wijaya, Jakarta Selatan, sudah menjadi tempat singgah tetap penggemar tren 80-an karena punya acara bertema era tersebut, Dejavu, yang digelar tiap Jumat malam.
Tren kembali ke 80-an ini memang bukan hanya terjadi di sini, melainkan telah mengglobal. Lihatlah, reuni dan tur keliling dunia kelompok musik era 1980-an, The Police dan Genesis. Begitu juga dengan beredarnya film baru bernuansa 1980-an, seperti Music & Lyrics dan Transformers yang diangkat dari serial film kartun anak-anak pada 1984-1987.
Akankah tren ini bertahan lama? ”Feeling saya bakal tahan lama, karena lagu-lagunya memang enak, sih. Beda banget dengan era 1970-an atau 1990-an,” kata pembawa acara Zona 80 di Metro TV, Ida Arimurti.
Lagu-lagu dari para penyanyi masa itu, kata Ida, sangat bagus karena sampai sekarang masih enak dinyanyikan kembali. Masing-masing lagu dari berbagai jenis musik punya ciri khas. Untuk pop kreatif, misalnya, ada Vina Panduwinata, Utha Likumahua, Deddy Dhukun, dan Dian Pramana Poetra. Ada lagi Gank Pegangsaan atau Fariz R.M. dengan kelompok musik Symphony, Transs, Wow, atau Chaseiro yang punya ciri lain lagi. Untuk barisan penyanyi melankolis, ada nama seperti Obbie Mesakh dan Rinto Harahap.
Di luar itu, menurut Eddy dan Rinto, yang menikmati 1980-an adalah mereka yang merindukan kehidupan sangat nyaman yang kini tinggal menjadi kenangan. Harga-harga barang masih murah lantaran kurs dolar Amerika Serikat pada paruh kedua 1980-an hanya Rp 1.600. Pada awal 1980 bahkan hanya Rp 600. Bandingkan dengan kurs akhir pekan ini yang mencapai Rp 12 ribu. ”Waktu itu negara tidak banyak masalah,” kata Rinto.
Ya, alasan kedua penggiat komunitas itu bisa saja benar atau salah. Yang jelas, mengenang masa 80-an menjadi jeda menyegarkan bagi kaum yang kini sudah mapan dan punya uang. Mereka sudah mampu ”membeli kenangan” ketika mereka jatuh cinta dan pacaran yang mungkin di masa itu mereka masih miskin atau hidup pas-pasan.
Nur Hidayat, Iqbal Muhtarom
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo