Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Film "Joker" yang dirilis sejak 2 Oktober 2019 masih menjadi perbincangan publik. Penyebabnya kontroversi jalan cerita dan karakter yang digarap oleh DC Comics.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dokter spesialis kesehatan jiwa di Rumah Sakit Omni Alam Sutera, Tangerang, Andri pun penasaran dan membuktikan sendiri kebenarannya. Setelah menonton, ia tampaknya menyetujui kontroversi yang ada, khususnya terkait dengan peran Joaquin Phoenix sebagai Arthur Fleck, Andri merasa sangat kecewa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Andri mengatakan bahwa untuk kesekian kali film luar negeri menggambarkan pasien gangguan jiwa sebagai sosok yang negatif. “Lagi-lagi Hollywood menempatkan pasien gangguan jiwa berpotensi jadi penjahat,” tulisnya pada blog pribadi Psikosomatik.net pada 13 Oktober 2019.
Ini dibuktikan dari adanya adegan saat Fleck berkunjung ke Rumah Sakit Jiwa tempat ibunya dulu dirawat. Saat itu, Fleck bertanya kepada petugas tentang kemungkinan semua pasien menjadi jahat.
Poster film Joker. Instagram
“Seolah-olah ingin menegaskan kembali bahwa orang dengan gangguan jiwa berat biasa melakukan kejahatan,” katanya.
Padahal, hal tersebut tidak benar dan melenceng dari kaidah kesehatan jiwa. Sebab dalam kasus Fleck, Andri mengatakan bahwa sosoknya seperti mengalami skizofrenia. Dengan film tersebut, bisa disimpulkan bahwa orang yang mengidap skizofrenia pasti jahat.
Seharusnya, skizofrenia justru ditandai dengan perilaku kekerasan. Ini pun bisa dibuktikan dari sebuah penelitian yang dilakukan oleh Schizophr Bull pada 2011.
“Pasien skizofrenia lebih rentan menjadi korban kekerasan, bahkan sampai 14 kali lipat,” katanya.
Tak heran, Andri pun menyimpulkan bahwa film Joker hanya dapat membawa citra buruk pasien gangguan jiwa. “Saya cuma ingin mengatakan setelah menonton film ini, kalau film 'Joker' tidak berpihak pada pasien gangguan jiwa,” katanya.