Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Kosovo salah satu negara terkecil di Eropa yang mayoritas beragama Islam.
Di Pristina ada Katedral Bunda Teresa, tokoh yang lahir di Skopje, Makedonia, yang dulu bagian Kosovo.
Kosovo dikelilingi gunung serta pertemuan pengaruh budaya Albania, Roma, Serbia, dan Turki.
KOSOVO, yang memerdekakan diri dari Serbia pada tahun 2008, semakin bergeliat. Negeri ini terus berbenah mengatasi ketertinggalan akibat dampak perang 1998-1999. Perang itu menyimpan banyak luka. Ibu kota Kosovo, Pristina, kini menjadi jantung ekonomi dan keberagaman budaya. Ia menjadi magnet baru pariwisata di Semenanjung Balkan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lonceng katedral berdentang 12 kali memecah hiruk-pikuk kota. Hampir 10 menit saya berdiri membisu di halaman depan Katedral Bunda Teresa, menikmati setiap bagian interior dan dinding berwarna pastel bangunan yang megah bergaya neo-romantik itu. Beberapa orang keluar-masuk untuk berdoa atau mengabadikan bangunan ini melalui kamera.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kosovo merupakan salah satu negara terkecil di Eropa yang mayoritas beragama Islam. Saya mengunjungi Pristina untuk mengikuti konferensi di pengujung musim panas pada pekan awal Oktober 2024. Hari-hari berlalu dengan hangat, sesekali diguyur hujan pada sore atau malam hari.
Perjalanan saya berkeliling pusat kota ditemani Leo Trimi, 34 tahun, pemuda beretnis Albania, yang mengisahkan banyak hal kehidupan tentang Pristina. Kosovo seperti mangkuk yang dikelilingi gunung-gunung serta pertemuan pengaruh budaya yang unik antara Albania, Roma, Serbia, dan Turki.
Bangunan katedral menjulang di persimpangan Bulevardi Bill Clinton dan Bulevardi George W. Bush, dua jalan yang didedikasikan untuk menghormati jasa mantan dua Presiden Amerika Serikat atas kemerdekaan Kosovo.
Pedestrian utama Bulevardi nënë Tereza di Pristina, Kosovo, 5 Oktober 2024. TEMPO/Ika Ningtyas
Di halaman depan katedral, patung Presiden Kosovo pertama, Ibrahim Rugova, berwarna gelap keemasan, berdiri lebih dari 3 meter. Rugova adalah pemimpin umat Islam yang meletakkan fondasi pendirian katedral pada tahun 2005, setahun sebelum kematiannya.
Katedral itu diapit dua menara setinggi 70-an meter yang salah satunya belum rampung. Setiap pengunjung dapat menaiki menara hingga ke puncak untuk menikmati lanskap Kota Pristina dari ketinggian.
Saya memasuki pintu kayu yang selalu terbuka untuk umum sejak pukul delapan pagi hingga tujuh malam. Ada tiga orang saat itu yang berdoa di dekat altar. Patung Bunda Teresa yang sedang memeluk dua bocah berada di salah satu sudut. Jendela-jendela kaca patri yang menyemburkan warna-warni menggambarkan perjalanan sejarah umat Katolik di Kosovo. Ini menjadi katedral Katolik Roma satu-satunya di dunia yang khusus didedikasikan untuk mengenang kerja-kerja kemanusiaan Bunda Teresa.
“Kosovo adalah kampung halaman Bunda Teresa,” kata Leo berbangga. Seperti dirinya, biarawati bernama lengkap Maria Teresa Bojaxhiu itu juga lahir dari orang tua Albania pada tahun 1910. Kampung kelahiran Teresa berada di Skopje, Makedonia, yang dulunya menjadi bagian dari Kosovo, saat negara ini di bawah wilayah Ottoman Turki sejak abad ke-15 hingga 1912.
Panggilan untuk menjalani kehidupan bakti religius juga didapat Bunda Teresa di sebuah desa kecil di Letnice, sekitar 70 kilometer dari Pristina, saat ia berusia 18 tahun. Setelah itu, Bunda Teresa menghabiskan sebagian besar hidupnya untuk mengabdi di Kalkuta, India, hingga meninggal pada tahun 1997.
Dua puluh tahun kemudian, setelah diterimanya biarawati peraih Nobel Perdamaian tersebut, katedral ini diresmikan. Monumen itu dibanjiri ribuan penganut Katolik dan Muslim, menandai bahwa Katedral Bunda Teresa telah menjadi simbol toleransi dan keterbukaan.
Jejak komunitas umat Kristen dan Katolik di Kosovo yang saat ini berjumlah sekitar 2,2 persen berasal dari abad ke-12 ketika negara berpenduduk hampir 1,9 juta ini menguasai pemerintahan Serbia. Banyak gereja dan biara Ortodoks dibangun, tetapi mengalami kemunduran setelah Ottoman berkuasa. Hal itu mendorong jumlah kelompok etnis Albania meningkat pesat, lalu memeluk Islam. Hingga saat ini, populasi Albania di Kosovo dan umat Islam tetap yang tertinggi.
Grafiti di dinding Kosovo Assembly sebagai pengingat aktivis yang hilang di masa Perang Kosovo, salah satunya Ukhsin Hoti. TEMPO/Ika Ningtyas
Nama Bunda Teresa juga diaabadikan di jalur pejalan kaki utama kota, membentang dari depan katedral hingga arah selatan sepanjang 0,2 juta bernama Bulevardi Nënë Tereza. “Kami menyebutnya center,” kata Leo sambil menunjukkan jari di sepanjang jalur pejalan kaki yang penuh dengan orang. Ini semacam jantung kota Pristina, dengan banyak kafe, restoran, pertokoan, supermarket, serta termasuk monumen, patung, dan gedung-gedung bersejarah dari era Ottoman, Yugoslavia, hingga selepas Perang Kosovo 1998-1999.
Saya berangkat ke bulevardi itu, yang ditumbuhi pohon-pohon di sepanjang kanan dan kiri. Bulevardi ini setiap hari sibuk oleh ratusan hingga ribuan warga yang melintas. Pria-pria paruh baya membuka lapak buku sederhana di pinggiran jalur pejalan kaki. Anjing-anjing kota memberontak. Beberapa pria dan wanita yang kurang beruntung menyodorkan kotak amal.
Restoran-restoran makanan khas Albania, Turki, dan Italia selalu sesak saat jam makan siang ataupun makan malam. Kafe-kafe menjadi tempat bercengkerama untuk menikmati kopi, bir lokal peja, atau koktail. Lagu-lagu Albania sering mengalun dari kedai atau pub malam.
Patung Bunda Teresa berdiri agak tersembunyi di depan sebuah toko buku, tingginya sekitar 2 meter, dikelilingi air mancur yang menyala pada malam hari. Beberapa kursi kayu melingkarinya, tempat yang nyaman untuk duduk merenungkan kisah Bunda Teresa atau menikmati rombongan wisatawan yang datang dan pergi. “Banyak wisatawan dari Asia datang ke sini setiap musim panas,” ujar Leo, merujuk asal saya dari salah satu negara Asia.
Warga lokal umumnya cukup ramah dan bisa berbahasa Inggris, meski sehari-hari mereka menggunakan bahasa Albania. Mereka tak segan menyapa, menawarkan bantuan, atau mengajak menikmati minuman di kedai lokal.
Bulevardi Nënë Tereza akan berakhir di Skanderbeg Square, alun-alun dengan air mancur yang disemprotkan dari dinding lantai. Area ini dilengkapi patung Gjergj Kastrioti Skanderbeg bergaya heroik: menunggang kuda dengan mengacungkan pedang ke arah langit. Skanderbeg dikenal sebagai bangsawan Albania yang memberontak terhadap Ottoman Turki, yang dijadikan simbol identitas budaya dan warisan bersama antara Kosovo serta Albania.
Di depan patung Skanderbeg Teatri Kombëtar alias gedung teater nasional Kosovo bergaya minimalis yang dibangun di era sosialis Yugoslavia pada tahun 1946. Saat itu, Kosovo bersama negara-negara di sekitarnya, seperti Serbia, Bosnia, Slovenia, dan Kroasia, menjadi bagian dari Federasi Yugoslavia.
Kosovo kemudian diberi hak otonomi untuk menjalankan pemerintahan provinsi sendiri pada tahun 1974. Namun status otonomi Kosovo tersebut dicabut oleh Presiden Yugoslavia Slobodan Milosevic pada tahun 1989, yang meningkatkan eskalasi konflik dengan Serbia setelah Federasi Yugoslavia tercerai-berai. Do Serbiaminasi memicu perlawanan yang memuncak menjadi Perang Kosovo pada 1998-1999.
Di sebelah Teatri Kombëtar terdapat gedung berarsitektur neo-Renaisans yang dibangun pada tahun 1927, yang kini menjadi pusat belanja sejumlah merek ternama. Patung Ibrahim Rugova juga ada di dekat bangunan ini, menunjukkan betapa ia begitu dihormati.
Rugova tak hanya dikenang sebagai presiden yang terpilih dua kali, tapi juga seorang guru besar sastra lulusan Universitas Sorbonne, Prancis; ketua partai terbesar Liga Demokrasi Kosovo; dan memimpin perjuangan kemerdekaan Kosovo sejak 1989 tanpa menggunakan kekerasan. Setelah kematian Rugova, sejarawan Italia Andrea Riccardi menulis di surat kabar besar negara itu, Corriere Della Sera, dan menyebut Rugova sebagai “Gandhi dari Balkan yang dilupakan”. Riccardi benar. Seandainya saya tak datang ke Pristina, saya tak akan pernah tahu kiprah Rugova.
Tak jauh dari Skanderbeg Square, grafiti dalam bahasa Albania tertoreh dengan cat putih dan hitam di dinding bagian luar gedung Majelis Kosovo: “Kosova Republike! Ku Eshte Ukshin Hoti?”, yang artinya “Republik Kosovo! Di mana Ukhsin Hoti?”
Hoti adalah aktivis Albania-Kosovo yang dipenjara di era kekuasaan Yugoslavia dan hilang setelah dibebaskan di penjara pada tahun 1999. “Entah hilang atau dibunuh,” tutur Leo, yang saat perang terjadi masih berusia 8 tahun. Grafiti ini untuk mengingatkan masyarakat tentang aktivisme aktivisme yang tak pernah kembali atau meninggal saat Perang Kosovo.
Masjid Çarshi di Pristina, Kosovo, 1 Oktober 2024. TEMPO/Ika Ningtyas
Bulevardi Bunda Teresa sekaligus menghubungkan Pristina kota lama di bagian selatan dengan “New Pristina” di barat daya. Kota lama Pristina menyimpan sejumlah bangunan dari masa Ottoman, beberapa di antaranya Masjid Çarshi, bangunan tertua Pristina yang dibangun untuk merayakan kemenangan Ottoman Turki di Kosovo pada tahun 1389, menara jam tertua, Museum Nasional Pristina, Masjid Agung, dan Museum Etnologi.
Di museum terakhir ini, kita bisa belajar lebih banyak mengenai kehidupan tradisional etnis Albania, mulai dari pakaian, perangkat dapur, corak tenun, hingga lanskap rumah.
Kota tua Pristina sebagian besar mempertahankan arsitektur orientalis dengan bangunan minimalis. Di tengah organisasi, gang-gang berukuran lebih sempit berkelok-kelok. Sebagian besar penduduknya membuka toko, gerai, atau kedai makan. Saat magrib, Masjid Agung mengumandangkan azan yang terdengar syahdu ke seluruh penjuru kota.
Ke arah timur daya dari Mother Teresa Boulevard, kita bisa singgah di Taman Memorial Heroinat. Memorial ini berupa taman kota dengan patung tipografi memandang perempuan Albania yang dibuat dari 20 ribu pin memandang wanita. Pin-pin ini adalah simbol perempuan Albania-Kosovo yang diperkosa selama masa perang, sisi paling kelam dari setiap kisah perang. Pusat Rehabilitasi Kosovo untuk Korban Penyiksaan (KRCT) pada tahun 2022 mendokumentasikan 900 identitas korban yang direncanakan secara sistematis selama tahun 1998-1999. Jumlahnya sebenarnya bisa jadi jauh lebih besar.
Dipisahkan oleh Luan Haradinaj, jalan utama yang sibuk, monumen “New Born” yang didominasi warna biru juga didirikan untuk mengenang para korban perang, termasuk perempuan-perempuan yang diperkosa. New Born sejatinya berasal dari seruan yang cukup lantang: Perang yang Tak Pernah Berakhir Membawa Penindasan, Pemerkosaan & Pengabaian. Monumen yang dibangun pada tahun 2020 ini penuh coretan dari pengunjung untuk mengabadikan nama mereka ataupun berisi harapan-harapan.
Meski dibangun dengan pendekatan berbeda, keduanya menunjukkan lintasan sejarah yang tak bisa dipisahkan, tentang luka yang terus menganga oleh perang, yang tak mudah terhapus oleh waktu. Dua monumen yang cukup membuat saya emosional.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo