PENANGANAN kanker di Indonesia memasuki era baru. RS Kanker Dharmais, rumah sakit kanker terlengkap dan bertaraf internasional, akan diresmikan Presiden Soeharto, yang juga Ketua Yayasan Dharmais, Sabtu pekan ini. Terletak di Jalan S. Parman, Jakarta, rumah sakit itu dibangun delapan tingkat, megah, dan sepintas mirip hotel. Pasien yang dirawat di sini ada 300 tempat tidur dengan kamar berpengatur hawa, televisi, dan telepon tak dapat tidak, akan merasa nyaman. Bersamaan dengan itu, ada 43 dokter ahli yang akan menangani para pasien. Harus diakui, pembangunan RS Kanker Dharmais merupakan upaya yang sungguh-sungguh untuk mengadakan fasilitas perawatan kanker yang lengkap di negeri ini. Biayanya mencapai Rp 100 miliar, termasuk dana untuk membeli peralatan yang pasti sangat mahal harganya. ''Dengan sentralisasi seperti ini, berarti penghematan besar sekali,'' kata Hedijanto, pemimpin proyek yang juga bendahara Yayasan Dharmais. Maksudnya, tak perlu lagi membangun unit-unit kanker yang lebih kecil di daerah karena, akibatnya, dana yang dikeluarkan akan lebih besar. Kendati investasinya besar, RS Dharmais tak komersial. Sebagian biaya operasinya akan ditutupi oleh donatur, antara lain Yayasan Kanker Indonesia. Manfaat RS Dharmais jangan ditanya lagi terutama kini, manakala jumlah penderita kanker semakin banyak. Tahun ini diperkirakan ada 180 ribu orang yang mengidap kanker, berdasarkan taksiran 100 orang pengidap per 100 ribu penduduk. Terbanyak adalah kanker leher rahim (18,41%), kemudian kanker payudara (11,6%), kulit (8,2%), nasofaring (paru-paru) (6,2%), hati (4,9%), kelenjar getah bening (4,9%), rektum, jaringan lunak, tiroid, dan kanker kolon (usus besar). Jumlah penderita kanker tiap tahun bertambah 28%. Pelan tapi pasti, peringkatnya sebagai penyebab kematian meningkat. Kini sudah di urutan ke-6, padahal pada tahun 1974 baru di urutan ke-12. Yang istimewa pada rumah sakit ini adalah layanan terpadu ''satu atap'', yang tak bisa diberikan oleh rumah sakit biasa di tingkat provinsi atau pusat. Di rumah sakit biasa, penanganan kanker terpisah-pisah. Misalnya, pasien kanker leher rahim ditangani bagian ginekologi, sedangkan pasien kanker prostat di bagian urologi. Kadang timbul kesulitan berkomunikasi di antara tiap bagian tersebut. Selain itu, fasilitas di rumah sakit biasa kurang memadai untuk menangani kanker saja. Unit radioterapi dipakai oleh pasien dari semua bagian. Bahkan, ada pasien kanker payudara yang mesti tabah menunggu dua bulan sampai gilirannya tiba. Problem itu akan teratasi dengan kehadiran RS Kanker Dharmais. ''Pelayanan kanker kita terpadu, satu atap,'' kata Dr. Riwayat Suyono M.A.R.S., dirut rumah sakit ini. Diagnosa sampai terapi bisa dilakukan berurutan dengan mudah. ''Yang dini bisa disembuhkan. Bagi yang tidak bisa sembuh, akan diberikan pengobatan hingga tetap produktif. Bila tak bisa apa-apa lagi, akan direhabilitasi dengan latihan dan pengobatan sehingga bisa berdiri sendiri,'' katanya. Peralatan medis yang terkomputerisasi memungkinkan akurasi diagnosa dan terapi. CT-scan radiotherapy, misalnya, akan memotret profil kanker pasien dari berbagai sudut sehingga dapat direncanakan penyinaran yang paling tepat. Penggunaan alat ini baru yang pertama di Indonesia. Selain itu, ada fasilitas LINAC (linear accelerator) II, yaitu kamar bedah berikut alat radiasi, sehingga pasien bisa disinari langsung setelah di-''buka''. Dibantu tim operator medis yang mendapat pelatihan di AS dan Jerman, serta tim ahli yang diperkuat antara lain oleh Kelompok Kerja Kanker Fakultas Kedokteran UI/RSCM yang sudah berpengalaman sejak tahun l975, Dr. Riwayat yakin akan kemampuan timnya. ''Diharapkan, semua penyakit kanker bisa diatasi di sini,'' katanya. Prof. Ary Harryanto Reksodiputro, wakil direktur pelayanan medis rumah sakit ini, berharap kehadiran RS Dharmais bisa mengurangi pasien Indonesia yang berobat ke Singapura atau ke Australia. ''Saya yakin bisa diobati di sini. Termasuk kanker pankreas dan kanker otak.'' Melengkapi fungsinya sebagai rujukan tertinggi dan pusat riset, RS Kanker Dharmais juga bekerja sama dengan Batan, Institut Kanker Antoni van Leewenhoek Huis di Amsterdam, Belanda, serta pusat riset kanker MD Anderson di Texas, AS. Kelak, pakar dari luar akan diundang untuk mengajar. ''Kita juga meriset standar protokol (prosedur) pengobatan yang cocok untuk Indonesia,'' ujar Prof. Harryanto. Para dokter juga menyambut hangat peresmian RS Dharmais. ''Rumah sakit kanker memungkinkan dilakukannya deteksi dini pada kanker,'' kata Prof. Moch. Soebagyo Singgih, ahli radiologi dari Fakultas Kedokteran Unair, Surabaya. Sekarang, baru 2% kanker dini yang terdeteksi. Dr. Didid Tjindarbumi, mantan Ketua Himpunan Onkologi Indonesia, berkomentar senada. ''Rumah sakit seperti ini sudah lama kita idam-idamkan,'' katanya. Tapi menghadang kanker tak bisa dilakukan oleh sebuah rumah sakit saja. Apalagi hingga kini baru tersedia 27 dokter ahli kanker. ''Harus dibantu penyuluhan, agar masyarakat sadar bahaya kanker dan memeriksakan diri sejak dini,'' ujar Dr. Didid. Indrawan dan Kelik M. Nugroho (Surabaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini