Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penduduk di kawasan Sentani, Jayapura, memiliki kebiasaan unik terkait dengan pernikahan. Dalam tradisi perkawinan mereka, jika mempelai pria belum mampu melunasi maskawin, ia wajib meminum air rebusan daun gandarusa (Justicia gendaruss atau Gendarussa vulgaris nees). Tujuannya agar pengantin wanita tidak hamil sebelum mahar terbayarkan. Setelah maskawin dilunasi, barulah jamu gandarusa tak diberikan lagi. Kebiasaan ini menarik perhatian guru besar Fakultas Biologi Universitas Gadjah Mada kala itu, Profesor Moeso Soerjowinoto, yang datang ke sana.
Pengamatan dari perjalanan itu kemudian dipresentasikan oleh Profesor Moeso dalam seminar Perhimpunan Peneliti Bahan Alam di Yogyakarta pada 1985. Salah satu peserta seminar itu adalah Bambang Prajogo Eko Wardoyo, yang kini telah menjadi profesor di Universitas Airlangga, Surabaya. Bambang antusias menelitinya, dan Profesor Moeso memintanya melanjutkan riset awal daun gandarusa. Bambang mengaku belum pernah ke Papua meneliti adat unik yang turun-temurun dilakoni masyarakat Papua tersebut. Tapi dia meyakini kearifan lokal itu manjur, hanya butuh pembuktian ilmiah.
Hasil kerja keras Bambang selama 29 tahun itu terbayar saat ia tampil di atas panggung untuk mempresentasikan hasil riset Tim Riset Gandarusa untuk Kontrasepsi Pria dari Universitas Airlangga yang ia ketuai. Pemaparan itu tidak dilakukan di Surabaya atau Yogyakarta, tapi di Durham, Carolina Utara, Amerika Serikat, pada 3 April 2014. Presentasi itu dipaparkan karena mereka menerima Y Prize Travel Award dari The Y Prize Foundation, Inc. Yayasan yang berdiri tahun lalu ini bagian dari lembaga American Society of Andrology.
Berdiri di atas podium, Bambang dan salah seorang anggota tim, dr Maria Paulina Budyandini Dyan Pramesti, M.Kes, SpAnd, bergantian mempresentasikan hasil risetnya di hadapan 20-an ilmuwan. Hasilnya, Y Prize Foundation bersedia menyokong dana riset lanjutan gandarusa sebagai obat kontrasepsi pria. Riset ini sempat terhenti saat akan menginjak uji klinis tahap III pada 2012. Saat itu antara Universitas Airlangga dan sebuah perusahaan obat sudah meneken nota kerja sama untuk mengembangkan uji klinis tahap III. Keterbatasan biaya, kata Bambang, salah satu pemicu terhentinya uji klinis. "Dibutuhkan dana Rp 3-4 miliar untuk riset."
Anggota tim sekaligus dokter spesialis andrologi Rumah Sakit Umum Daerah Dr Soetomo, dr Maria Paulina, mengatakan, selain The Y Prize Foundation, Family Health International dan University of Illinois siap mendukung riset lanjutan ekstrak gandarusa. "University of Illinois ada kemungkinan akan memberikan dukungan sebagai tempat penelitian farmakologinya, teknologi, dan ahlinya. Tapi uji klinis tahap III tetap di Indonesia," ujarnya. Menurut dia, ilmuwan Amerika Serikat begitu tertarik pada hasil riset ekstrak gandarusa yang diproyeksikan menjadi obat kontrasepsi oral pertama di dunia bagi kaum pria ini. Artinya, tim dari Surabaya ini akan membuat sejarah.
Gandarusa atau di Jawa dikenal sebagai tetean, handarusa di Sunda, atau besi-besi di Sumatera adalah tanaman perdu yang mudah tumbuh di dataran rendah. Ia tumbuh tegak sampai dua meter, berbatang hitam atau hijau dengan cabang daun ungu kecokelatan mengkilat. Orang tua kita sudah lama memanfaatkannya sebagai obat luar untuk mengurangi nyeri keseleo atau memar. Tumbuhan ini juga dipercaya membantu melancarkan peredaran darah, juga sebagai pereda mual dan antirematik. Sedangkan gandarusa sebagai kontrasepsi pria baru dilakukan oleh orang Papua.
Gandarusa bisa menjadi obat kontrasepsi karena membuat tumpul spermatozoa atau sel sperma hingga tidak mampu menembus sel telur wanita. Dalam sperma terdapat enzim hialuronidase. Enzim ini berfungsi melunakkan dinding sel telur sehingga sperma dapat menembus sel telur wanita untuk proses pembuahan. Pada gandarusa terdapat senyawa glikosida flavonoid, yang menekan produksi enzim hialuronidase. Karena enzim ini tak ada, cangkang sel telur wanita tidak dapat ditembus oleh sel sperma.
Pada 1987 mulailah Bambang menggelar penelitian dengan duit pribadi untuk mendanai riset. Ia menggandeng peneliti lintas disiplin ilmu, dari ahli biologi, kedokteran hewan, hingga kedokteran spesialis andrologi di lingkungan RSUD Dr Soetomo dan Universitas Airlangga. Hingga 2007, tim hanya berkutat pada fase praklinis (percobaan pada hewan). Butuh dua dekade untuk menyelesaikan uji praklinis itu guna memastikan kontrasepsi pria itu aman dikonsumsi manusia. Minimnya dana riset juga menjadi penghambat. Uji coba praklinis ini menggunakan obyek hewan seperti tikus, mencit, merpati, dan kelinci. "Setelah persyaratan lengkap, kami mengajukan proposal uji klinis (untuk manusia) pada 2008. Setahun kemudian, mulai pelaksanaan uji klinis fase I," ujarnya.
Uji klinis fase I membuat model kapsul yang diberikan kepada 36 akseptor (sukarelawan) sehat. Mereka adalah pria yang memiliki pasangan dan subur. Tujuannya memastikan kondisi organ tubuh dan kesehatannya tidak terganggu setelah mengkonsumsi kapsul selama 108 hari.
Lolos uji klinis fase I, pada 2010 dilanjutkan dengan uji klinis fase IIA, yang melibatkan 120 akseptor. Masing-masing selama 72 hari. Sukarelawan dibagi menjadi dua kelompok sama besar, yakni kelompok yang mengkonsumsi kapsul dan kelompok yang tidak mengkonsumsinya. Hasilnya: pria yang menenggak pil mandul sementara (30 hari), istri mereka tidak hamil.
Saat uji klinis IIB, tim melibatkan 350 pasangan subur selama 30 hari. Metode sama persis seperti uji klinis IIA, pasangan dibagi dua kelompok sama besar. Pada uji klinis, dengan jumlah pasangan yang lebih banyak, disimpulkan bahwa tingkat keberhasilan kapsul ini 99,7 persen. "Hanya 1 pria penenggak pil gandarusa yang masih bisa menghamili pasangannya. Saya pikir tidak jadi masalah karena tingkat keberhasilannya cukup tinggi, 99,7 persen," kata Bambang.
Keberhasilan ini terjadi bukan karena pria yang minum pil itu loyo, tak bisa ereksi. Bahkan serangkaian uji klinis menunjukkan bahwa kapsul gandarusa tidak mengubah kualitas dan kuantitas sperma sukarelawan. Para pria juga bisa subur kembali setelah tidak memakainya lagi. "Kapsul ini tidak mempengaruhi kondisi hormon pengguna," kata Bambang meyakinkan.
Tahun depan timnya berencana melangkah ke uji klinis fase III dengan melibatkan sedikitnya 500 akseptor sekaligus. Dari sisi keamanan, kenyamanan, dan fleksibilitas, dia yakin kapsul gandarusa bisa menjadi pilihan alat kontrasepsi Keluarga Berencana daripada vasektomi dan kondom. Sekarang ia menargetkan agar masa aktif senyawa gandarusa bisa lebih kilat memandulkan sperma. "Targetnya bekerja setelah 30 menit diminum, seperti obat-obat lain," kata Bambang.
Mereka juga sudah mendapatkan paten untuk obat ini. Februari lalu, nota kerja sama diteken Unair bersama perusahaan obat Indofarma dan Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN). Unair sebagai lembaga riset sekaligus pemasok bahan baku, Indofarma memproduksi massal, dan BKKBN mendistribusikannya.
Selain gandarusa, kata dr Dyan Pramesti, sebelumnya ada riset obat kontrasepsi pria berbahan herbal dari minyak biji kapas. Namun riset di Cina yang disokong Badan Kesehatan Dunia (WHO) itu dihentikan karena dinilai berbahaya bagi manusia karena dapat mengakibatkan kematian. Sebab, obat itu membuat sperma menjadi nol dan dosisnya dianggap tidak aman. "Saat masih uji klinis fase I langsung dihentikan," ucapnya.
Saat ini dia masih meyakini bahwa ekstrak daun gandarusa merupakan satu-satunya herbal yang aman digunakan untuk kontrasepsi pria. Ia mendukung uji klinis tahap III karena kapsul gandarusa cukup aman dikonsumsi dan tidak menimbulkan efek samping. "Efeknya hanya kembung. Obat ini harus dikonsumsi setelah makan."
Kepala BKKBN Jawa Timur Dwi Listyawardani menilai kontrasepsi oral pria bakal menjadi pilihan alat kontrasepsi populer. Partisipasi pria dalam program KB diyakininya bakal berlipat. Dan itu artinya memberi dampak keadilan gender. "Artinya, wanita enggak lagi harus ber-KB," ujar Dwi.
Agussup, Diananta P. Sumedi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo