Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Lengking Siamang di Hutan Supayang

Populasi siamang dan owa di Indonesia terus menurun akibat berkurangnya habitat asli mereka. Jumlahnya tinggal 6.000 ekor.

28 April 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesunyian pagi hutan Supayang itu pecah oleh suara nyaring siamang (Simpala­ngus sindactilus) dan owa (Hylobates agilis). Seolah-olah tahu jadwal sarapan segera tiba ketika udara mulai menghangat, hewan primata itu pun beraksi. Suara mereka—dengan sesekali ditimpali lengkingan panjang suara bilou (Hylobates klossi), siamang kerdil khas Mentawai—bersahut-sahutan memenuhi hutan tropis di Kecamatan Salimpaung, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat, itu pada dua pekan lalu.

Ya, siamang, owa, bilou, dan primata lain di hutan Supayang ini bukan hewan liar. Mereka menempati kandang-kandang yang berada di antara lebatnya pepohonan. Sekitar 8 hektare hutan Supayang dengan luas 200 hektare kini dijadikan tempat rehabilitasi serta kawasan konservasi oleh Yayasan Kalaweit Indonesia—didirikan pada 1998 oleh orang Prancis yang kini menjadi warga negara Indonesia, Aurelien Brule.

Tempo menyusuri lebatnya hutan Supayang bersama para penjaga satwa yang akan memberi makan pada hari itu. Di antara pepohonan tersebut terdapat sebuah kandang tinggi terbuat dari baja ringan dan kawat. Luasnya 6 x 6 meter. Di dalam kandang itu terdapat dua siamang berbulu hitam. Mereka tampak kelaparan. Melihat kedatangan penjaga satwa berseragam oranye, hewan-hewan itu mulai mengguncang-guncang kandangnya seolah-olah ingin mengintimidasi sembari mengeluarkan suara melengking.

Sarapan dibawa dalam keranjang plastik berisi potongan besar buah-buahan tanpa kulitnya dilepas, di antaranya pepaya dan pisang. Ada juga mentimun. Begitu sarapan terhidang, dengan cepat tangan siamang yang panjang menyambarnya dari balik jeruji. Sekejap kemudian mereka sudah bergelayut di tali karet ban di bagian paling tinggi kandang sambil menik­mati buah-buahan tersebut. Setiap kandang mendapat jatah sepuluh pisang, sepotong besar pepaya, dan mentimun.

"Pasangan itu sudah siap dilepasliarkan ke alam karena mereka sudah seperti siamang liar. Ini terlihat dari suara ataupun tingkah lakunya. Mereka tak lagi menjejak di tanah, bahkan sudah bisa mengintimidasi kita seperti tadi," kata Asferi Ardiyanto, Manajer Umum Kalaweit.

Kandang-kandang primata itu dibangun terpisah dan masing-masing terhalangi oleh pepohonan agar mereka tidak berinteraksi. Di habitat aslinya, mereka hidup dalam satu keluarga kecil. Induk dan anaknya punya daerah teritori sekitar 20 hek­tare. "Jadi di sini juga kami usahakan seperti itu, masing-masing pasangan dalam satu kandang," ujar Asferi. Siamang yang belum mendapat pasangan dipisah dalam satu kandang tersendiri.

Di tempat rehabilitasi pada ketinggian 900 meter dari permukaan laut itu kini terdapat 64 ekor siamang, 32 owa, dan 7 bilou. Meski tempat ini lebih berfokus pada rehabilitasi siamang dan owa, satwa lain juga ditampung, seperti lima ekor beruang madu serta lutung dan monyet. Lingkungan yang nyaman dan makanan yang selalu terjaga membuat sebagian besar satwa terlihat sehat dan bugar. Dalam sepekan, hewan-hewan ini dapat menghabiskan 200 tandan pisang, 100 kilogram pepaya, 100 kilogram wortel, 200 kilogram semangka, dan 100 kilogram nanas plus sumber protein, seperti daging ayam, telur rebus, dan susu.

Primata yang dirawat Kalaweit sebagian besar berasal dari sitaan dan serahan masyarakat kepada Balai Konservasi Sumber Daya Alam yang dititipkan ke Kalaweit untuk persiapan diliarkan dan dikembalikan ke habitatnya. Siamang dan owa biasanya adalah hewan peliharaan sejak kecil sehingga sudah terbiasa hidup berdampingan dengan manusia. Saat awal datang, ada yang manja minta dibelai atau punggungnya digaruk. Ketika dewasa, primata ini mulai agresif, bisa mencakar atau menggigit. Pada saat itulah pemiliknya mulai kewalahan dan menyerahkan ke balai konservasi.

Satwa peliharaan yang datang kebanyakan dalam kondisi tertular penyakit, seperti cacingan dan jamuran. Bahkan ada yang mengidap hepatitis A, B, dan C; tuberkulosis; serta herpes. Karena itu, setiap satwa yang masuk harus melalui karantina agar tak menulari satwa lain. Primata yang baru datang itu langsung dibiasakan memakan buah dan pucuk daun seperti makanan di habitat aslinya. Satwa dewasa mulai dicarikan pasangan. "Untuk mencarikan pasangan yang cocok itu susah. Kadang mereka saling serang," kata Andre Agusman, anggota staf observasi satwa di Kalaweit.

Siamang dan owa yang telah mendapat pasangan lantas ditempatkan dalam satu kandang. Kini ada tiga pasang owa dan enam pasang siamang yang merawat anaknya dalam satu kandang. Sebelum dilepasliarkan, satwa-satwa ini harus dicarikan pasangan. Sebab, di alam liar, mereka biasanya kurang percaya diri untuk mencari pasangan sendiri. "Siamang dan owa itu bersifat monogami," ujar Asferi.

l l l

Yayasan Kalaweit Indonesia didirikan Aurelien Brule atau biasa dipanggil Chanee pada 1998. Awalnya mereka beroperasi di Kalimantan Tengah. Chanee mendirikan tempat rehabilitasi pertama di Muara Teweh, Kalimantan Tengah, atau Konservasi Center of the Gibbon. Nama Kalaweit diambil dari bahasa Dayak Ngaju di Kalimantan Tengah yang berarti kera tanpa ekor.

Pada 2003, mulai didirikan tempat rehabilitasi siamang dan owa di Sumatera Barat. Mulanya tempat rehabilitasi ini dibangun di Pulau Marak di Pesisir Selatan dengan tujuan menyelamatkan primata tersebut dari perdagangan liar. Ribuan primata diperdagangkan di Indonesia secara terang-terangan ataupun sembunyi. "Termasuk di Padang. Tempatnya dekat Padang Theater dan di Bukittinggi di dekat Janjang 40," ucap Asferi.

Yayasan Kalaweit mengontrak Pulau Marak untuk jangka waktu 10 tahun. Pulau itu dianggap tempat ideal dengan luas 1.000 hektare, tutupan hutannya masih bagus, serta masih banyak satwa lain, seperti burung dan monyet. Sepanjang 2003-2011 ditampung sekitar 80 primata. Empat pasang siamang telah dilepasliarkan di Pulau Marak. Seekor bokoi (Macaca siberu), primata endemis Mentawai, juga dilepasliarkan di Siberut.

Namun program rehabilitasi di Pulau Marak tak bisa berlanjut. Penyebabnya terjadi konflik klaim kepemilikan lahan dari warga lain yang juga mengaku sebagai pemilik pulau. "Ada yang datang minta sewa, kami bayar. Kemudian ada lagi pihak lain, kemudian datang lagi yang lain, banyak pihak yang kami bayar. Hal seperti itu kan enggak sehat lagi untuk sebuah program kalau selalu konflik," kata Asferi. Selain itu, ada kekhawatiran ancaman gempa dan tsunami. "Kalau petugas bisa menyelamatkan diri lari ke bukit dalam waktu 15 menit. Bagaimana dengan nasib satwa?" ujar Asferi.

Dengan berbagai kendala itulah Yayasan Kalaweit lantas mencari tempat lain untuk lokasi rehabilitasi satwa yang bisa dimiliki sendiri. Pilihan akhirnya jatuh ke hutan yang masih rapat di Nagari Supayang. Lokasi ideal bagi pusat rehabilitasi adalah jauh dari perkampungan dengan hutan yang masih bagus dan rapat. "Awalnya kami membeli lahan seluas enam hektare. Itu cukup untuk tempat rehabilitasi," katanya.

Proses pemindahan satwa memakan waktu lama hingga hampir dua tahun. Sebab, satu per satu kandang di Pulau Marak dibongkar. Mereka membuat kandang baru di Supayang. Setelah kandang selesai dibangun, siamang dan owa mulai dipindahkan dari Pulau Marak ke Supayang. "Yang paling susah itu menangkap siamang. Mereka besar dan kuat. Saya berkali-kali kena cakar dan digigit," kata Rina Iswati, satu dari dua dokter hewan di Kalaweit. "Untuk menangkapnya terpaksa disumpit dengan obat bius."

Setelah ditangkap, siamang dan owa dimasukkan ke kandang yang dipasang di perahu. Perjalanan perahu selama satu jam disambung perjalanan darat ke Supayang selama tiga jam. "Di perjalanan kadang ada yang muntah-muntah dan mabuk seperti manusia," ujar Rina. Proses pemindahan satwa dari Pulau Marak ke Supayang sempat memakan satu korban. Seekor anak siamang yang ditempatkan dalam satu kandang bersama induknya mati. Badannya luka-luka. Diduga induknya mengalami stres sehingga mencakar kandang dan mengenai anaknya.

Pada Juni mendatang, Kalaweit akan melepas empat pasang siamang ke hutan di Solok Selatan. "Sudah kami survei. Hutannya masih bagus walau bukan hutan lindung dan siamangnya tidak ada lagi, jadi bisa dilepas di beberapa titik," kata Asferi. Mencari lokasi pelepasan siamang dan owa juga perlu dilihat dengan cermat. Syaratnya, hutannya masih bagus dan populasi siamangnya sedikit atau tidak ada agar tak terjadi konflik antara siamang lama dan pendatang baru.

Saat ini habitat asli siamang dan owa menurun drastis akibat pembukaan lahan hutan, kebakaran, dan perburuan untuk peliharaan. Belum ada penelitian menyeluruh berapa jumlah siamang di alam liar. Namun diyakini dalam 20 tahun terakhir hanya tersisa 40 persen populasi siamang di alam. Jumlahnya diperkirakan tinggal 6.000 ekor. Jika tidak segera diambil langkah perlindungan, bukan tak mungkin suatu saat lengkingan khas suara siamang dan owa di hutan Indonesia tak lagi terdengar.

Febrianti (Padang)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus