Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BERLIN dari ketinggian kubah gedung Parlemen Federal Jerman. Matahari musim gugur pada September lalu tampak terang. Kadang sinarnya mencorong, terasa menghangatkan; kadang redup, membuat embusan angin terasa menusuk kulit. Dari atas sini, panorama kota yang hijau terlihat terbentang sampai jauh. Sungai Spree yang membelah kota tampak mengalir tenang.
Tak banyak gedung pencakar langit di Berlin. Yang ada hanya sejarah yang berkelanjutan: gedung-gedung yang hancur pada akhir Perang Dunia II kini berdiri kembali, persis seperti aslinya. Tepat di bawah kupola kaca bening setinggi 36 meter ini tampak parlemen Jerman sedang bersidang membahas bujet. Ruang utama gedung parlemen beratap langsung ke bagian kubah bening tadi. Setiap Rabu, pukul 09.30 pagi, misalnya, 15 menteri bertemu. Mengelilingi meja kayu oval, lengkap dengan kursi hitamnya, mereka membahas aneka masalah. Remang-remang, kegiatan mereka bisa diintip.
Rakyat Jerman, siapa pun dia, boleh menyaksikan segalanya yang berlangsung di bawah atap blenduk, sidang parlemen. Hanya diperlukan syarat administrasi dan protokoler yang tidak rumit untuk bisa ikut sidang. ”Parlemen Jerman sangat terbuka. Tidak ada sidang tertutup,” kata Dirk Asendorpf, jurnalis senior Jerman.
Gedung beratap cembung itu oleh rakyat Jerman dikenal bernama Reichstag. Sebenarnya, sekarang namanya telah berubah menjadi Bundestag atau Parlemen Federal Jerman. Tapi Reichstag telanjur menancap dalam ingatan dan lidah orang Jerman. Berbeda dengan gedung Dewan Perwakilan Rakyat di Senayan, Jakarta, yang dibatasi pagar setinggi tiga meter, gedung parlemen Jerman tidak berpagar. Reichstag bisa diakses dari segala arah. Di depannya, taman berumput hijau. Di sana, orang boleh sekadar tiduran di rumput atau membentuk kelompok untuk mengobrol sesukanya.
Gedung itu terbuka untuk umum. Kita cuma butuh menunggu sebentar untuk masuk. Di halaman depan, tiap hari orang mengular, antre untuk masuk ke kupola. Hanya 300 meter di depannya, agak serong ke kanan, berdiri bangunan berarsitektur kontemporer, berpagar jeruji besi setinggi dua meter. Di sini Kanselir Jerman Angela Merkel dari Partai Uni Kristen Demokrat (CDU, Christian Democratic Union) berkantor. Tak ada tentara atau polisi berdiri di gerbang pintu. Orang pun bebas berfoto ria persis di dekat pagar gedung kepala pemerintahan ini. Sesuatu yang tak mungkin dilakukan sembarang orang di depan Istana Presiden di Jakarta.
Gedung tempat Angela Merkel bekerja itu cenderung transparan. Arsitektur bangunan berperspektif ramah lingkungan. Pohon dibiarkan tumbuh di atas pilar bagian depan. Tumbuhan merambat juga bebas menjarah sebagian dinding kantor. ”Ia sangat peduli pada lingkungan,” kata Dirk. Bahkan Merkel pernah menjadi menteri lingkungan.
Yang menarik, kanselir perempuan ini sering pergi tanpa pengamanan dan protokoler. Orang biasa menyaksikan Merkel pada akhir pekan berbelanja di supermarket atau toko baju. Ia pun pergi ke restoran tanpa harus mengganggu pengunjung lain. Tentu, Merkel mendapat pengawalan demi keamanannya, tapi dilakukan secara tertutup sehingga tidak sampai mengganggu hak orang lain.
Setelah Tembok Berlin runtuh, Jerman kini sangat terbuka. Ya, Jerman setelah penyatuan merupakan salah satu tempat pembelajaran hak asasi dan demokrasi.
Betapapun menampakkan kondisi ideal, Jerman tetap tak bisa menyembunyikan bahwa keberhasilan yang dicapainya itu diperoleh dengan biaya mahal. Setidaknya, begitulah catatan Spiegel, majalah terkemuka Jerman. Menurut Spiegel, ongkos penyatuan Jerman setidaknya telah menelan 1 miliar euro atau sekitar Rp 14 triliun. Uang ini mengalir dari Barat ke Timur. Keajaiban ekonomi Jerman Barat saat ini pun masih diatur dari Bonn. ”Mahal harga yang harus dibayar setelah Jerman bersatu,” kata Hans-Jurgen Bosel, manajer senior program di bawah Kementerian Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan Jerman.
Orang-orang di bekas Berlin Barat memang kecewa, karena terlalu banyak duit untuk mengongkosi infrastruktur Berlin Timur. Padahal, di mata mereka, uang sebesar itu mestinya bisa untuk membangun pusat-pusat pelayanan sosial di Berlin Barat. Sebaliknya orang Berlin Timur menaruh banyak harap. Setelah Jerman bersatu, masyarakat bekas Berlin Timur mengharap mudah mendapat pekerjaan. Tapi, karena pendidikan di Jerman Timur tidak memadai, mereka tak mampu bersaing dengan tenaga kerja asal Berlin Barat.
Delapan belas tahun silam, dua tetangga itu bersatu. Tapi perbedaan mentalitas dan bawaan di antara warga keduanya lumayan kentara. Penduduk asal Jerman Timur yang dulu biasa pasif, menunggu inisiatif pemerintah komunis yang paternalistik, kini tampak santai di taman-taman yang berserak di Berlin. Mereka yang sewaktu penyatuan pada 1990 berusia 40-an kini mulai berjalan tertatih, berpegangan tongkat atau naik kursi roda bermesin.
Sebaliknya penduduk asal Jerman Barat. Di usia 60-an tahun mereka masih tampak agresif, tidak banyak mengandalkan pemerintah.
Demografi menjadi isu penting dalam negara yang mengusung kredo kesejahteraan ini. Setidaknya, separuh dari 83 juta penduduknya berusia lebih dari 60 tahun. Jumlah penduduk usia di bawah 20 tahun lebih sedikit dibanding di atas 60 tahun. Sejak lepas dari perang, menurut Sussane Flenger, profesor komunikasi politik yang bekerja untuk Christian Democratic Union, orang Jerman enggan punya anak. ”Mereka bilang punya anak bikin repot,” katanya.
Globalisasi yang menerjang Jerman juga tak selalu menguntungkan. Barang-barang berkualitas yang dulu diproduksi di Jerman kini diproduksi dengan harga murah di Cina, Korea, dan Jepang. Juga di tetangganya, negeri bekas komunis, Republik Cek.
Persoalan sensitif lain adalah imigran Turki, yang jumlahnya mencapai lima juta. Banyak penduduk Jerman asli, kata Sussane, melihat para imigran asal Turki tidak mendatangkan manfaat bagi Jerman. Mereka malah menjadi beban. Mereka tiba dari daerah-daerah miskin Turki dekat Armenia yang berpendidikan rendah.
Warga Turki juga dipandang tidak membaur dalam kehidupan sosial Jerman. Tak sedikit, kata Sussane, perempuan Turki yang telah bermukim di Jerman 40 hingga 50 tahun tidak bisa berbahasa Jerman. Kultur Turki bahwa perempuan lebih banyak mengurus rumah tangga masih kuat. Orang tua Turki, misalnya, sampai sekarang masih banyak yang melarang anak perempuannya ikut kegiatan ekstrakurikuler olahraga atau kepanduan.
Bau kuat bawang Bombay, yang selalu menemani makanan Turki, sempat menjadi persoalan. Tapi kini orang Jerman boleh dibilang terbiasa dengan aroma bawang. Ute Weber, mahasiswa Jurusan Antropologi Sosial Universitas Berlin, malah tidak canggung menyebut Doner Kebab ala warung Turki sebagai salah satu makanan khas Berlin. ”Belum ke Berlin kalau tidak pernah mencoba kebab,” katanya.
Orang-orang Turki inilah yang banyak menghidupkan suasana malam di Berlin. Mereka membuka warung hingga menjelang subuh. Jika lapar di tengah malam, restoran Turki jadi persinggahan. Orang Turki gigih, mirip orang Lamongan atau Minang yang banyak membuka warung makan hingga tengah malam di Surabaya, Jakarta, Bali, dan hampir seluruh kota besar di Jawa.
Di antara orang-orang ultranasionalis, persoalan orang Turki dipolitisasi dan dikembangkan menjadi sentimen anti-Islam. Hadirnya sejumlah masjid yang mencolok menimbulkan persoalan sosial dengan warga di sekitarnya. Orang Jerman tidak paham mengapa bangunan itu harus besar, apalagi mereka juga tidak mengenal Islam. Pada akhir September ini, kalangan sayap kanan Jerman menggelar konferensi membendung Islam. Sesuatu yang sebenarnya tidak banyak diinginkan oleh mayoritas orang Jerman. Ini dibuktikan, setiap muncul sentimen terhadap agama atau ras tertentu, sebagian besar warga Jerman yang lain pasti akan bereaksi. Mereka tidak mau mengulang sejarah kelam Hitler dan Nazi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo