BROSUR imbauan vaksinasi hepatitis B yang dibagikan kepada siswa di Jakarta, belum lama ini, sempat mengundang keresahan orang tua terutama orang tua yang awam tentang penularan virus hepatitis. Bayangkan, betapa risau dan gelisah mereka: bila anaknya tidak divaksinasi, menurut brosur, anak itu bisa mengidap kanker hati. Padahal, bagi sebagian orang tua, biaya vaksinasi masih relatif mahal satu paket antara Rp 21 ribu dan Rp 39 ribu. Tarif ini sebenarnya lebih murah dibandingkan dengan biaya vaksinasi individual, yang mencapai Rp 100 ribu. Namun, supaya keresahan tak berkepanjangan, Menteri Kesehatan Sujudi pekan lalu memerintahkan penarikan brosur-brosur tersebut. Selintas, bagi masyarakat, tampaknya belum jelas siapa saja yang perlu mendapat vaksinasi hepatitis B. Menurut Dokter Adnan S. Wiharta, prioritas pertama adalah semua bayi yang baru lahir. Kepala Sub-Bagian Hepatologi Anak Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta, ini memberi alasan, kalau yang terkena infeksi virus hepatitis B (VHB) tersebut bayi, kemungkinan besar 90% dari mereka akan mengalami hepatitis kronis. Tapi, bila orang dewasa yang terkena, hanya 510% yang menjadi penderita kronis. Nah, risiko ini mesti dihindari. Soalnya, bila kronis, penderita bisa terjangkit sirosis hati (pengerutan dan pengerasan) bahkan juga kanker hati. Ini bisa fatal karena hepatitis B belum ditemukan obatnya. Menurut Adnan, masih ada alasan lain, yakni bayi, dibandingkan dengan orang dewasa, lebih sering berurusan dengan jarum suntik, lewat imunisasi. Padahal, jarum suntik berpotensi sebagai sumber penularan VHB. Selain itu, Adnan juga mencatat keuntungan lain, yaitu merangsang kekebalan tubuh bayi yang lebih tinggi dibandingkan dengan kekebalan orang dewasa. Selain bayi, yang perlu diprioritaskan untuk vaksinasi hepatitis B adalah mereka yang hidup dalam lingkungan keluarga yang anggotanya sudah ada yang membawa VHB. Misalnya saja si bapak sudah mengantongi VHB, anak dan istrinya sebaiknya divaksinasi. Yang juga perlu mendapat vaksinasi hepatitis adalah mereka yang sering melakukan transfusi atau donor darah. Mereka sebaiknya mendapat perlindungan dengan vaksin hepatitis B. Kini timbul pertanyaan, apakah anak-anak sekolah perlu divaksinasi. ''Kalau ada uang, lebih baik dilakukan vaksinasi,'' kata Adnan. Namun, itu bukan prioritas. Apalagi sekitar 20% anak sekolah sudah memiliki kekebalan alami, sedangkan lingkungan sekolah bukan tempat penularan yang serius. Seperti diketahui, penularan VHB adalah lewat darah dan hubungan seksual, atau melalui peralatan seperti sikat gigi, harmonika, dan pisau cukur yang dipakai secara bergantian. Jika terdapat luka pada si pemakai, peralatan itu bisa berpotensi sebagai sarana penularan. Selama ini yang masih menjadi perdebatan ialah perlu-tidaknya tes darah sebelum vaksinasi. Tes darah dilakukan untuk mengetahui apakah mereka sudah membawa VHB atau belum. Juga untuk mengetahui apakah mereka sudah kebal atau belum. Menurut Dokter Adnan, tes darah itu tidak harus dilakukan, kecuali bagi mereka yang mampu. Mengapa? Kalau toh mereka sudah kebal atau sudah punya virus, tindakan vaksinasi tidak membahayakan. Sebab, sifat vaksin ini bukan seperti vaksin BCG, misalnya, yang berasal dari virus yang dilemahkan. Penyuntikan vaksin hepatitis adalah untuk melapisi permukaan liver, supaya kebal terhadap virus. Sampai di sini, agaknya, sudah tak diragukan bahwa vaksinasi sejak dini perlu dilakukan. Apalagi angka penderita hepatitis B di Indonesia diperkirakan cukup tinggi, yakni 10 juta lebih. Jumlah ini bisa menjadi sumber penularan yang membahayakan. Kini, supaya efektif, vaksinasi pada anak-anak bisa dilakukan serentak dengan vaksin polio, BCG, atau DPT ketiganya sudah lama menjadi program nasional.GT
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini