Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Mengingat Pemberontakan PKI Madiun 76 Tahun Lalu, Soe Hok Gie Pernah Menuliskannya

Pemberontakan PKI-Musso di Madiun, pada pagi hari 18 September 1948, pasukan komunis berhasil menguasai Madiun. Soe Hok Gie pernah menuliskannya.

20 September 2024 | 10.45 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Pada 1948, terjadi peristiwa penting di Indonesia yang dikenal sebagai Pemberontakan Madiun, di mana Partai Komunis Indonesia (PKI) berusaha merebut kekuasaan. Peristiwa ini mencerminkan ketidakpuasan partai-partai politik berhaluan kiri terhadap pemerintahan pusat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Soe Hok Gie dalam bukunya Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan yang terbit pada 1997 menjelaskan bahwa pada 27 Februari 1948, Kabinet Hatta I mulai menerapkan kebijakan Rekonstruksi dan Rekonsiliasi (RERA). Kebijakan ini muncul setelah jatuhnya Kabinet Amir Sjarifuddin, yang dianggap merugikan Indonesia melalui Perjanjian Renville, yang secara signifikan mengurangi kekuatan militer negara.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Musso, seorang tokoh komunis Indonesia yang baru kembali dari Uni Soviet pada 10 Agustus 1948, memimpin upaya PKI dan Front Demokrasi Rakyat (FDR) untuk bangkit melawan pemerintahan pusat. Ia menyerukan perubahan Kabinet Presidensial menjadi Kabinet Front Persatuan melalui rapat di Yogyakarta.

Meskipun demikian, rencana pemberontakan ini ditolak oleh beberapa tokoh penting dalam PKI, dan tindakan Musso dianggap sebagai langkah ilegal. Musso juga mengusulkan kerjasama internasional, khususnya dengan Uni Soviet, sebagai bagian dari upaya menghadapi Belanda.

Menurut Rachmat Susatyo dalam bukunya Pemberontakan PKI-Musso di Madiun, pada pagi hari 18 September 1948, pasukan komunis berhasil menguasai Madiun dengan sepenuhnya. Kota ini dijadikan basis pertahanan dan pusat pergerakan untuk menguasai wilayah lainnya. Namun, pemberontakan ini tidak lepas dari situasi politik yang sebelumnya dipicu oleh jatuhnya Kabinet Amir Sjarifuddin setelah menerima mosi tidak percaya.

Jatuhnya kabinet ini melemahkan kekuatan politik sayap kiri di Indonesia, yang kemudian berujung pada terbentuknya FDR oleh Amir pada 28 Juni 1948, menggabungkan partai-partai seperti PKI, Partai Sosialis Indonesia (PSI), dan beberapa organisasi sayap kiri lainnya.

Kepulangan Musso dari Uni Soviet memperparah ketegangan. Bersama Amir, mereka melakukan propaganda komunis di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Pada September 1948, terjadi aksi penculikan antara pemerintah dan golongan kiri, yang menyebabkan Madiun menjadi benteng terakhir FDR yang dikenal dengan peristiwa pemberontakan PKI Madiun. Pemberontakan pecah pada 18 September 1948, dan para pimpinan FDR/PKI terpaksa mundur ke pegunungan di sekitar Madiun untuk menghindari konfrontasi dengan TNI.

Namun, usaha mereka untuk melarikan diri tidak berhasil. Pada 28 Oktober 1948, pemerintah berhasil menangkap sekitar 1.500 anggota FDR, dan pada 31 Oktober 1948, Musso tewas ditembak saat bersembunyi. Pada bulan berikutnya, Amir Sjarifuddin bersama beberapa tokoh penting FDR lainnya juga ditangkap dan dieksekusi pada 19 Desember 1948.

Peristiwa ini menandai akhir dari pemberontakan, dengan perkiraan korban mencapai sekitar 24.000 orang, termasuk di antaranya Gubernur Jawa Timur, RM Suryo, dan beberapa tokoh penting lainnya. Pemberontakan ini menjadi salah satu peristiwa berdarah dalam sejarah perjuangan Indonesia pasca-kemerdekaan.

ANGELINA TIARA PUSPITALOVA | RAHMAT AMIN SIREGAR | EIBEN HEIZER

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus