Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pohon ini punya banyak nama. Ada yang menyebutnya pohon teh (tea tree). Ada pula nama yang lebih puitis: snow in summer, salju di musim panas. Bunganya yang putihlah yang membuat pohon itu seperti tertimpa salju. Tapi, karena pohon ini ada di bagian Australia yang tak bersalju dan berbunga di musim panas, nama puitis itulah yang dipilih penduduk lokal untuk Melaleuca alternifolia. Tanaman endemik Australia ini memiliki banyak khasiat, antara lain dipakai sebagai bahan obat kekebalan tubuh dan obat tuberkulosis.
Max Reynolds, profesor sekaligus peneliti senior di Center for Botanical Medicine, Griffith University, Australia, ternyata menemukan khasiat lainnya: menyembuhkan demam berdarah dengue (DBD). Tapi itu baru riset awal. Untuk riset lanjutan, ia terhambat oleh jumlah pasien demam berdarah di Australia yang sedikit dan tidak valid bagi kepentingan penelitian. Maklum, DBD lebih berkembang di wilayah tropis, seperti Indonesia. ReyÂnolds sudah membidik Vietnam, Thailand, Kamboja, Malaysia, dan Filipina untuk kepentingan riset lanjutan.
Melalui perantara Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Kesehatan serta PT Neumedik Indonesia, Reynolds bertandang ke Jakarta pada Desember 2011. Kepada Reynolds, peneliti Indonesia meyakinkan bahwa Indonesia layak dijadikan opsi tunggal riset lanjutan. Alasannya, jumlah penduduk dan kasus demam berdarah di Indonesia paling tinggi ketimbang negara ASEAN lain. "Saya melihat Indonesia sangat strategis untuk menyebarkan obat ini di Asia. Obat ini baru pertama ditemukan dan Indonesia berhasil membuktikan keampuhannya," kata Reynolds awal bulan ini.
Dengue adalah virus yang ditularkan nyamuk Aedes aegypti dengan empat tipe. Semua tipe dengue yang menginfeksi manusia mengakibatkan kesakitan, seperti infeksi subklinis, infeksi dengue akut, dan kebocoran pembuluh darah. Nasronudin, Direktur Lembaga Penyakit Tropis Universitas Airlangga, menuturkan sekitar 2,5 miliar penduduk dunia tinggal di area berisiko infeksi dengue dan diprediksi terjadi 50-100 juta kasus infeksi dengue. Setiap tahun terjadi sebanyak 500 ribu kasus DBD. Data ini menunjukkan dengue merupakan ancaman kesehatan global dan penyakit arboviral utama pada manusia. "Dan belum ada obat atau vaksin yang tersedia untuk infeksi dengue," ujar Nasronudin.
Ketika mendapat kepercayaan melakukan penelitian lanjutan, dua tahun lalu, periset Indonesia segera menyusun rencana. Beberapa peneliti senior, seperti Umar Fahmi Achmadi, Leonard NainggoÂlan (Universitas Indonesia), Lukman Hakim (Universitas Gadjah Mada), dan Nasronudin (Universitas Airlangga), serta Badan Penelitian Kementerian Kesehatan sepakat tanaman itu juga mengandung bahan aktif yang berperan sebagai antivirus dengue. Uji klinis fase I yang bertujuan meneliti keamanan serta toleransi pengobatan dilakukan di Universitas GaÂdjah Mada. Sedangkan fase II, yang bertujuan menilai sistem atau dosis pengobatan paling efektif, dilakukan di Universitas Indonesia.
Penelitian fase III—bertujuan membandingkan obat baru dengan obat yang sudah beredar—diperebutkan oleh Universitas Airlangga, Universitas Sumatera Utara, Universitas Gadjah Mada, Universitas Indonesia, dan Universitas Hasanuddin. Lembaga Penyakit Tropis Universitas Airlangga akhirnya memenanginya karena dianggap memiliki infrastruktur riset dan sumber daya manusia yang mumpuni. Mencari pasien DBD sebagai sampel riset di Surabaya juga relatif mudah. "Kami punya alat khusus yang bisa mengukur virus sekaligus mendiagnosisnya, termasuk tipe dan subtipe. Belum semua lembaga riset punya," kata Nasronudin.
Riset dilakukan sejak Januari 2012 hingga September 2013 dengan metode acak buta ganda kontrol plasebo pada 530 pasien sampel demam berdarah dengue. Metode ini memungkinkan hasil riset lebih komprehensif, valid, dan transparan. Sebab, pasien sampel, dokter, dan periset sama-sama tidak mengetahui apakah obat yang diberikan mengandung ekstrak Melaleuca alternifolia atau tidak. Riset melibatkan 5 rumah sakit dan 15 puskesmas di Surabaya. PT Neumedik menyokong semua pendanaan riset uji klinis fase III, yang menghabiskan duit Rp 4 miliar lebih.
Tim membagi dua kelompok sama banyak, yakni perlakuan dan kontrol. Setiap kelompok diberi terapi pengobatan yang sama. Pada setiap pasien, diperiksa tekanan darah, fungsi hati dan ginjal, pembuluh darah, kekebalan tubuh, dan jumlah virus, sekaligus dilakukan pemberian obat 2 kali 300 milligram sehari. Bedanya, obat pada kelompok perlakuan mengandung MAC (Melaleuca alternifolia concentrate). MAC adalah bahan aktif antivirus dengue dari ekstrak Melaleuca alternifolia. Adapun obat pada kelompok kontrol tanpa bahan aktif antiviral dengue (plasebo). Pasien anak-anak sebanyak 200 jiwa dan sisanya pasien dewasa. Pada pasien anak-anak, pemberian obat MAC dalam bentuk sirop rasa vanila dan jeruk.
Hasilnya tak mengecewakan. Pada pasien yang mendapat obat MAC, jumlah virusnya turun hingga 96,67 persen, kekebalan tubuh CD8 naik 6,89 persen, dan CD4 naik 9,95 persen. Sedangkan pada kelompok pasien yang tidak diberi MAC, jumlah virus turun hanya 44,79 persen, kekebalan tubuh CD8 turun 7,03 persen, dan CD4 turun 9,52 persen.
CD4 adalah indikasi membunuh virus, tapi melindungi sel, sekaligus meningkatkan daya tahan tubuh. Adapun CD8 mengindikasikan membunuh virus sekaligus jaringan sel di tubuh penderita. Racun pada ekstrak minyak Melaleuca alternifolia telah dinetralisasi dan aman bagi fungsi hati dan ginjal. "Obat MAC ini ternyata mampu membunuh virus, tapi tidak membunuh jaringan sel, sekaligus meningkatkan daya tahan tubuh. Tidak mengganggu fungsi hati dan ginjal," ucap Nasronudin.
Dokter spesialis anak dan konsultan penyakit tropis Rumah Sakit Soerya, Soegeng Soegijanto, memastikan obat MAC tidak berbahaya bagi tubuh pasien, baik dewasa maupun anak-anak. Menurut dia, 200 pasien sampel anak-anak obat MAC di Rumah Sakit Soerya tidak menunjukkan gejala resistan. Artinya, obat MAC dapat ditoleransi dengan baik oleh tubuh penderita infeksi dengue. "Obat ini membunuh langsung virus. Pasien lebih cepat sembuh dan tidak lama-lama dirawat inap. Biasanya pasien DB itu harus dirawat inap sampai tujuh hari, tapi dengan MAC hanya cukup tiga-empat hari," ujar Soegeng.
Sebelum obat MAC ditemukan, kata Soegeng, dokter biasa memberi cairan infus dan obat penurun panas golongan parasetamol untuk menyesuaikan kondisi pasien. Namun cara ini tidak membunuh virus, tapi hanya menurunkan tensi demam. Infeksi dengue masih bersarang di tubuh pasien.
Setelah uji klinis fase III, kini obat MAC bisa dipasarkan—sesudah meminta izin dari Badan Pengawas Obat dan Makanan. Nanti, selama lima tahun, akan dilakukan evaluasi atau uji klinis fase IV (post-marketing). Tugas meminta izin dibebankan ke PT Neumedik Indonesia, perusahaan farmasi yang akan memproduksi massal obat MAC dalam bentuk tablet. Direktur Utama PT Neumedik Indonesia Sudibyo mengatakan perseroan berencana memproduksi 3 miliar tablet per tahun.
Produksi obat sebanyak itu butuh bahan baku di lahan seluas 5.000 hektare. Di Indonesia, Melaleuca alternifolia sebenarnya sudah mulai dicoba ditanam pada 2008. Uji coba penanaman pada empat lahan percobaan seluas empat hektare itu dilakukan di kebun percobaan lereng Gunung Slamet; dataran rendah Kabupaten Cilacap; Leuwiliang, Bogor; dan kebun milik Kementerian Kesehatan di Tawangmangu. Tapi penanaman itu bukanlah untuk kepentingan industri—hanya penelitian.
Untuk sementara Neumedik akan mengimpor bahan baku obat dari Australia. "Produksi 3 miliar tablet itu cukup memenuhi kebutuhan nasional dan dunia," ucap Sudibyo. Ia menargetkan harga obat maksimal Rp 500 ribu dan diharapkan pasien sembuh tanpa opname di rumah sakit. Menurut dia, obat MAC memiliki aspek preventif. Meski lingkungannya terjangkit DB, pasien yang pernah mengkonsumsi obat MAC tidak terjangkit kembali.
Diananta P. Sumedi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo