Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Hari ini, 16 Desember 1969, aktivis Soe Hok Gie meninggal dunia. Gie, sapaannya, mengembuskan napas terakhirnya saat mendaki Gunung Semeru. Ia diduga menghirup asap beracun dari kawah gunung itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sosok Soe Hok Gie cukup dikenal di kalangan aktivis mahasiswa 1960-an. Gie merupakan ikon idealisme angkatan 66 era Orde Lama dan awal Orde Baru. Suaranya kerap nyaring mengkritik pemerintah melalui tulisan-tulisannya yang tajam.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca: Tentang Soe Hok Gie Aktivis Mahasiswa di Sebuah Zaman
Hari-hari Terakhir Soe Hok Gie
Dirangkum dari berbagai sumber, berikut kisah pendakian Soe Hok Gie yang berujung kematiannya.
Soe Hok Gie mendaki bersama rombongan. Kelompok pendaki itu terdiri dari Gie, Idhan Dhanvantari Lubis, Abdurrachman, Herman Onesimus Lantang atau Herman Lantang, Anton Wijaya, Rudy Badil, dan Freddy Lodewijk Lasut. Ada juga seorang wartawan Sinar Harapan, Aristides Katoppo.
Gie punya maksud, selain hendak menaklukkan gunung tertinggi di Jawa itu, dia ingin merayakan hari ulang tahunnya ke-27 di puncak Semeru. Gie ulang tahun pada 17 Desember, sehingga hari keberangkatan dipilih sebelum tanggal itu, 16 Desember. Mereka berangkat dari Stasiun Gambir, Jakarta Pusat, pukul 07.00 ke Stasiun Gubeng, Surabaya.
Bisa menaklukkan Semeru kala itu menjadi tantangan tersendiri. Pasalnya belum banyak pendaki yang mengunjunginya gunung ini. Mereka berbekal buku panduan mendaki Gunung Semeru buatan Belanda, yang berusia hampir 40 tahun atau terbit pada 1930.
Rombongan pendaki itu disebut mengambil jalur yang tidak umum. Mereka melewati Kali Amprong dan mengikuti pematang Gunung Ayek Ayek hingga turun menuju Oro Oro Ombo. Gie dan kawan-kawan mendirikan kemah di sana sebelum kemudian melanjutkan perjalanan ke Recopado. Sementara tenda dan tas mereka tinggal agar tak membebani perjalanan.
Saat di Oro Oro Ombo, mereka membagi tombol ke dalam dua kelompok. Kelompok pertama adalah Gie, Aristides, Rudy Badil, Anton Wijaya, Abdurrachman, dan Freddy. Sedangkan kelompok kedua terdiri dari Herman dan Idhan. Kelompok pertama tiba lebih dulu. Mereka berhasil mencapai puncak Semeru menjelang sore.
Sembari mengumpulkan tenaga, Gie menunggu kelompok Herman yang tertinggal. Namun, saat menunggu tersebut, tiba-tiba rekan Abdurrachman atau Maman mulai meracau. Aristides dan Freddy akhirnya memutuskan membawa Maman kembali ke shelter
Tak lama berselang, kelompok kedua akhirnya sampai di puncak Semeru. Idham yang melihat Gie tengah duduk kemudian membersamainya. Sementara Herman tetap berdiri. Karena duduk itulah, Gie dan Idham diduga menghirup gas beracun yang massanya lebih berat dari oksigen.
Menurut kesaksian Herman, Gie tampak diam sebelum akhirnya menggelepar. Akibat keracunan gas tersebut, Gie dan Idham menjadi lemas. Gie dinyatakan meninggal beberapa saat kemudian. Tak lama berselang, Idham menyusul. Keduanya meninggal setelah menaklukkan Gunung Semeru. Tetapi Gie gagal merayakan ulang tahunnya yang ke-27 sehari setelahnya.
Evakuasi jenazah kedua pendaki terkendala karena jalur yang ekstrem. Berita tewasnya Gie dan Idham baru tersiar pada 22 Desember 1969 atau lima hari setelah kematian. Para pendaki ini sempat dikabarkan hilang. Sehari sebelumnya, 21 Desember 1969, TNI Angkatan Laut mencoba mencari mereka. Tetapi pencarian terhalang kabut sehingga prosesnya semakin sulit.
Jenazah Soe Hok Gie baru dimakamkan pada 24 Desember 1969 di Menteng Pulo. Tetapi kemudian, dipindahkan ke Pekuburan Kober Tanah Abang. Saat Pekuburan Kober dibongkar oleh Ali Sadikin pada 1975, keluarga dan kerabat menolak kuburan Gie dipindah. Semula mereka memutuskan jasad aktivis makasiswa itu dikremasi dan abunya ditebar di Gunung Pangrango. Namun, Gie kemudian dimakamkan yang saat ini menjadi lokasi Museum Taman Prasasti.
HENDRIK KHOIRUL MUHID I SDA
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.