Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Perempuan berusia 18 tahun di Cina, Xiaoyu memiliki gangguan kepribadian kepada sang kekasih. Pada tahun pertama berpacaran, ia mengembangkan ketergantungan yang tidak sehat pada pacarnya. Ia terus-menerus membutuhkan pembaruan tentang keberadaannya dan harus sering berkomunikasi.
Kondisi dalam hubungan pacaran tersebut semakin memanas ketika Xiaoyu selalu menelepon pacarnya lebih dari 100 panggilan dalam satu hari. Ia menelepon hanya untuk disambut dengan keheningan sehingga merasa tersakiti dan merusak benda-benda di rumah. Kekasih Xiaoyu yang mengkhawatirkan keselamatannya sehingga melaporkan kepada pihak berwenang.
Setelah itu, polisi langsung membawanya ke rumah sakit. Saat diperiksa di rumah sakit, ia didiagnosis borderline personality disorder (BPD). Kondisi ini kerap dikenal dengan sebutan “otak cinta”.
“Otak Cinta” atau BPD
Menurut Dr. Shaunak Ajinkya, konsultan psikiater Rumah Sakit Kokilaben Dhirubhai Ambani, Mumbai, “otak cinta” adalah istilah sehari-hari untuk menggambarkan perubahan neurofisiologis yang terjadi di otak ketika sedang mengalami cinta romantis.
Lebih lanjut, Shaunak menjelaskan, ketika jatuh cinta, otak melepaskan bahan kimia dan hormon tertentu, seperti dopamin, oksitosin, adrenalin, dan serotonin. Hormon ini menyebabkan berbagai perasaan dalam diri, termasuk kegembiraan, kasih sayang, dan keterikatan. Perubahan neurofisiologis yang terjadi di otak dapat terjadi pada siapa saja ketika mengalami cinta romantis, baik penderita BPD maupun tidak.
“Namun, orang dengan BPD mungkin mengalami cinta dan hubungan dengan cara berbeda dan lebih ekstrem daripada mereka yang tidak memiliki gangguan. Mereka memiliki hubungan intens, tidak stabil, kesulitan memercayai orang lain, dan ketakutan akan ditinggalkan yang memengaruhi hubungan mereka dan bagaimana mereka mengalami cinta romantis,” jelas Shaunak, seperti dilansir indianexpress yang dirilis pada 28 April 2024.
Berdasarkan clevelandclinic, gangguan kepribadian BPD, termasuk “otak cinta” dapat terjadi karena pelecehan dan trauma masa kecil. Sebanyak 70 persen penderita BPD telah mengalami pelecehan seksual, emosional, atau fisik sebagai seorang anak. Selain itu, BPD juga dapat terjadi karena adanya pemisahan ibu dan anak, jalinan ikatan ibu buruk, batas-batas keluarga yang tidak sesuai, dan gangguan penggunaan zat orang tua.
Genetika juga menjadi salah satu penyebab lain seseorang mengalami gangguan kepribadian ini. Jika memiliki riwayat keluarga BPD, seseorang lebih mungkin untuk mengembangkan kondisi ini. Penderita BPD atau “otak cinta” ini juga dapat terjadi karena perubahan otak. Bagian otak penderita BPD yang mengendalikan emosi dan perilaku tidak berkomunikasi dengan baik sehingga memengaruhi cara kerjanya dalam kehidupan nyata.
Dr. Shaunak juga mengungkapkan, seseorang yang mengalami “otak cinta” tidak berarti penderita gangguan kepribadian BPD. Sebaliknya, penderita BPD juga tidak berarti mengalami “otak cinta”.
Pilihan Editor: Perilaku Berbahaya Penderita Personality Disorder, Penyebabnya Bisa Keturunan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini