Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Tahi Bonar Simatupang Pahlawan Nasional

18 November 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sabam P. Siagian*

Ketika dibacakan keputusan presiden tentang penganugerahan gelar pahlawan nasional kepada tiga putra Indonesia—Dr Radjiman Wedyodiningrat, Duta Besar Lambertus Nicodemus Palar, dan Letnan Jenderal Purnawirawan Tahi Bonar Simatupang—dalam suatu upacara singkat, tapi cukup khidmat pada Jumat dua pekan lalu, tampaklah bahwa "Pak Sim" yang paling muda di antara mereka bertiga, dan relatif lebih dini meninggal. Hidupnya intens menggumuli periode proklamasi dan revolusi sampai konsolidasi dekade 1950.

Dr Radjiman lahir pada 1879 di Yogyakarta dan meninggal ketika berumur 79 tahun di Ngawi, Jawa Timur. Pak Palar lahir di Tomohon, Sulawesi Utara, pada 1900, dan meninggal ketika berumur 81 tahun di Jakarta. T.B. Simatupang ("Pak Sim") lahir pada 1920 di Sidikalang, Sumatera Utara, dan meninggal ketika berumur hampir 70 tahun di Jakarta pada 1 Januari 1990. Ia sempat mendapat pendidikan perwira profesional ketika menjadi taruna Akademi Militer Belanda di Bandung (1940-1942) dan dilantik sebagai perwira junior tak lama sebelum militer Jepang menduduki Pulau Jawa pada Februari 1942.

Ketika angkatan muda bertanya-tanya tentang masa depan dirinya dan bangsa yang pindah penjajah dari Belanda ke Jepang itulah, di Jakarta ia menjumpai seorang tokoh pergerakan kebangsaan yang baru dibebaskan dari pembuangan politik selama delapan tahun. Namanya Sutan Sjahrir, agak pendek, berumur 33 tahun, yang cenderung selalu tertawa terbahak-bahak.

Perjumpaan Sjahrir-Simatupang itu menjelang akhir 1942 diceritakan oleh Pak Sim dalam buku Mengenang Sjahrir (Jakarta 1980): "Dia melihat kekuasaan Belanda, kekuasaan Jepang, dan perang yang sedang berkecamuk dalam terang pertarungan global untuk membela nilai-nilai kemanusiaan terhadap fasisme."

Sungguh interesan bagaimana Simatupang ketika bermukim di Bandung selama pendudukan militer Jepang (1943-1945) mengumpulkan beberapa kawan yang pernah sama-sama menjadi taruna Akademi Militer (Aksari, Nasution, Kartakusuma) dan pemuda yang pernah mendapat pendidikan militer singkat. Mereka membentuk kelompok studi dan diskusi: mempelajari berbagai buku tentang ilmu kemiliteran. Simatupang sendiri menekuni buku besar Vom Kriege (Tentang Perang) karya Carl von Clausewitz. Dalam bahasa Jerman tentunya, karena pada waktu itu bahasa Jerman adalah favorit Pak Sim.

Sesekali ia ke Jakarta mengikuti kelompok diskusi politik yang diselenggarakan Ali Boediardjo (kemudian menjadi iparnya) secara sembunyi-sembunyi dengan narasumber Bung Sjahrir.

Tempaan mental dan intelektual itulah selama pendudukan militer Jepang yang merupakan landasan ampuh dalam menyongsong Indonesia Merdeka. Indonesia Merdeka akan tiba dengan kekalahan Jepang, hal itu tidak diragukan. (Kelompok ini mengikuti perkembangan perang di Pasifik dan daratan Tiongkok dengan mengikuti siaran luar negeri secara sembunyi). Tapi negara Indonesia Merdeka yang bagaimana? Diskusi-diskusi dan bacaan mereka tiba pada konklusi bahwa negara Indonesia Merdeka harus menjauhi kecenderungan neofasisme, mementingkan kedaulatan rakyat dan memperjuangkan kesejahteraan masyarakat berdasarkan keadilan sosial. Ketika Republik Indonesia diproklamasikan pada 17 Agustus 1945 serta Markas Tertinggi Tentara Rakyat Indonesia didirikan di Yogyakarta, Simatupang dan kawan-kawannyalah yang mengembangkan bidang organisasi serta strategi.

Pada pertengahan 1948, ketika wilayah RI di Pulau Jawa menciut (sebesar daun lontar, kelakar Letjen Soedirman) dan Yogyakarta menjadi ibu kota perjuangan, muncul kekhawatiran bahwa Belanda akan melancarkan serangan umum kedua untuk menghabisi RI. Dewan Siasat Militer dipimpin oleh Presiden Sukarno dan Wakil Presiden/Perdana Menteri/Menteri Pertahanan a.i. Moh. Hatta membicarakan persiapan yang diperlukan.

Mengutip pemikiran Hans Delbruck, guru besar sejarah politik militer di Universitas Berlin, Kolonel T.B. Simatupang, Wakil Kepala Staf Angkatan Perang, mengusulkan supaya mengimbangi Belanda dengan "Emarttung Strategie" (strategi penjemuan). Maksudnya, supaya pihak RI memaksimalkan dukungan rakyat, mengelakkan penghancuran, serta memanfaatkan faktor medan dan cuaca. Dengan cara ini, TNI dan rakyat akan menjemukan dan melemahkan musuh secara bertahap. Ia juga mengutip tulisan Mao Zedong tentang pengorganisasian perang rakyat dengan membentuk zona-zona pertahanan. Usul Simatupang itulah yang merupakan kerangka strategi pengimbang menghadapi serangan umum Belanda.

Kolonel A.H. Nasution sebagai Deputi Panglima Operasi menyiapkan konsep-konsep serangkaian instruksi yang kemudian ditandatangani Panglima Besar Soedirman. Dokumen yang dikenal sebagai Perintah Siasat Nomor 1/STOP/48/48/5/48 ini antara lain menetapkan untuk memulangkan pasukan-pasukan Siliwangi yang "hijrah" ke Jawa Tengah karena Persetujuan Renville (Januari 1948). Itulah asal-usul cerita "Long March" dari pasukan-pasukan Siliwangi yang berjalan kaki kembali ke pangkalan asal mereka.

Kolonel Simatupang, yang ikut bergabung dengan pasukan Siliwangi setelah Belanda menduduki Ibu Kota Yogyakarta, 19 Desember 1948, mencatat di buku hariannya perasaan suram ketika tiba di tepi Kali Progo: "Yogyakarta telah jatuh. Presiden dan pemimpin-pemimpin besar lainnya telah tertawan. Akan tetapi apakah dengan itu Republik kita telah mati?"

Strategi pengimbang TNI tampaknya efektif. Posisi Belanda melemah. Belum cukup setahun pihak Belanda mengajak RI berunding dalam suatu Konferensi Meja Bundar di Den Haag. Delegasi RI yang dipimpin oleh Wapres/PM Moh. Hatta tampak menonjol peranannya.

Seperti dicatat oleh seorang delegasi Belanda yang mengikuti pembicaraan yang kadang-kadang serba tegang di Komisi Militer KMB, Simatupang yang membawa tim perwira TNI mendominasi pembicaraan. Akhirnya Belanda terpaksa setuju bahwa dalam RIS yang diakui kedaulatannya hanya ada satu organisasi militer, yakni TNI. Dan tentara Hindia Belanda (KNIL) yang merupakan ujung tombak dalam dua serangan umum Belanda (Juni 1947 dan Desember 1948) akan dibubarkan dalam waktu enam bulan setelah pengakuan kedaulatan RIS pada akhir Desember 1949. Tulis Simatupang, "Bagi saya malam ini adalah malam yang paling penting, malam kemenangan TNI atas KNIL."

Namun Jenderal Mayor yang mendapat bintang emas satu pada 1951 ini akhirnya dipercepat masa pensiunnya. Tentara yang dimodernisasi secara teknis dengan bantuan misi militer Belanda membawa persoalannya tersendiri. Seorang perwira yang cukup senior di Markas Besar AD dan mengaku masih ada ikatan kekeluargaan dengan Presiden Sukarno, Kolonel Bambang Supeno, merasa tidak "happy" dengan suasana sekitar pimpinan AD, yakni KSAD Kolonel A.H. Nasution.

Diam-diam ia menyusup ke Istana, menjumpai Presiden, dan melaporkan suasana ke-Belanda-an, keangkuhan teknis Nasution, dan para perwira di sekitarnya. Disarankannya supaya A.H. Nasution diganti saja sebagai KSAD. Presiden, kata dia, setuju dan menganjurkan supaya Bambang Supeno mengumpulkan tanda tangan dari para panglima daerah. Cara aneh inilah yang mendorong Menteri Pertahanan Hamengku Buwono IX, Kepala Staf Angkatan Perang Mayor Jenderal T.B. Simatupang, dan KSAD A.H. Nasution menghadap Presiden RI. Namun pertemuan menjurus ke suatu perdebatan sengit antara Sukarno dan Simatupang. Itulah asal mula yang menuju ke peristiwa yang sekarang dikenal sebagai "Peristiwa 17 Oktober 1952".

Simatupang sebenarnya ingin membela Nasution. Namun amarah Sukarno terutama ditujukan ke Simatupang yang sering dalam mempertahankan suatu pandangan terlalu tajam ucapannya.

Beberapa hari setelah 17 Oktober 1952 itu, berlangsung rapat para panglima daerah di MBAD. Mereka kecewa karena Presiden Sukarno tidak bersedia membubarkan DPR Sementara. Namun, karena pembicaraan sudah menjurus ke kup, Jenderal Mayor ini memukul meja. "Tidak ada kup, kritik boleh...," teriak Pak Sim. Yang menceritakan adegan ini adalah Kolonel Alex Kawilarang (almarhum), Panglima Jawa Barat, kepada saya.

Simatupang kemudian menunjukkan contoh-contoh di berbagai bagian dunia yang militernya kejangkitan penyakit kup dan akhirnya menciptakan stabilisasi yang serba semu berdasarkan penekanan, dan pada gilirannya menyebabkan instabilisasi.

Ia dipensiunkan dari dinas aktif militer saat berumur 39 tahun pada 1959, ketika fisik dan mentalnya masih amat sehat. Presiden Sukarno menganggap bahwa dirinya telah dihina. Namun ia tidak menghentikan "kegiatan pedagogik politik" (meminjam istilah Rocky Gerung, dosen filsafat di UI) tentang pentingnya mendorong setiap sila dari Pancasila.

1 1 1

Ketika T.B. Simatupang berbaring sakit di Rumah Sakit PGI Cikini pada Desember 1989, datanglah teman-teman seperti Nasution, Frans Seda, dan Sumitro Djojohadikusumo menjenguk. Didampingi Menteri-Sekretaris Negara Moerdiono, Presiden Soeharto juga datang. Entah apa yang mereka bicarakan, beberapa hari sebelum meninggal, Pak Sim sempat mendiktekan tulisannya untuk dimuat di koran sore Suara Pembaruan. Semacam wanti-wanti supaya Orde Baru (maksudnya agaknya Presiden Soeharto yang baru mengunjunginya) mawas diri dan tidak mengulangi kesalahan fatal Orde Lama (pimpinan Presiden Sukarno, 1960-1965) yang terlalu memusatkan kekuasaan dan tidak mengatur suksesi kepemimpinan secara konstitusional.

Andai kata Soeharto mendengar kata-kata bijak seniornya itu dan pada 1993 memutuskan tidak lagi menduduki posisi presiden, serta mengatur suksesi secara konstitusional, sejarah Indonesia mungkin sekali tidak akan separah seperti yang kita alami. Proses reformasi dapat berlangsung lebih bertahap. Memang sejarah modern sarat dengan "andai kata" yang kadang-kadang perlu kita proyeksikan untuk membayangkan alternatif lain. l

*) Redaktur Senior The Jakarta Post

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus