Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kasijanto Sastrodinomo*
ETNIS Rusia di Semenanjung Crimea, republik otonom di bawah daulat Ukraina, mungkin ingin menunjukkan pemeo lama: "bahasa menunjukkan bangsa" masih berlaku. Memiliki bahasa sendiri dan mayoritas (59,5 persen dari seluruh populasi Crimea menurut sensus 2001), orang Rusia di Crimea merasa tetap sebagai bagian dari bangsa Rusia alih-alih warga negara Ukraina. Tak aneh, dalam referendum pertengahan Maret lalu, lebih dari 90 persen etnis Rusia di Crimea ingin kembali ke pangkuan Beruang Merah. Keinginan itu sejatinya tetap membara tatkala Negara Uni Soviet—kala itu Rusia sebagai faktor utama—pecah sekian tahun yang lalu.
Sebaliknya, di Ukraina, yang berpenduduk hampir 50 juta jiwa, etnis Rusia merupakan minoritas, sekitar 22 persen, sementara etnis Ukraina mencapai 72 persen. Selebihnya etnis kecil yang lain. Logis bila bahasa Ukraina dan Rusia menjadi dominan di negeri itu. Bagi Ukraina, menerima Crimea—atau Krim menurut bahasa Rusia—ke dalam ikatan kebangsaan bisa dilihat sebagai "amanah revolusi". Dalam Perang Krim (1854–1856), Rusia terlibat perebutan wilayah itu bersama Turki, Prancis, dan Inggris. Awalnya Rusia kalah dalam perang itu, tapi kemudian Stalin berhasil menarik Crimea masuk ke himpunan Uni Soviet pada 1921.
Meski kini dianggap usang, isu bahasa-bangsa tampaknya tetap relevan. Syahdan, lebih dari dua abad silam, bahasa Prancis dipromosikan sebagai bahasa nasional di negerinya. Pada Fête de la Fédération—perayaan memperingati pecahnya Revolusi (1793)—bahasa Prancis diperlihatkan di seluruh negeri sebagai unsur yang dipandang mampu mengekang semangat regionalisme di tengah situasi teror yang belum mereda. Bahasa nasional dipercaya ikut mendorong terbentuknya la république une et indivisible, republik tunggal yang tak terpisahkan. Dengan bahasa yang sama, orang Prancis menyadari diri sebagai bangsa baru.
Adolphe Thiers, negarawan dan jurnalis yang hidup semasa Revolusi, melukiskan gejolak sosial di negerinya itu sebagai deklarasi bahwa "tak ada pemujaan terhadap yang lain kecuali kebenaran, tak ada fanatisme yang lain kecuali kebebasan dan kesamaan, dan tak ada doktrin yang lain kecuali persaudaraan" (petikan risalahnya, "Three Fêtes of the French Revolution", disunting Alessandro Falassi dalam Time Out of Time: Essays on the Festival, 1987). Deklarasi itu kemudian jadi cogan masyhur Revolusi: liberté, égalité, fraternité—kemerdekaan, kesetaraan, persaudaraan.
Peristiwa akbar itu memperlihatkan ada tautan bahasa dan timbulnya bangsa modern yang berideologi nasionalistis. Pengamat nasionalisme, seperti Johann Fichte dan J. Herder, meyakini persamaan bahasa melahirkan rasa kebangsaan. Bahasa kebangsaan dilihat sebagai salah satu identitas nasion baru di Dunia Ketiga selepas penjajahan. Tampaknya, keyakinan seperti itu juga menjalar di Indonesia. Istilah "bahasa Indonesia" muncul dari gerakan kaum muda yang berkongres pada 1926, dan tampil kembali sebagai salah satu butir sumpah dalam kongres serupa dua tahun kemudian.
Namun Ernest Renan, intelektual Prancis abad ke-19, ketika berpidato di Universitas Sorbonne (1882), mengatakan persamaan bahasa bukanlah faktor utama terbentuknya bangsa; hal itu lebih ditentukan oleh "le désir de vivre ensemble", kehendak hidup bersama di antara orang-orang yang merasa memiliki pengalaman sejarah yang sama. Orang Alsatia dan Lorraine di timur laut Prancis yang berbatasan dengan Jerman, dan orang Gascon di barat daya yang berdekatan dengan Spanyol, misalnya, tetap berbahasa mereka masing-masing. Maka Eric Hobsbawm dalam Nations and Nationalism Since 1780, menyebutkan bahasa-bahasa kelompok masyarakat itu tak ada kaitannya dengan status mereka sebagai rakyat Prancis.
Bangsa-bangsa eks jajahan juga tak otomatis punya bahasa kebangsaan mandiri setelah merdeka. Dari 49 bangsa di Benua Afrika yang tergambar dalam Webster's International Atlas (2003), contohnya, cuma 10 bangsa yang punya bahasa nasional—itu pun dibayangi bahasa bekas penjajahnya atau bahasa lain: Republik Afrika Tengah (berbahasa Sango dan Prancis), Botswana (Tswana/Inggris), Burundi (Rundi/Prancis), Kenya (Swahili/Inggris), Komoro (Komoro/Arab), Lesotho (Sotho/Inggris), Rwanda (Rwanda/Prancis/Inggris), Swaziland (Swazi/Inggris), Somalia (Somali/Arab), dan Tanzania (Swahili/Inggris). Bangsa lainnya, kecuali bangsa Arab, mentah-mentah berbahasa Prancis (12 bangsa), Inggris (11), Portugis (4), dan Spanyol (1).
Kesimpulannya, persamaan bahasa merupakan faktor penting tegaknya suatu bangsa, tapi tidaklah selalu determinan. Anthony Smith, penulis The Ethnic Origins of Nations (1998), mengingatkan, bisa saja sekumpulan etnis menghimpun diri menjadi bangsa modern. Namun, pada saat yang sama, kelompok etnis itu sejatinya tetap menyimpan mythomoteur, semisal bahasa, sebagai kenangan bersama masa lalunya. Pada saat-saat tertentu—seperti di Crimea—kenangan itu terasa memanggil-manggil kembali. l
*) Pengajar Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo