Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Malang - Dalam sepekan terakhir arus lalu lintas di Kota Malang dipadati mobil pribadi yang berpelat nomor luar Malang. Saking padatnya, di beberapa titik jalan mengalami kemacetan yang parah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Keramaian paling mencolok di Taman Trunojoyo dan terlebih lagi di Alun-alun Merdeka Malang. Taman Trunoyo diresmikan Wali Kota Mochamad Anton pada 1 Juni 2014 dan lokasinya di seberang Stasiun Kota Baru. Sedangkan Alun-alun Merdeka Malang dibangun Pemerintahan Vereenigde Oost-Indische Compagnie atau Persatuan Dagang Hindia Timur (VOC) pada tahun 1700.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Alun-alun Merdeka yang jadi pusat keramaian di masa lalu hingga sekarang, dikelilingi banyak bangunan tua yang sudah berstatus bangunan cagar budaya sejak Desember 2018. Bangunan itu antara lain yang utama ialah Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat (GPIB) Immanuel dan Masjid Agung Jamik.
Gereja Immanuel dibangun Pemerintah Hindia Belanda sepanjang 30 Juli-31 Oktober 1861. Sedangkan Masjid Agung Jamik dibangun Pemerintah Hindia Belanda sepanjang 1890-1903.
Tak jauh dari alun-alun berdiri pula Gereja Katolik Paroki Hati Kudus Yesus (HKY) alias Gereja Kayutangan. Gereja ini merupakan gereja Katolik pertama yang dibangun Pemerintah Hindia Belanda pada 1905.
Gereja Katolik Paroki Hati Kudus Yesus (HKY) alias Gereja Kayutangan memiliki interior dengan lengkung-lengkung khas gotik, sementara di luar terdapat fasad yang meruncing termasuk menara, sebagai simbol pencapaian menuju surga. TEMPO/Abdi Purmono
“Fungsi utama ketiga bangunan tetap sebagai tempat ibadah bagi pemeluk agama masing-masing, tapi sekarang fungsinya bertambah sebagai objek wisata religi sekaligus wisata sejarah. Banyak pengunjung memasuki Malang untuk beribadah juga untuk berwisata,” kata Kepala Bidang Promosi Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Malang Agung Harjaya Buana kepada TEMPO, Minggu, 22 Desember 2019.
Ketiga bangunan ibadah juga mencerminkan toleransi dan kerukunan umat beragama sejak lama. Saat tiba hari raya, pada pelaksanaan salat Idul Fitri maupun Idul Adha, misalnya, peserta salat jamaah meluber ke jalanan di sekitar alun-alun dan bahkan sampai menempati halaman sempit Gereja Immanuel dan halaman cukup luas Gereja Kayutangan.
Lalu, karena halamannya lebih jembar, maka sudah sangat biasa sehabis salat melihat orang-orang yang masih berpakaian muslim berfoto-foto di halaman Gereja Kayutangan, dengan latar pintu masuk maupun bagian bangunan lainnya.
Sehabis itu mereka geser ke depan Masjid Agung Jamik karena sebelumnya mereka tak kebagian tempat salat di jalanan maupun di area alun-alun depan masjid. Kebanyakan yang berfoto-foto ialah warga Malang yang pulang kampung alias mudik. Selebihnya wisatawan.
“Kami sudah biasa menampung saudara-saudara kami yang muslim untuk melaksanakan salat hari raya Idul Fitri dan Idul Adha di halaman gereja kami karena kondisinya di depan masjid, alun-alun, dan jalan-jalan di bagian depan dekat masjid sudah dipenuhi jemaah,” kata Pastor Kepala Paroki HKY Romo Alberto A. Djono Moi.
Menurut Romo Djono, kebiasaan itu sudah berlangsung lama. Seingatnya, sudah hampir 26 tahun pelataran Gereja Kayutangan dijadikan tempat salat Idul Fitri dan Idul Adha. Demi kelancaran ibadah kaum muslim, pihak gereja mempersiapkan pelataran pendukung seperti menyediakan pengeras suara maupun koran sebagai alas. Lalu, pemuda gereja pun menyediakan air minum kemasan bagi jemaah muslim.
Bahkan, bukan hanya menyediakan fasilitas, pihak gereja pun beberapa kali rela menggeser jadwal misa Minggu maupun misa harian jika waktunya bersamaan dengan pelaksanaan salat Idul Fitri dan Idul Adha. Jemaat gereja baru mengadakan misa setelah pelaksanaan salat selesai.
“Biasanya, dua hari jelang perayaan hari raya saudara muslim, kami berkoordinasi dengan pihak masjid maupun dengan instansi terkait lainnya. Puji Tuhan, sejauh ini aman dan lancar-lancar saja,” ujar Romo Djono.
Pihak gereja terbuka bagi siapa pun yang ingin memotret dan berpose di halaman maupun di luar pagar gereja karena mereka sadar Gereja HKY sudah jadi salah satu destinasi wisata sejarah religi di Kota Malang.
Gereja Katolik Paroki Hati Kudus Yesus (HKY) alias Gereja Kayutangan memiliki koleksi lukisan Yesus yang seumuran dengan Gereja Kayutangan. TEMPO/Abdi Purmono
Ihwal Gereja Hati Kudus
Gereja Hati Kudus Yesus berlokasi di Jalan Mgr Sugiyopranoto 2, Kelurahan Kiduldalem, Kecamatan Klojen, Kota Malang, Provinsi Jawa Timur.
Namun, gereja Katolik pertama alias tertua di Kota Malang ini sangat populer disebut Gereja Kayutangan, lantaran posisi bangunan utama gereja menghadap Djalan Kajoetangan—sekarang Jalan Basuki Rahmat. Di seberang gereja terdapat Toko Oen, Toko Gramedia, dan kantor Telkom.
Arsitektur Gereja Kayutangan bergaya gotik. Pembangunannya diarsiteki MJ Hulswit, murid sekolah Quelinus yang dikepalai PJH Cuypers. Cuypers merupakan ahli restorasi gereja-gereja gotik.
Arsitektur gotik merupakan seni abad pertengahan yang berakar pada seni Romawi dan dalam perkembangannya menjadi ciri khas katedral dan gereja-gereja Eropa pada masa itu. Arsitek gotik identik dengan bagian eksterior bangunan yang tinggi, megah, dan menara yang berujung lancip atau runcing.
Bagian depan gereja dibuat megah dan besar dengan tujuan untuk mengesankan besarnya kekuatan Tuhan dan manusia penyembahnya. Bangunan tinggi dan menjulang ke langit menggambarkan aspirasi tinggi dan harapan mencapai surga.
Semula, Gereja Kayutangan tidak mempunyai menara kembar di kiri dan kanan depan gereja. Mulanya, gereja itu tak memiliki menara. Kedua menara setinggi 33 meter itu dibangun pada 17 Desember 1930. Bentuk menara itu tak berubah hingga kini.
Ciri lain bisa dilihat dari bagian atap interior (langit-langit) yang melengkung tinggi atau meruncing. Lengkungan runcing merupakan karakteristik paling penting dalam bangunan gaya Gotik. Desain melengkung ini memberikan kesan keagungan dan keanggunan.
Di dalam Gereja Kayutangan terdapat 14 lukisan yang mengisahkan kehidupan Yesus. Usia seluruh lukisan hampir setua bangunan gereja. Pihak gereja pun menyimpan pelbagai benda kuno. Selain Alkitab Katolik, pihak gereja menyimpan sebuah al-Quran asal Tunisia buatan 1920-an. Lalu ada tujuh lempengan prasasti tembaga yang oleh arkeolog disebut Prasasti Cunggrang warisan Mpu Sindok.
“Semua peninggalan sejarah itu kami simpan di ruang khusus dan ada petugas khusus yang mengurusnya,” kata Romo Djono.
Dua menara pada Gereja Katolik Paroki Hati Kudus Yesus (HKY) alias Gereja Kayutangan dibangun belakangan setelah gereja berdiri. Menara tersebut pernah ditabrak pesawat yang jatuh. TEMPO/Abdi Purmono
Gereja Kayutangan kini berusia 114 tahun. Tentu sudah banyak peristiwa sejarah yang tak terbilang lagi. Namun, ada dua peristiwa yang paling diingat pengelola gereja, yakni jatuhnya menara gereja.
Peristiwa pertama terjadi pada 10 Februari 1957. Sebuah salib di ujung menara runtuh dan menimbulkan lubang besar pada atap gereja. Sepuluh tahun kemudian, tepatnya 27 November 1967, menara gereja ditabrak sebuah pesawat.
ABDI PURMONO