Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Pelancong yang menyambangi Yogyakarta tentu tak asing dengan sebuah kawasan destinasi wisata dan bisnis terintegrasi, Ambbarrukmo.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di kawasan itu, berdiri Plaza Ambarrukmo mal termegah di Yogyakarta atau kerap dikenal warga dengan sebutan Amplaz. Sedang di sisi timurnya tegak berdiri hotel bintang lima nan bersejarah yakni Royal Ambarrukmo Hotel atau biasa disebut Hotel Ambarrukmo.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ambarrukmo menjadi ikon hotel termegah berstandar internasional pertama di Yogyakarta yang berdiri sejak 1966 silam atau pada era Presiden Soekarno. Namun, sebelum hotel yang satu sisinya menghadap keindahan Gunung Merapi itu ada, di kawasan itu sudah terdapat bangunan bersejarah. Bangunan itu berada di dalam kawasan Hotel Ambarrukmo.
Bangunan bersejarah di balik kemegahan hotel dan plaza Ambarrukmo itu tak lain bangunan Bale Kambang dan Gandhok Tengen. Dua bangunan itu dibangun sejak tahun 1857 atau saat Keraton Yogyakarta masih diperintah Sri Sultan Hamengku Buwono VI (1855-1877).
“Kawasan Gandhok Tengen dan Bale Kambang ini merupakan situs abad 18 yang di masa lalu dimanfaatkan sebagai tempat jamuan raja,” ujar Chairul Anwar Marketing Communication Manager Royal Ambarrukmo, yang ditemui pada Sabtu 28 September 2019 lalu.
Bangunan Bale Kambang terbilang unik, mirip bungalow, namun memiliki tajug (atap) berbentuk segi delapan yang berdiri kokoh di tengah kolam dengan air nan jernih. Bangunan tingkat dua ini terinspirasi dari istana air Taman Sari Keraton Yogyakarta yang dibangun abad 17.
Lantai atas Bale Kambang difungsikan sebagai meditasi sang raja, sedangkan kolamnya difungsikan sebagai tempat rekreasi para istri, putri dan anggota keluarga raja.
Kolam Bale Kambang ini di masa silam berasal dari Sungai Tambak Bayan dan disaring terlebih dahulu dengan cara alami sebelum dimasukkan ke dasar kolam.
Bangunan Bale Kambang ini ikonik di tengah megahnya Hotel Ambarrukmo karena juga diselaraskan di atas pilar-pilar. Atapnya berbentuk kerucut segi delapan dengan mustika di pucuknya. Bangunan ini merupakan asimilasi gaya kolonial Belanda dan arsitektural Jawa. Pembangunannya untuk menghormati pemerintah Belanda namun tetap memegang kehormatan bangsawan Jawa.
Sedangkan Gandhok Tengen merupakan paviliun panjang yang membentang dari utara ke selatan, yang juga masih berada di kawasan yang diapit antara mal dan hotel Ambarrukmo itu.
Sebenarnya pada masa awal, atau sebelum tahun 1960, terdapat dua gandhok di kawasan ini yakni Gandhok Tengen (paviliun timur) dan Gandhok Kiwo (paviliun barat). Dalam tradisi Jawa, Gandhok Kiwa atau biasa disebut Kastriyan berfungsi sebagai rumah para kstaria dan pangeran, tempat putra raja atau tamu laki-laki kerajaan. Sedang Gandhok Tengen atau Keputren didedikasikan untuk para puteri raja dan tamu perempuan kerajaan.
Bangunan Bale Kambang nan bersejarah, yang masih terjaga di dalam kawasan megah Hotel Ambarrukmo. TEMPO/Pribadi Wicaksono
Namun kemudian, tahun 1960–an area bangunan Gandhok Kiwo ini ditiadakan untuk tempat berdirinya Hotel Ambarrukmo. Sedangkan Gandhok Tengen tetap dipertahankan dan dirawat hingga saat ini, sebagai situs warisan Keraton.
Namun kini bangunan itu berfungsi sebagai Nurkadhatyan The Ritual Spa atau rumah dari keaslian tradisi ritual kecantikan keraton khas Jawa. Nurkadhatyan The Ritual Spa, dikelola langsung kelima puteri Raja Keraton Yogyakarta saat ini, Sri Sultan Hamengku Buwono X.
Chairul Anwar menuturkan Ambarrukmo, sejak 2011 lalu kian membuka diri menjadi wadah bagi berbagai komunitas kreatif, budaya, seni hingga otomotif yang menghelat acaranya di Yogyakarta, “Kami berkomitmen menjaga dan merawat berbagai kegiatan komunitas agar tetap ingat dengan akarnya saat berada di Yogyakarta,” ujarnya.
PRIBADI WICAKSONO