Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Handaka Vijjananda, pendiri Ephipassiko Foundation, lembaga yang membuat studi tentang relief Candi Borobudur mendongeng dengan penuh semangat. Dia memimpin 100 orang mengelilingi candi Buddha terbesar di dunia itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rombongan peserta dari Borobudur Writers & Cultural Festival terlihat antusias mendengarkan Handaka, Sabtu pagi, 23 November 2019. Acara yang mengkaji berbagai pemikiran itu, pada perhelatan 2019 mengangkat tema Tuhan dan Alam Membaca Ulang Panteisme, Tantrayana dalam Kakawin dan Manuskrip-Manuskrip Kuno Nusantara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mereka berjalan memutari setiap lantai candi dengan cara pradaksina, memutari candi searah jarum jam di lima lantai candi. "Jangan memegang dan bersandar pada candi agar tak rusak. Demi anak cucu," kata Handaka mengingatkan seluruh peserta.
Kesejukan udara di perbukitan sekitar perbukitan Borobudur menyegarkan. Handaka memulai dengan menceritakan kisah-kisah filosofi sejumlah relief yang ada di candi. Bangunan bersejarah yang berdiri selama 12 abad itu istimewa karena punya banyak relief. Total ada 2.672 relief terdiri dari relief naratif dan dekoratif. Relief naratif memiliki cerita sedangkan dekoratif adalah hiasan di pinggir-pinggirnya. Ada 1.212 relief dekoratif dan 1.460 relief naratif.
Rombongan peserta dari Borobudur Writers & Cultural Festival terlihat antusias mendengar kisah dalam relief Borobudur. TEMPO/Shinta Maharani
Handaka melakukan riset tentang relief itu selama 5 tahun lebih. Hasilnya akan ditulis dalam 27 buku. Selama dua jam, dia mendongengi peserta tentang kisah-kisah penting Sidharta Gautama, tokoh penting umat Buddha.
Dongeng-dongeng tentang binatang bereinkarnasi yang ada di relief-relief membuat peserta antusias. Misalnya cerita tentang Mahakapi, tentang seekor kera yang hidup sederhana. Suatu ketika, kera raksasa itu menolong manusia yang tersesat di hutan dan terluka. Kera menolong dan merawat manusia dengan penuh kasih sayang. Setelah menolong, kera tertidur karena kelelahan.
Manusia yang ditolong itu lalu melempari kepala kera dengan batu berukuran besar. Kera itu kemudian bicara, mengapa manusia itu malah mencelakainya yang sudah menolong. Karma buruk lalu menghampiri manusia itu dan dia terkena kusta lalu meninggal. Kera itu kera Bodhisatvva, ajaran Buddha tentang pengorbanan makhluk terhadap semesta dan selain dirinya. Kera raksasa lalu bereinkarnasi, lahir menjadi pangeran Sidharta.
Selain itu, Handaka juga menceritakan kisah tentang dua rusa pemurah yang meminta agar raja tak memanah orang-orang yang jahat terhadap rusa. Ada juga cerita tentang kelahiran Buddha hingga mencapai pencerahan dan karma yang membuat manusia sengsara.
Salah satu peserta yang rutin mengikuti festival itu adalah Yeni Mada dari Balai Bahasa Pontianak, Kalimantan Barat. Yeni menyukai tur relief candi dan tidak pernah absen untuk ikut. Buat dia memaknai filosofi relief itu penting agar setiap orang bisa mengenal dan memahami sejarah Borobudur. "Di candi ini tidak sekadar selfie atau berfoto-foto. Tapi, memahami makna dan sejarah Borobudur jauh lebih penting," kata Yeni.
Kisah tentang kera raksasa yang membantu manusia kemudian terlahir kembali menjadi manusia. TEMPO/Shinta Maharani
Dua jam tur relief, Yeni memperhatikan penjelasan Handaka dengan khusyuk. Dia juga memotret relief-relief penting yang Handaka jelaskan dengan detail.
Tur relief yang menambah pengetahuan itu berlangsung sejak pukul 06.00 hingga pukul 8.30. Peserta mendapatkan pencerahan sekaligus olahraga pagi memutari candi hingga ke puncak stupa yang indah.
SHINTA MAHARANI