Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA – Sebagai penyandang disabilitas psikososial, Ati Maulin bergantung pada obat. Harganya, bagi banyak orang, bisa bikin jantung berdegup cepat. "Dulu per dua pekan sekitar Rp 1,5 juta," kata perempuan berusia 31 tahun itu kepada Tempo, kemarin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Setelah memegang kartu Badan Penyelenggara Jaminan Sosial atau BPJS Kesehatan pada 2014, dia penasaran apakah kartu itu juga berlaku untuk pengobatan kesehatan mental. Rumah sakit tempat dia berobat tidak menerima BPJS, tapi ada rumah sakit lain yang kabarnya bisa menerima pasien jaminan BPJS dengan gangguan jiwa. Di rumah sakit yang dituju, betul bahwa biaya konsultasi dokter ditanggung BPJS, tapi obatnya kudu ditebus sendiri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Maulin terus bergeser hingga mendapatkan rumah sakit dengan biaya konsultasi dokter dan obat gratis bagi pasien BPJS, meskipun ada batasan bulanan untuk obat. Lebih dari itu, dia harus membayar. Ia juga harus membayar biaya konsultasi psikologi, sedangkan biaya konsultasi psikiater gratis. Namun, jelas, beban Maulin jauh berkurang.
Ilustrasi sakit mental. Shutterstock.
Wajar banyak penyandang disabilitas psikososial seperti Maulin yang terlambat menyadari manfaat tersebut, karena memang tidak ada ketentuan yang mengatur soal pengobatan kesehatan mental secara eksplisit. Penanganan gangguan jiwa bagi peserta Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS) baru tertera pada Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018. Pasal 52 ketentuan tersebut menyatakan penyakit kejiwaan masuk dalam penjaminan.
Ini merupakan kabar baik bagi penyandang disabilitas psikososial. Banyak di antara mereka yang berasal dari keluarga berpenghasilan rendah dan tak mampu berobat secara mandiri di rumah sakit. Karena itu, balai pengobatan kejiwaan menjadi pilihan. Masalahnya, seperti temuan Perhimpunan Jiwa Sehat, sejumlah lembaga kesejahteraan sosial memperlakukan orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) secara tidak manusiawi. Kaki mereka dirantai serta dipaksa hidup di kamar yang ruang tidur, makan, dan buang hajatnya tidak terpisah. Demikian temuan Perhimpunan Jiwa Sehat yang disampaikan kepada Tempo.
Dhede, pendamping dari Perhimpunan Jiwa Sehat, mengatakan dugaan perlakuan buruk itu bahkan dilakukan setelah keluarga membayar sekitar Rp 2 juta per bulan. Menurut dia, terminologi rehabilitasi di panti sosial tersebut sebatas rukiah sepekan sekali. Ada juga dokter yang datang untuk menyuntik, tapi sonder konsultasi. Semua penghuni mendapat suntikan dari kemasan dan dosis yang sama.
Ati Maulin sempat hendak dirawat di panti serupa—dia enggan menyebutkan nama dan lokasinya. Namun ia sempat melihat perlakuan yang dialami penghuninya dan memilih mundur. Sahabatnya masuk panti bertarif 15 juta per bulan itu. "Tapi tidak ada hasilnya," kata dia.
Karena itu, Maulin dan Dhede menyarankan orang dengan disabilitas psikososial berobat ke rumah sakit. Jika enggan masuk rumah sakit jiwa, bisa ke rumah sakit umum yang memiliki layanan penyakit kejiwaan.
Mereka juga mengajak orang dengan disabilitas psikososial tidak berkecil hati jika harus berobat kejiwaan. "Kami sama dengan yang lain. Jika sedang sakit, masuk rumah sakit. Dipisahkan dulu dari masyarakat. Jika sudah sembuh, ya, kembali lagi seperti biasa," ujarnya.
REZA MAULANA | ANIS SANIA (MAGANG)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo