Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Gaya Hidup

Tuntutan Ekonomi, Tenun dengan Warna Alami Nyaris Ditinggalkan

Para penenun asal Muara kini nyaris tidak lagi menggunakan warna alami. Tenun dengan warna alami menghadapi banyak rintangan.

22 Oktober 2018 | 19.50 WIB

Ilustrasi tenun alam.
Perbesar
Ilustrasi tenun alam.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta - Tumbuhan indigo yang tumbuh subur di tanah Kecamatan Muara, Tapanuli Utara, Sumatera Utara, bisa diekstraksi menjadi pewarna biru alami. Orang-orang Muara dulu kerap menggunakannya untuk mewarnai benang yang akan dia tenun. Namun para penenun asal Muara kini tak lagi menggunakannya, demikian pula Dameria Sianturi.

Baca: Tenun Jadi Alat Penguatan Perempuan 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Perempuan yang sudah menenun sejak usia 13 tahun itu sekarang usianya 68 tahun, namun tangannya masih cekatan memilin dan mengikat benang untuk membuat ulos. Ia akan membuat ulos warna biru tua. Di Muara ulos kebanyakan berwarna biru tua, hitam dan abu-abu karena warna-warna itu yang paling mudah dibuat menggunakan bahan-bahan yang ada di lingkungan sekitar.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tak seperti tenun kecamatan tetangganya, Tarutung, tenun Muara dibuat dengan mengikat benang dan kemudian mencelupkannya ke pewarna, serupa dengan teknik tenun masyarakat Sumba. "Kalau di Tarutung mereka membeli benang yang berwarna kemudian ditenun, kalau di Muara kami mengerjakannya dari mewarnai benang," kata Dameria.

Sewaktu muda, Dameria yang sudah 40 tahun menekuni dunia tenun pernah merasakan mewarnai benang menggunakan pewarna alami. "Dulu sekali itu saya pakai daun Salo untuk membuat warna hitam, tetapi sekarang kami tidak pakai lagi," kata dia.

Tapi kepraktisan dan tuntutan ekonomi membuat penenun Muara meninggalkan pewarna alami. Dameria mengatakan proses pembuatan tenun bisa memakan waktu berbulan-bulan kalau menggunakan pewarna alami, sedangkan dengan pewarna sintetis dia bisa membuat satu kain ulos hanya dalam tempo seminggu saja. "Kalau pakai pewarna alami itu lama, dicelup kemudian dijemur, terus dicelup lagi, berulang-ulang hingga warnanya keluar. Tetapi kalau pakai pewarna sintetis satu jam saja dicelup udah keluar warna birunya," kata ibu dari tujuh anak tersebut.

Meski pewarna sintetis unggul dalam waktu, dia mengakui, pewarna alami memberikan kualitas jauh lebih baik dibandingkan pewarna sintetis. Kain yang diwarnai menggunakan pewarna alami akan lebih awet, warnanya tidak mudah luntur. Harga ulos dengan pewarna alami pun akan lebih mahal. Meski demikian Dameria tetap tidak tertarik untuk kembali menggunakan pewarna alami. Tuntutan ekonomi memaksanya menghasilkan banyak ulos dalam tempo singkat untuk di jual ke pengepul.

Selain menenun, Dameria juga bertani. Dia menanam padi, jagung dan lainnya. Tetapi cuaca dan iklim yang tidak menentu membuat penghasilan dari bertani tidak tentu pula, sehingga dia mengandalkan tenun sebagai sumber pendapatan utama. "Kalau sekarang ini, memang pendapatan lebih banyak dari menjual ulos dibandingkan dari bertani," kata Dameria.

Baca: Tidak Tahu Menenun, Orang Timor Belum Boleh Kawin

Dameria dapat menghasilkan empat sarung dan empat selendang tenun dalam sebulan dan menjualnya ke pengepul dengan harga Rp1,5 juta. Meski tidak lagi menggunakan pewarnaan alami, teknik pembuatan dan motif tenun Muara belum banyak bergeser dari tenun tradisionalnya. Menurut Dameria, ulos asal Muara masih memiliki nilai ritus, tidak seperti ulos masa kini. "Di sini orang bikin ulos biasanya ada tujuannya, misalnya membuat ulos Bintang Maratur, dibuat seorang nenek untuk cucunya supaya sehat selalu dan dipermudah segalanya," kata dia.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus