Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Pelatih lari Andriyanto menyarankan fenomena joki Strava sebaiknya tidak perlu diglorifikasi. Tidak ada yang tahu dampak buruk seperti apa yang bisa benar-benar terjadi di kemudian hari kalau terus-menerus dibiarkan atau bahkan diberi panggung. “Jangan memberi gendang, sehingga para joki Strava itu bisa menari,” kata Andriyanto saat dihubungi Tempo pada 4 Juli 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ia sebenarnya tidak terlalu permasalahkan fenomena joki Strava ini. Namun ia tetap tidak setuju bila joki Strava ini dielu-elukan. “Menurut saya, ini fenomena yang, bukan sesuatu yang serius, kecuali kalau kepentingannya sudah untuk mencari hadiah di sebuah lomba lari, itu serius," katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Joki untuk perlombaan, menurutnya, menyangkut materi dan ada (catatan) performa masing-masing pelari. “Sama saja seperti menggunakan doping dalam bentuk yang lain. Ini malah lebih jahat, karena orang lain yang lari, tetapi dia yang juara,” ujarnya.
Sebelumnya, belum lama ini muncul sebuah tren joki baru yang ramai dibicarakan di jagat maya, yaitu joki Strava. Joki ini menawarkan catatan aktivitas olahraga, khususnya berlari, pada aplikasi Strava yang hasilnya biasa disebarluaskan melalui akun-akun media sosial dan seringkali dikaitkan sebagai tolok ukur pencapaian seseorang. Strava sendiri merupakan sebuah aplikasi berbasis data GPS (Global Positioning System) untuk melacak aktivitas fisik yang menggabungkan fitur jejaring sosial.
“Btw aku buka joki strava yahh!! tapi yang lari sodaraku yang jago larii, price menyesuaikan pace, km dan dl yahh!! bisa dm akyuuu.. #jokistrava,” tulis sebuah akun di platform X pada Rabu, 3 Juli 2024, yang langsung mendapat perhatian masif dari publik. Hingga tulisan ini dibuat, unggahan yang disertai foto tangkapan layar aplikasi Strava itu telah mendapat likes sebanyak 6.3 ribu dan dilihat sebanyak 679,9 ribu kali.
Andriyanto menduga para pengguna jasa joki Strava kemungkinan besar adalah pelari pemula yang membutuhkan validasi pencapaian dari netizen. Biasanya para pelari profesional akan lebih rendah hati, sehingga enggan memamerkan berbagai pencapaian larinya. “Semakin advance, malah mereka semakin tidak ingin pamer. Kebanyakan dari mereka mengunggah pencapaian mereka dalam berlari sebagai tolok ukur untuk mengetahui kemampuan mereka dan catatan digital saja,” katanya menerangkan.
Penyuka olahraga lari Febribusmadian Ian/Instagram @febribusmadian
Penyuka olahraga lari, Febribusmadian alias Ian, juga menduga para pelari pengguna joki Strava adalah para pelari baru atau orang-orang yang sebenarnya tidak menyukai olahraga lari, namun perlu eksis. "Mungkin itu pencapaian mereka untuk adu pamer karena teman-temannya banyak penyuka pelari," katanya.
Ia lebih menyarankan agar orang-orang yang membutuhkan validitas soal lari, dari teman-teman mereka, mungkin bisa mencari teman baru. "Ngapain bergaul sama orang yang suka lari, tapi membohongi diri juga dengan menghalalkan segala cara demi persaingan," katanya.
Ian mengingatkan bahwa lari termasuk salah satu olahraga. Sebagai bagian dari olahraga, lari juga menjunjung tinggi sportivitas dan kejujuran. "Ibaratnya, kan aneh, buat apa lo pakai toga, tapi tidak pernah bikin skripsi atau tidak melalui proses. Seperti lo pamerin medali (hasil olahraga lari) di media sosial tapi tidak berlari," katanya.
Ia pun mengingatkan netizen Indonesia semakin pintar. Sehingga biasanya akan segera tahu mana prestasi yang didapat dengan kerja keras, dan mana yang menggunakan cara yang tidak jujur. "Kalau joki Strava demi validasi digunakan pelari baru, wajar. Tapi kalau pelari lama (yang menggunakan joki Strava) keterlaluan sih," katanya.
Pilihan Editor: Lokasi Baru, Event Coast To Coast Night Trail Ultra 2024 Yogyakarta Diikuti Pelari dari 24 Negara