Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Kesenjangan peran domestik antara laki-laki dan perempuan karena kebiasaan.
Laki-laki yang mengerjakan pekerjaan rumah tangga dianggap lemah.
Berbagai tugas dalam rumah tangga justru bisa membuat keluarga menjadi lebih hangat dan harmonis.
Ada perasaan gengsi dan malu ketika Grant Nixon mencoba mengepel rumahnya untuk pertama kali. Ayah seorang anak ini merasa canggung dan pikiran negatif menguasainya. “Come on, masak cemen gitu. Kamu di bawah istrimu. Takut istri, ya, ngerjain pekerjaan rumah tangga,” begitu suara batinnya kala itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ia pun terus melanjutkan mengepel. Karena tak terbiasa, ia mengepel sembarangan dan malah membuat istrinya marah. Grant pun sempat berpikir mundur. Mau membantu dan ingin berubah, kok, tidak dihargai. Namun, dengan komunikasi yang baik, istrinya pun memahami dan Grant pun mulai belajar sedikit demi sedikit mengerjakan tugas rumah tangga.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pengalaman Sofiyan Hadi tak jauh berbeda. Saat itu, ia membantu istrinya mencuci dan menjemur baju, tapi mendapat komentar negatif dari tetangganya. Tapi ia tak mundur dengan ujaran nyinyir itu. ”Saya bahkan digelari bapak gender Indonesia oleh tetangga,” ujar Sofiyan, memberi komentar.
Grant dan Sofiyan kemudian menjadi laki-laki yang tak lagi malu-malu memegang peralatan rumah tangga. Mereka membantu mengepel, mencuci piring, mencuci baju, hingga mengasuh anak. Mereka pun harus bergulat dengan pemikiran sendiri dan stigma masyarakat bahwa pekerjaan rumah tangga adalah tugas istri.
Keduanya berbagi pengalaman dalam webinar bertajuk “Berbagi Peran Pekerjaan Rumah Tangga: Bagaimana Laki-laki dapat Melakukannya?” yang diselenggarakan Aliansi Laki-laki Baru dan Id.Com pada Kamis, 9 Juni 2022.
Grant bercerita bahwa ia tersadar untuk mengerjakan pekerjaan domestik ketika masuk S-2 Kajian Gender di Universitas Indonesia. Dari bacaan dan materi kuliah, ia merasa berlaku tidak adil. Apalagi ia seorang pendeta, yang selalu menyuarakan berbuat adil dan membantu sesama. “Saya menyuruh anggota jemaat berlaku adil, tapi saya tidak adil kepada istri sendiri. Dia bekerja dan masih mengurus rumah serta anak-anak. Bebannya ganda.”
Pekerjaan rumah tangga bagi sebagian masyarakat memang masih menjadi hal tabu dan memunculkan stigma negatif bagi laki-laki. Ada anggapan bahwa laki-laki yang mencuci, menyapu, dan menggendong anak akan jatuh wibawanya, lemah, takut istri, dan sebagainya.
Perlakuan terhadap Laki-laki Berbeda dengan Perempuan
Muhammad Saeroni, Koordinator Nasional Aliansi Laki-laki Baru mengatakan bahwa laki-laki jauh dari pekerjaan domestik lebih banyak karena kebiasaan. Laki-laki tidak pernah dibiasakan ikut turun mengerjakan tugas domestik. Anak laki-laki mendapatkan privilese dan diperlakukan secara berbeda dengan anak perempuan. ”Ketika tidak dibiasakan dan terjadi perubahan, akan menimbulkan perasaan canggung, tidak nyaman,” ujar Saeroni.
Karena tidak ada pembiasaan itu, kata dia, kemudian terbangun konstruksi, penormaan, bahwa urusan domestik adalah pekerjaan perempuan, bukan pekerjaan laki-laki. Faktor lain, tidak adanya contoh atau referensi di dalam keluarga. Menurut dia, jika dalam keluarga terbiasa berbagi tugas, anak-anaknya pun akan mudah ikut mengerjakan tugas domestik.
Saeroni cukup beruntung sejak kecil sudah terbiasa dengan pekerjaan rumah tangga karena hidup terpisah dari orang tuanya. Ia tidak dibiasakan masak tapi cukup mandiri untuk pekerjaan lain. Kini ia sedang belajar memasak. “Masih nyontek resep,” ujarnya.
Dampak Positif Berbagi Tugas Domestik
Keterlibatan para laki-laki, suami, atau ayah dalam berbagi tugas domestik, menurut Saeroni, mempunyai dampak positif bagi keluarga. Tidak hanya bagi istri yang terkurangi bebannya, tapi juga menciptakan suasana harmonis. Secara emosional dan fisik, anak pun lebih berkembang positif.
Saeroni mengutip hasil beberapa penelitian yang menyebutkan, ketika ayah terlibat dalam tugas domestik, termasuk pengasuhan, ayah dan anak mempunyai kelekatan hubungan secara fisik dan emosi. Anak-anak berkembang kognisinya, lebih matang emosi dan kehidupan sosialnya, serta lebih sehat secara fisik. ”Termasuk anak laki-laki dengan keterlibatan pengasuhan ayah, kecil kemungkinan ia terlibat risiko pergaulan negatif,” ujarnya. Dengan demikian, anak juga bisa tenang dan rileks. Ibunya pun juga lebih bahagia.
Ilustrasi ayah bermain dengan anak. Shutterstock
Hal ini dirasakan Jeannete Verica, seorang pemengaruh dan ibu seorang putri. Setelah menikah, ia mencoba mengajak suaminya berbagi tugas domestik. Setiap akhir pekan, mereka belanja bareng ke pasar. Ketika Jeannete menyapu, suaminya mengepel lantai. Ketika memasak, dia memotong sayuran dan suaminya meracik bumbu hingga memasak. Setelah itu, Jeannete akan mencuci piring.
Saat anak lahir, kemudian terjadi pandemi dan mengharuskan bekerja dari rumah hingga kembali bekerja di kantor, pembagian tugas terus berlangsung. “Jadi seru, ya, senang. Ada pengaruh pandemi, jadi lebih terasa. Lebih menguatkan relasi, bisa berbagi tugas.”
Grant dan Saeroni pun kini juga berbagi tugas dengan istrinya tak hanya urusan pekerjaan mencuci atau mengepel, tapi juga mengasuh anak balita mereka. Termasuk ketika istrinya melahirkan dan menyusui. “Saya ikut belajar pijat untuk ibu menyusui, mengalihkan supaya tidak stres juga,” ujar Grant. Istrinya pun senang dan tenang ketika menyusui anak mereka, sehingga produksi ASI pun lancar.
Adapun untuk membiasakan anak-anak melakukan pekerjaan rumah, kata Saeroni, harus diberi contoh dan dilibatkan sejak dini. Untuk laki-laki dewasa yang belum terlibat, perlu pendekatan intensif. Mereka bisa diajak berpikir rasional untuk menemukan basis nilai yang menjadi petunjuk hidupnya dan merefleksikan pengalaman yang baik dan buruk, serta apa dampaknya jika laki-laki bersifat kaku dalam peran domestiknya.
“Lalu diajak, dilatih empatinya, gali emosi positifnya, sehingga lebih peduli dan bisa menghargai pasangannya,” ujar Saeroni.
Tips Membiasakan Anak Laki-laki dalam Urusan Domestik
1. Kedua orang tua, terutama ayah, harus memberi contoh.
2. Ajari anak belajar mandiri: siapkan bekal dan peralatan sekolahnya, mencuci peralatan makan sendiri atau ajari memasak makanan kesukaannya, mencuci bajunya sendiri, serta membereskan tempat tidur dan mainannya.
3. Libatkan anak untuk melakukan pekerjaan rumah bersama-sama.
4. Beri apresiasi pekerjaan mereka meski belum sempurna untuk menumbuhkan nilai dan kebiasaan.
DIAN YULIASTUTI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo