Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Berita Tempo Plus

Menggerakkan Minat Baca dari Rumah di Desa

Perpustakaan mini menjamur hingga desa di Toraja Utara, Sulawesi Selatan. Tujuannya sama, meningkatkan minat baca.

6 Februari 2024 | 00.00 WIB

Loka Banne di Jalan Pongtiku, Desa Karassik, Kecamatan Rantepao, Kabupaten Toraja Utara, Sulawesi Selatan. IG loka_banne
Perbesar
Loka Banne di Jalan Pongtiku, Desa Karassik, Kecamatan Rantepao, Kabupaten Toraja Utara, Sulawesi Selatan. IG loka_banne

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Ringkasan Berita

  • Perpustakaan mini, yang menjamur di Jakarta, juga bermunculan di kota-kota kecil di luar Jawa, termasuk Rantepao, Toraja Utara.

  • Pemilik tergerak membuka perpustakaan pribadi mereka untuk publik demi menumbuhkan minat baca anak-anak muda di sana.

  • Komunitas juga menjadi modal utama perpustakaan JBS area persawahan di Bantul, Yogyakarta.

Rumah berdinding kayu yang nyaris lapuk di sana-sini itu berdiri di Jalan Pongtiku, Desa Karassik, Kecamatan Rantepao, Kabupaten Toraja Utara, Sulawesi Selatan. Papan berkelir dominan putih bertulisan "Loka Banne" bergambar tumpukan buku menutupi bagian atas jendela depan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Rumah di pinggiran Toraja Utara yang jauh dari jalan raya itu berfungsi sebagai toko buku sekaligus perpustakaan yang banyak dikunjungi anak muda dan turis yang melancong ke Toraja—umumnya untuk melihat pesta kematian dan kuburan khas Tana Toraja. Sebagian orang-orang itu mampir ke Loka Banne Bookstore and Library untuk mencari buku-buku yang jarang ada di perpustakaan daerah ataupun toko buku.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Dua anak muda Toraja, yakni Yhola Jeniver dan Nelson Tandi Rano, mendirikan toko buku serta perpustakaan itu pada tiga tahun lalu. Mereka menggagas perpustakaan karena prihatin akan rendahnya akses bacaan masyarakat Toraja. “Label malas membaca muncul karena tidak ada akses bacaan,” kata Yhola, 25 tahun, saat dihubungi Tempo, Jumat, 2 Ferbruari lalu.

Loka Banne di Jalan Pongtiku, Desa Karassik, Kecamatan Rantepao, Kabupaten Toraja Utara, Sulawesi Selatan. Google Maps

Tempo singgah ke toko buku dan perpustakaan tersebut pada Agustus 2023. Di Rantepao, Toraja Utara, memang tak banyak toko buku. Menurut Yhola, perpustakaan sekolah ataupun perpustakaan daerah tak banyak menyediakan buku-buku sesuai dengan perkembangan zaman dan kebutuhan kalangan muda.

Dari situasi itulah Nelson, 29 tahun, dan Yhola mendirikan Loka Banne. Loka dalam bahasa Sanskerta berarti tempat dan banne artinya benih dalam bahasa Toraja. Loka Banne berarti tempat benih atau ilmu pengetahuan berada.

Ide mendirikan Loka Banne bermula saat pandemi Covid-19. Karena pembatasan aktivitas, kedua kutu buku itu memborong buku-buku di Makassar dan sebelas buku sastra dari penerbit buku independen di Yogyakarta secara online.  

Lambat laun, koleksi mereka bertambah dengan kehadiran buku-buku tentang sejarah dan tradisi Toraja. Keduanya melihat masyarakat Toraja hidup dalam budaya tutur dan tidak punya aksara. Hanya lantunan syair yang mereka dengar sejak bocah.

Keduanya lalu berburu buku-buku tentang tradisi Toraja. Mereka menemukan novel LIandorundun karya Rampa’ Maega yang mengisahkan tradisi Toraja. “Ketika ada buku yang membahas Toraja, seperti membaca identitas kami,” ujar Yhola.

Kini jumlah koleksi buku yang dijual ataupun dipinjamkan sebanyak 200 buku. Sebagian besar buku tentang tradisi dan sejarah Toraja yang jarang orang temukan di toko buku di kota-kota besar di Sulawesi Selatan.

Loka Banne di Jalan Pongtiku, Desa Karassik, Kecamatan Rantepao, Kabupaten Toraja Utara, Sulawesi Selatan. IG loka_banne

Salah satu di antaranya adalah karya Kees Buijs berjudul Toburake: Imam Perempuan Pelayan Adat Tertinggi serta Kuasa Berkat dari Belantara dan Langit. Dalam buku itu, antropolog Universitas Leiden, Belanda, tersebut membahas habis soal toburake atau imam tertinggi suku Toraja. Kedudukan sebagai toburake hanya bisa dicapai oleh laki-laki berjiwa perempuan atau calabai dan perempuan berjiwa laki-laki atau calalai yang punya kedudukan istimewa bagi suku Toraja. Buku itu juga menjelaskan agama lokal suku Toraja, yakni Aluk Todolo.

Toko buku dan perpustakaan itu menempati rumah yang dimiliki Mama Yusak. Setelah Mama Yusak meninggal, rumah itu diwariskan kepada anaknya. Yhola dan Nelson mengontrak rumah itu. Mereka harus berjibaku memperbaiki rumah tersebut karena atap bocor dan lantai berupa tanah. Kini, rumah tersebut menjadi ruang baca yang nyaman dengan pajangan aksesori bernuansa tradisi Toraja.

Toko buku dan perpustakaan yang memanfaatkan rumah juga bisa ditemukan di Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Toko buku Jual Buku Sastra milik pasangan penulis Indrian Koto dan Mutia Sukma berada di tengah persawahan. Perpustakaan yang menggunakan pendekatan personal dan kekuatan komunitas sekaligus menjadi rumah tinggal mereka.

Keduanya menampung buku-buku sastra penerbit independen. Setiap orang yang datang ke sana bisa membaca buku sembari menikmati semilir angin dan pemandangan hamparan sawah. Pengunjung juga bisa menyeduh kopi, sekadar mengobrol, dan berkonsultasi tentang tulisan dengan pemiliknya yang juga sastrawan. Sebagian tamu, di antaranya penulis, bahkan kerap menginap di rumah Koto dan Mutia.

Koto dan Mutia mendirikan toko buku dan perpustakaan sejak 18 tahun lalu dan berpindah-pindah tempat. Perpustakaan itu punya konsep membangun suasana kekeluargaan yang membentuk ikatan bersama para pembaca dan pemburu buku.

Menurut Koto, perpustakaan itu menjadi ruang untuk membahas buku melalui pertemuan-pertemuan intim antara penulis dan pembaca, baik melalui diskusi maupun dalam obrolan singkat. Contohnya, ketika ada penulis yang berkunjung, Koto dan Mutia memperkenalkan pengunjung tersebut dengan penulis lain hingga terlibat pembicaraan bersama.

Buku-buku yang tersedia mayoritas bergenre sastra. Kini jumlahnya ribuan. Koto mengatakan buku-buku bacaan itu menjadi dinding kamar yang biasa dibaca setiap orang yang berkunjung dan ingin menginap atau istirahat. “Sejumlah buku dipajang sebagai bacaan dan bahan diskusi dengan pengunjung,” kata Koto.

Belakangan ini Koto dan Mutia mengirim sebagian buku ke sejumlah perpustakaan sekolah dan rumah baca. Mereka mengirim buku secara periodik ke sejumlah rumah baca. Selain itu, Koto menaruh sejumlah buku di pos ronda dekat rumah tinggal mereka. Sekarang ini baru satu pos ronda yang menyimpan buku donasi Koto. Sebagian warga di sekitar kampungnya khawatir buku-buku itu diambil pemulung.

Dalam waktu dekat, Koto akan menambah jumlah pos ronda untuk menaruh buku-buku koleksinya. Dia memilih pos ronda karena lokasi itu merupakan tempat berkumpulnya anak-anak dan ibu-ibu pada siang hari serta bapak-bapak pada malam hari. Gagasan menaruh buku di pos ronda muncul karena dia dan istrinya ingin mendekatkan buku dengan khalayak umum. Dengan cara itu, mereka berharap masyarakat punya literasi yang baik dan menumbuhkan minat baca masyarakat di kampung-kampung. “Membiasakan mereka berdekatan dengan buku,” katanya.

Dia mendonasikan buku karena pengunjung toko dan perpustakaan adalah orang-orang yang sudah terbiasa dengan buku. Menurut dia, interaksi mereka dengan buku sudah lumayan bagus. Mereka sudah punya pengetahuan yang baik terhadap bacaan, tahu mana buku yang perlu dibaca dan menarik.

Menurut Koto, perpustakaan di rumahnya menekankan pada keintiman personal pengunjung sehingga keberadaan buku-buku digital tidak banyak berpengaruh. Sebagian pembaca buku bisa mengakses buku digital, tapi secara fisik akan ada interaksi terhadap bacaan. Menurut dia, buku digital adalah sarana, seperti halnya perpustakaan, tapi pembicaraan terhadap buku, bacaan, dan penulisnya adalah hal lain yang lebih enak dipercakapkan di setiap pertemuan.

Koto senang mendapati buku digital memperlebar akses bacaan. Hanya, dia belum punya pandangan seberapa besar pengaruhnya terhadap minat mereka terhadap buku-buku fisik. “Fungsi buku itu untuk dibaca dan jika sudah menjadi bagian dari perkembangan pengetahuan. Orang harus mensyukurinya. Itu tidak serta-merta menggantikan perpustakaan fisik dengan perpustakaan digital,” ujarnya. 

SHINTA MAHARANI (TORAJA UTARA, YOGYAKARTA)
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Shinta Maharani

Shinta Maharani

Kontributor Tempo di Yogyakarta

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus