Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Cirebon - Sejak direvitalisasi dan diresmikan pada 2022 lalu, alun-alun Sangkala Buana telah memiliki wajah baru. Tidak ada lagi pagar tinggi yang mengelilingi dan alun-alun yang berada di depan Keraton Kasepuhan. Kini alun-alun memiliki wajah lebih cantik dan menjadi ruang terbuka hijau yang setiap hari ramai dikunjungi warga.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Keraton Kasepuhan, alun-alun Sangkala Buana dan Masjid Agung Sang Cipta Rasa terletak di dalam satu landsakp dan merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan sekaligus menunjukkan bentuk kedaulatan Cirebon.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Di masa pemerintahan Syekh Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati, Cirebon memisahkan diri dari Kerajaan Pajajaran dan berdiri sendiri sebagai negara yang berdaulat,” tutur pegiat budaya dan pendiri komunitas Kendi Pertula Cirebon, Raden Chaidir Susilaningrat, Jumat, 3 Januari 2025.
Alun-alun Sangkala Buana Kasepuhan Cirebon, Jawa Barat. Tempo/Ivansyah
Sebagai negara yang berdaulat penuh, Keraton Pakungwati atau yang saat ini dikenal sebagai Keraton Kasepuhan memiliki undang-undang sendiri yang didasarkan pada syariat Islam, memiliki adat istiadat, budaya dan bahasa yang berbeda dengan Kerajaan Pajajaran. “Jadi Sunan Gunung Jati mengaktualisasikan kedaulatan Cirebon lebih jelas lagi dengan membangun istana yang dilengkapi alun-alun dan masjid,” tutur Chaidir.
Alun-alun Sangkala Buana dan Masjid Agung Sang Cipta Rasa dibangun bertahap mulai 1529 hingga 1540. Pembangunan Masjid Agung Sang Cipta Rasa ini pun diilhami dari Masjid Agung Demak. Keraton, alun-alun dan masjid merupakan satu kesatuan yang tidak terpisah dan merupakan simbol kedaulatan negara Cirebon. Ketiganya merupakan satu landskap yang menyeluruh dan tidak terpisahkan.
Alun-alun Sangkala Buana Kasepuhan Cirebon, Jawa Barat. Tempo/Ivansyah
Menunjukkan Habluminallah dan Habluminannas
Sekali pun didasarkan pada syariat Islam, namun penamaan alun-alun dan masjid tetap menggunakan bahasa lokal. Sang Cipta Rasa menjelaskan mengenai ketuhanan. “Di masjid itu kita beribadah kepada sang pencipta,” tutur Chaidir.
Sedangkan Sangkala Buana artinya alam semesta yang merujuk ke fungsi sosial yaitu sebagai tempat bertemu dan berkumpulnya masyarakat. Buana merujuk ke ruang dan waktu, yaitu bagaimana manusia memanfaatkan waktunya. Jika masjid agung merujuk hubungan dengan sang pencipta (habluminallah) sedangkan alun-alun merujuk ke hubungan dengan manusia (habluminannas).
Dulunya, alun-alun Sangkala Buana digunakan untuk tempat berkumpul dan bersosialisasi. Berbagai pertunjukkan digelar seperti pertunjukkan berkuda, memanah, latihan perang dan lainnya. Pertunjukkan itu pun ditonton oleh sultan, keluarga dan petinggi keraton melalui bangunan Siti Inggil yang ada di dalam keraton. “Saat itu juga digunakan oleh sultan untuk melihat langsung kondisi masyarakatnya,” tutur Chaidir.
Alun-alun Sangkala Buana juga memiliki fungsi perekonomian. Dulu di sebelah timur alun-alun, yang saat ini telah berubah menjadi deretan warung yang menyajikan minuman teh poci dan pedagang lainnya merupakan pasar Kasepuhan. Pasar yang berdekatan dengan keraton membuat petinggi di keraton bisa mengetahui langsung perkembangan perekonomian rakyatnya di pasar tersebut.
Pilihan editor: Taman Air Gua Sunyaragi Cirebon, Tempat Menyepi yang Sarat Makna