Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Pemerintah diharapkan menyiagakan pemeriksaan di pintu masuk negara guna mencegah masuknya virus cacar monyet.
Singapura sudah mengkonfirmasi empat kasus cacar monyet, dengan satu di antaranya merupakan transmisi lokal.
Pemerintah diharapkan membuka peluang vaksinasi cacar untuk mencegah risiko keparahan infeksi cacar monyet.
JAKARTA – Sejumlah pakar epidemiologi meminta pemerintah berfokus membendung masuknya cacar monyet. Musababnya, penyakit yang disebabkan virus tersebut sudah menular di Singapura.
Cacar monyet adalah infeksi virus dari kelompok Orthopoxvirus yang mengakibatkan bintil bernanah di kulit. Serupa dengan cacar air, bintil pada cacar monyet atau monkeypox ini mengeluarkan nanah. Ada juga benjolan di leher, ketiak, dan selangkangan akibat bengkaknya kelenjar getah bening.
Kementerian Kesehatan Singapura mengidentifikasi empat kasus cacar monyet. Tiga pasien terbaru dikonfirmasi pada pekan lalu. Ada warga India yang tinggal di Singapura dan belum lama pulang dari Jerman. Awalnya pria berusia 30 tahun itu mengalami ruam kulit di selangkangan pada 30 Juni lalu, lantas demam sepekan kemudian. Setelah dites, hasilnya positif cacar monyet.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kasus berikutnya, warga India berusia 36 tahun yang kembali dari Amerika Serikat. Kementerian Kesehatan Singapura mengkonfirmasi dua temuan tersebut sebagai kasus impor.
Kasus pertama, yang ditemukan pada 20 Juni lalu, juga berstatus impor. Pasien merupakan pramugari, 42 tahun, asal Inggris. Penularan lokal menjangkiti pasien berusia 45 tahun asal Malaysia. Gejala mereka nyaris serupa, yaitu demam, kelelahan, dan ruam kulit.
Kementerian Kesehatan Singapura menyatakan tiga kasus baru cacar monyet itu tak saling terkait. Para pasien sudah mendapat perawatan dan isolasi khusus. Petugas juga melacak kontak para korban cacar monyet. Mereka yang pernah kontak dengan pasien wajib menjalani isolasi selama 21 hari sembari dipantau kesehatannya.
Epidemiolog dari Universitas Airlangga, Windhu Purnomo, mengatakan pemerintah seharusnya sudah bersiaga menghadapi invasi cacar monyet lantaran negara tempat terjadinya penyebaran adalah Singapura, negara transit utama sebelum masuk ke Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ilustrasi virus cacar monyet. REUTERS/Dado Ruvic
Menurut Windhu, Singapura bukan satu-satunya pintu masuk virus cacar monyet. Sekitar 100 ribu peserta haji Indonesia yang kini bersiap pulang ke Tanah Air juga berisiko menjadi vektor virus cacar monyet. Sebab, selama sekitar dua pekan di Tanah Suci, mereka berinteraksi dengan anggota jemaah dari negara lain, termasuk Afrika Tengah dan Barat—lokasi penyebaran awal cacar monyet. "Juga risiko penyakit menular lain, termasuk Covid-19," kata Windhu kepada Tempo.
Windhu menyarankan pemerintah mempertebal pemantauan kesehatan di bandara, pelabuhan laut, hingga lintas batas darat. Beruntung, gejala cacar monyet lebih mudah terlihat dibanding Covid-19.
Ciri khas gejala, seperti demam, ruam kulit, hingga muncul bintil di lengan, wajah, dan tubuh, membuat para suspek lebih mudah terdeteksi. Jika ditemukan kasus cacar monyet pun, Windhu berharap pemerintah dan masyarakat tidak panik. Sebab, kunci dari penanganan penyakit ini adalah isolasi dan pelacakan. Intinya, jangan sampai virus ini berpindah ke orang lain.
Windhu pun meminta pemerintah mempertimbangkan ulang penyediaan vaksin cacar, yang diprediksi mampu mencegah infeksi cacar monyet hingga 85 persen. Adapun Indonesia secara teori terbebas dari virus cacar sejak 1980. "Seharusnya dilakukan vaksinasi cacar bagi penduduk yang belum pernah divaksin," kata dia.
Epidemiolog dari Universitas Indonesia, Tri Yunis Miko, menyarankan pemerintah menguji coba keampuhan vaksin cacar untuk mencegah keparahan infeksi cacar monyet. Sebab, secara teknis, virus cacar monyet masih satu famili dengan virus cacar, yakni Orthopoxvirus.
Miko mengajak masyarakat tak panik akan ancaman cacar monyet. Sebab, faktanya, virus tersebut pernah masuk Indonesia pada 2004.
Berdasarkan laporan, sejumlah penangkaran monyet di Kepulauan Seribu dan Bali pernah terserang virus cacar monyet. Namun, karena minim interaksi, virus tersebut tak menimbulkan infeksi terhadap manusia. Berbeda dengan masyarakat di Afrika Tengah dan Barat yang menjadi asal virus cacar monyet. Masyarakat di negara-negara tersebut masih kerap mengkonsumsi daging monyet atau hewan lain yang menjadi inang virus tersebut. "Di Indonesia sangat jarang konsumsi daging monyet," ujarnya. "Topeng monyet saja sudah jarang sekarang."
Walhasil, menurut Miko, pengawasan pintu masuk Indonesia dan upaya karantina menjadi solusi paling tepat untuk mencegah penularan cacar monyet di Tanah Air. Pemerintah harus tegas menerapkan karantina bagi warga negara asing atau Indonesia yang datang dari negara epidemi cacar monyet. "Untungnya, gejala cacar monyet ini mudah dikenali. Jadi, seharusnya bisa mudah dideteksi dan dikarantina," kata dia.
embed
Juru bicara Kementerian Kesehatan, Mohammad Syahril, mengatakan belum ada laporan suspek cacar monyet di Indonesia. Syahril mengatakan setidaknya sempat ada 10 terduga suspek cacar monyet di empat provinsi, yakni DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Kalimantan Barat. Namun terduga suspek tersebut tak terkonfirmasi cacar monyet.
Syahril juga mengatakan Kementerian Kesehatan telah merilis surat edaran tentang kewaspadaan terhadap penyakit cacar monyet hingga dinas kesehatan provinsi dan kabupaten/kota. "Intinya, Kementerian meminta semua dinas kesehatan di daerah ikut memantau perkembangan cacar monyet tingkat global hingga meningkatkan kewaspadaan di daerah," ujarnya.
Syahril ikut meminta masyarakat untuk waspada. Termasuk jika mengalami gejala demam dan ruam, diharapkan segera memeriksakan diri ke fasilitas pelayanan kesehatan terdekat. Selain itu, protokol kesehatan, seperti rajin mencuci tangan dan menghindari kerumunan, wajib dilakukan masyarakat. "Juga perilaku hidup bersih dan sehat," kata dia.
INDRA WIJAYA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo