Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Badan Kesehatan Dunia (WHO) Indonesia membuat penelitian soal kandungan lemak trans dalam makanan di Indonesia. Hasilnya hampir 10 persen makanan memiliki kadar lemak trans yang melebihi ambang batas WHO. "Temuan kami, 11 dari 130 atau 8,46 persen makanan memiliki kandungan lemak trans melebihi 2 gram per 100 gram lemak," kata Team Lead NCDs and Healthier Population, WHO Indonesia, Lubna Bhatti dalam konferensi pers bertajuk Menuju Eliminasi Lemak Trans di Indonesia pada 6 Mei 2024 di Jakarta.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
WHO mendukung pelaksanaan kajian sumber asam lemak trans pada pangan yang mengukur kandungan lemak trans di makanan berbasis lemak/ minyak di Indonesia. Sebanyak 130 produk makanan yang diteliti tim WHO. 130 produk makanan itu dikategorikan menjadi 4.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kategori pertama adalah lemak dan minyak yaitu minyak memasak, minyak salad, minyak goreng, mentega, mentega putih dan shortening, minyak samin. Kategori kedua adalah margarin dan selai. Contohnya margarin, selai kacang, selai lain.
Team Lead NCDs and Healthier Population, WHO Indonesia, Lubna Bhatti dalam konferensi pers bertajuk Menuju Eliminasi Lemak Trans di Indonesia pada 6 Mei 2024 di Jakarta/Tempo-Mitra Tarigan
Kategori ketiga adalah makanan kemasan seperti biskit, kue, wafer, bolu dan roti. Kategori terakhir adalah makanan siap saji seperti makanan goreng dan makanan panggang.
Lubna mengingatkan bahwa asam lemak trans dalam jumlah besar dokaiykan engan peningkatan risiko serangan jantung dan kemaian akibat penyakit jantung koroner. "Setiap tahun, ada lebih dari 500 ribu orang meninggal karena penyakit jantung. Di Indonesia pun jumlah kasus penyakit tidak menular terus naik hingga mencapai 70 persen," katanya.
Lubna mengingatkan bahwa asam lemak trans dalam jumlah besar bisa meningkatkan risiko serangan jantung dan kematian. WHO merekomendasikan agar orang dewasa membatasi konsumsi lemak trans di bawah 1 persen saja dari total asupan energinya, yaitu kurang dari 2,2 gram per hari untuk asupan 2 ribu kalori.
Lubna juga mengkhawatirkan soal makanan lemak trans dalam kadar tinggi yang semakin banyak dikonsumsi oleh anak-anak. Bila tidak segera dibatasi, maka dampak lebih luasnya adalah akan ada kenaikan jumlah anak dengan obesitas di masa yang akan datang. Dan obesitas tentu saja dekat dengan berbagai penyakit tidak menular, salah satunya penyakit jantung serta diabetes melitus. Berbagai layanan kesehatan kuratif dari penyakit itu pastinya akan menghabiskan banyak anggaran negara.
Dalam temuan ini pun WHO memberikan rekomendasi berupa dua hal. Pertama adalah Indonesia perlu menetapkan peraturan eliminasi lemak trans industrial dengan membatasi kandungan lemak trans hanya 2 persen dari kandungan lemak total di segala produk makanan. "Pilihan kedua adalah pemerintah Indonesia perlu melarang produksi penggunaan, penjualan dan impor minyak yang terhidrogenasi Sebagian (PHO)," kata Lubna.
Wakil Menteri Kesehatan Dante Saksono Harbuwono menyetujui pentingnya eliminasi lemak trans. "Indonesia menghadapi risiko masuknya produk yang mengandung lemak trans tinggi sehubungan dengan apra produsen yang menyasar pasar masih mengizinkan produk itu," katanya.
Ia pun memahami bahwa minyak terhidropgenasi Sebagian alias PHO ini sangat disukai oleh industry karena bisa memberikan umur produk yang lebih Panjang. Tapi saying dalam metabolisme tubuh akan ada masalah kardiovaskular yang meningkat.
Dante mengatakan Kementerian Kesehatan mengapresiasi upaya kajian kandungan lemak trans pada makanan yang dilakukan oleh tim WHO. Ia pun akan berupaya untuk membuat regulasi agar lemak trans bisa dibatasi di produk makanan di Indonesia. "Agar kita bisa turunkan angka kematian kardiovaskular, sehingga masyarakat bisa lebih sehat," katanya.
Konferensi pers bertajuk Menuju Eliminasi Lemak Trans di Indonesia pada 6 Mei 2024 di Jakarta/Tempo-Mitra Tarigan
Walau begitu, ada juga beberapa tantang dalam pemberlakuan aturan ni khususnya dalam sektor informal seperti dari para penjual gorengan serta penjual martabak. "Maka itu, kita perlu edukasi lebih jauh lagi di masyarakat untuk ingatkan konsumsi lemak yang lebih sehat," katanya.
Founder Center for Indonesia's Strategic Development Initiatives (CISDI) Diah Satyani Saminarsih juga ikut mengapresiasi WHO yang sudah membuat penelitian ini. Penelitian WHO ini sejalan dengan nafas CISDI yang juga fokus untuk mengurangi angka obesitas masyarakat melalui rekomendasi kenaikan harga cukai Minuman Berpemanis Dalam Kemasan (MBDK) di Indonesia. Diah berharap akan semakin banyak penelitian yang sejalan untuk membatasi gula garam dan lemak sehingga pemerintah bisa memberikan regulasi berdasarkan bukti dari penelitian yang valid.
Walau begitu, ia pun menilai data dari WHO ini masih sangat mendasar, yaitu sebatas agar masyarakat lebih waspada tentang berbagai makanan yang ternyata memiliki kandungan lemak trans tinggi. Diah menilai masyarakat dan Lembaga perlu membuat penelitian yang lebih merindi lagi khususnya soal apa keuntungan yang dapat dirasakan para industri yang masih menggunakan berbagai bahan dasar dengan landungan lemak trans tinggi ini. "Apa rekomendasi ekonomi insentif dan disinsetif para industri bila mau ikut regulasi dengan kurangi penggunaan asam lemak trans ini?" kata Diah.
Ia pun menilai perlu bagi pemerintah untuk ikut memikirkan ketersediaan an ksesibilitas berbagai makanan pilihan yang lebih sehat di kalangan masyarakat. Jangan sampai makanan yang sehat dan baik untuk Kesehatan masyarakat itu harganya mahal,sehingga akhirnya masyarakat akan Kembali memilih makanan yang murah dengan kandungan gizi yang minim. "Penyediaan makanan alternatif yang lebih sehat dan terjangkau perlu disediakan. Jangan sampai orang berpikir 'Saya mau beli yang wajib saja susah, apalagi beli makanan yang sehat tapi mahal'," kata Diah.
Pilihan Editor: WHO Larang Indonesia Gunakan Lemak Trans, Apa Alasannya?