Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SUARA burung gagak berkoak-koak ketika saya menyempatkan diri berolahraga mengitari hotel tempat saya menginap di dekat kantor Kementerian Kewangan di Putrajaya, Malaysia, Selasa, 19 Februari lalu. Biasanya saya bersepeda setiap pagi. Tapi kali ini, karena ada liputan di Putrajaya, selain tidak ada fasilitas sepeda, saya hanya bisa berolahraga jalan cepat dan joging di kawasan dekat hotel di pinggir tasik (danau) Putrajaya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Waktu menunjukkan sekitar pukul 6.00 waktu Malaysia. Tapi suasana di kawasan pusat pemerintahan Malaysia ini bak pukul 4 subuh waktu Indonesia bagian barat. Masih senyap. Hanya segelintir kendaraan yang lalu-lalang. Suhu di jam digital telepon seluler saya menunjukkan angka 20 derajat Celsius. Sejuk dan adem. Sekitar satu jam saya berjalan cepat mengitari kawasan di pinggiran tasik Putrajaya, dan setelah itu kembali ke kamar hotel untuk mandi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ini untuk ketiga kalinya saya berkunjung ke Putrajaya. Tapi baru kali ini saya menginap di kota pusat pemerintahan Malaysia ini. Beberapa kali berkunjung ke negeri jiran, saya biasa menginap di Kuala Lumpur. Dalam kunjungan kali ini, bersama 14 wartawan Indonesia dan tiga wartawan Malaysia, saya berkesempatan bertemu dan mewawancarai Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohamad di kantor Perdana Menteri di Dataran Putra. "Direncanakan bertemu dengan Tun Mahathir sekitar pukul 14.30," ujar Asro Kamal Rokan, Presiden Ikatan Setia Kawan Wartawan Malaysia-Indonesia (Iswami) Indonesia, kepada kami di sela-sela sarapan di hotel.
Kami masih punya cukup banyak waktu sebelum bertemu dengan Mahathir. Rombongan pun memanfaatkannya dengan berkeliling di kawasan Putrajaya menggunakan beberapa mobil Toyota Vellfire. Bersama saya dalam satu mobil adalah Presiden Iswami Malaysia Zulkifli Salleh, Pemimpin Redaksi MetroTV Don Boscso Selamun, dan Asro Kamal Rokan. Sejumlah bangunan menjulang tinggi yang merupakan kantor kementerian dan pemerintahan berjajar rapi di sepanjang Jalan Persiaran Perdana. Di setiap sudut persimpangan terdapat nama jalan yang hampir sama, yakni Presint. Terdapat 18 Presint untuk tiap-tiap persimpangan tempat lokasi sejumlah kantor kementerian. "Kawasan ini dulu bernama Prang Besar," ujar Zulkifli, yang juga mantan Pemimpin Redaksi Kantor Berita Malaysia, Bernama.
Seluas kurang-lebih 49 kilometer persegi, selama ratusan tahun kawasan Putrajaya merupakan sebuah kampung dengan nama Prang Besar. Tidak banyak diketahui mengapa kawasan ini disebut Prang Besar. Dari sejumlah literatur, kawasan ini dibuka pada sekitar 1920 oleh Kerajaan Inggris sebagai hadiah kepada sekumpulan bekas tentara yang berjasa pada Perang Dunia I. Cerita lain menyebutkan, kawasan yang berdekatan dengan Jenderam Hilir-Putrajaya sekarang-dulunya adalah nama seorang warga asli yang menjadi ketua kampung. Dia berperang dengan sejumlah tentara yang dipimpin jenderal bintang tiga yang hendak merampas lahan di kawasan ini. Ketua kampung mempunyai ilmu sakti mandraguna dengan sebutan harimau tanah hitam yang mampu menumpas pasukan yang hendak merampas kawasan tersebut.
Terlepas dari cerita itu, kawasan ini merupakan perkebunan kelapa sawit dengan sungai dan bendungan kecil di ujung dataran Seri Gemilang. Pada sekitar Juni 1993, Perdana Menteri kala itu, Mahathir Mohamad, membuka kawasan ini dan menyiapkan road map sebagai pusat pemerintahan dan memindahkannya dari Kuala Lumpur yang mulai padat. Kuala Lumpur berubah fungsi dari pusat pemerintahan menjadi pusat bisnis.
Putrajaya bermakna "bandar dalam taman". Kata "Putra" dipilih untuk menghormati Perdana Menteri Malaysia pertama, Abdul Rahman Putra Al-Haj. Nama belakang sang perdana menteri, yakni "Putra", ditambahkan dengan kata "Jaya" yang bermakna "kecemerlangan". Mahathir menjadikan Putrajaya sebagai wilayah persekutuan Malaysia pada 1995.
Dijadikannya Putrajaya sebagai pusat pemerintahan Malaysia sejatinya mengambil contoh Canberra, ibu kota yang menjadi pusat pemerintahan Australia. Bukan tanpa hambatan ketika kawasan ini baru dibangun. Hingga awal 2000, belum banyak pegawai pemerintahan yang berminat pindah dari Kuala Lumpur, meski sudah diperintahkan.
Jarak Kuala Lumpur ke Putrajaya sekitar 40 kilometer dan saat itu ditempuh dengan kendaraan pribadi sekitar 1,5 jam. Infrastruktur jalan dan transportasi belum memadai dan rawan akan penyakit malaria. "Pada awal dibangun, sedikit pegawai yang mau pindah. Jauh dari mana-mana dan bahkan disebut daerah jin buang anak," ujar Rully Nere, pegawai di Putrajaya.
Pemerintahan Mahathir bekerja keras dan berhasil mengembangkan kawasan ini menjadi ikon kedua setelah Kuala Lumpur. Sungai kecil dengan bendungan yang awalnya digunakan untuk kebutuhan air bagi perkebunan sawit diubah menjadi danau buatan yang mengitari Putrajaya. Pinggir tasik bisa menjadi lokasi joging atau bersepeda. Pemerintah juga membangun apartemen yang diperuntukkan bagi pegawai pemerintahan, sehingga akses ke kantor mudah dan dekat. Hotel serta pusat kuliner dan bisnis berdiri megah, selain yang utama kantor-kantor pemerintahan.
Zulkifli menuturkan, setelah berhasil mengembangkan Putrajaya, model pusat pemerintahan yang terpadu ini kemudian ditiru beberapa negara, seperti Kazakstan dan Kirgistan. "Saya sempat ikut Tun Mahathir yang membawa blue print Putrajaya ke Kazakstan," ujar dia. Konsep penataannya mirip, tapi model bangunannya tetap mempertahankan dan menyesuaikan kultur negara tersebut.
Selepas bertemu dan mewawancarai Mahathir, saya berkesempatan mengunjungi Masjid Putra yang berada di kanan kompleks kantor Perdana Menteri. Masjid unik dengan kubah berwarna merah dan tembok berwarna merah. Arsitektur di dalam bangunan masjid begitu megah. Namun ada syarat yang harus dipatuhi kala masuk ke Masjid Putra, yakni tidak boleh mengenakan celana pendek atau pakaian yang terbuka. Walhasil, pengurus masjid menyediakan jubah berwarna merah bila ingin masuk dan mengitari kawasan masjid.
Masih di seputar kawasan Masjid Putra, tepatnya di bawah Jembatan Putra, para pelancong bisa melihat Putrajaya dengan mengitari Tasik Putrajaya menggunakan kapal pesiar berukuran sedang. Harga tiket untuk hari biasa sebesar 25 ringgit atau sekitar Rp 87 ribu dan 35 ringgit atau sekitar Rp 125 ribu untuk akhir pekan dan libur. Jarak tempuh mengitari tasik sekitar 45 menit. Namun saya tidak bisa melancong mengitari tasik lantaran kapal pesiar baru bisa berangkat bila memenuhi kuota penumpang mencapai 25 orang. Maklum, karena hari biasa. Kalau di akhir pekan atau hari libur, kapal akan berlayar mengitari tasik setiap satu jam sekali dari pukul 09.00 hingga 17.00.
Putrajaya kini merupakan lokasi yang menarik dengan berbagai kemudahan seperti pusat olahraga dan rekreasi, pendidikan, pusat belanja, pengangkutan, pelancongan, serta kantor bagi pejabat-pejabat kerajaan dan pemerintahan yang selama ini berpusat di Kuala Lumpur. Rekan saya menukarkan uang ringgit di Alamanda, salah satu pusat belanja, yang tampak mulai ramai setelah banyak orang pulang kantor.
Harga tanah di kawasan Putrajaya kini melambung tinggi hingga ratusan ribu ringgit per meter persegi. Kawasan ini terus berkembang dengan bangunan yang terus bertambah di seputar pulau Putrajaya. Di pinggir tasik banyak dibangun apartemen dan pusat kuliner.
Ihwal pemindahan pusat pemerintahan, sebenarnya Indonesia sudah mewacanakan hal itu bahkan sejak era Presiden Sukarno. Saat itu Sukarno berencana memindahkan ibu kota RI ke Palangka Raya, Kalimantan Tengah. Di era Presiden Soeharto, wacana itu kembali muncul dengan rencana pemindahan ibu kota ke kawasan perbukitan di Jonggol, perbatasan Puncak, Bogor, dengan Cianjur, Jawa Barat. Namun hal tersebut belum terwujud. Melihat Putrajaya nan asri dan tertata rapi, sudah saatnya Indonesia mewujudkannya.
SUKMA LOPPIES
Monumen Alaf Baru atau Monumen Milenium.
Wasiat Mahathir
SEKITAR seratus bingkai berbahan mika dipasang berjajar mengitari Monumen Alaf Baru-disebut Tugu Milenium atau Millennium Monument. Aminuddin, mantan pegawai Kedutaan Besar Malaysia di Indonesia yang kini kembali bertugas di Putrajaya, menuturkan bahwa bingkai-bingkai itu memaparkan sejarah Malaysia mulai pra-kemerdekaan hingga 2000.
Awal menapaki halaman monumen, saya melihat bingkai awal bertulisan "Pembentukan Malaysia". Sejarah Malaysia yang ditulis pada bingkai itu tersaji dalam dua bahasa, Melayu dan Inggris. Dimulai pada 1400 dengan tajuk Pengasasan Melaka atau berdirinya Kerajaan Malaka. Sejumlah hal menarik dituliskan, misalnya awal Malaka takluk oleh Portugis, masa pemerintahan Inggris, hubungan dengan Cina, bersatunya sejumlah kerajaan, masa kemerdekaan, dan masa pembangunan Malaysia.
Di bingkai terakhir di lantai dua monumen setinggi 68 meter itu tertulis "Wawasan 2020: Perspektif Malaysia tentang masa depan pada masa 2020 sebagaimana dinyatakan PM Tun Mahathir Mohamad adalah menjadikan Malaysia bangsa yang utuh padu. Rakyat seharusnya beretika dan matang dari segi demokrasi". Monumen Alaf Baru menjadi tugu penting bagi berdirinya Putrajaya, pusat pemerintahan Malaysia. Namun bukan bangunan monumen dan bingkai yang menjadi hal penting. Konon, di bawah tugu ini terdapat wasiat yang ditulis Mahathir Mohamad semasa menjadi perdana menteri, lalu dimasukkan ke kapsul dan ditanam. Wasiat itu bakal dibuka oleh siapa pun perdana menteri yang terpilih pada 2020.
Hal yang unik adalah Mahathir kini kembali terpilih menjadi perdana menteri. Mahathir meletakkan jabatan pada 2003 dan diteruskan oleh Abdullah Badawi lalu Najib Razak hingga 2018. Hasil Pemilu Raya ke-14 Malaysia kembali memilih Mahathir, 93 tahun, sebagai perdana menteri.
Apa isi wasiat Mahathir dan benarkah ditanam di monumen itu? Mahathir dengan santai mengatakan wasiat yang dia tulis banyak ditanam di beberapa tempat. "Karena banyak, saya pun tak ingat apa isinya," ujar Mahathir dalam pertemuan dengan sejumlah wartawan dan pemimpin redaksi media Indonesia. Meski begitu, Mahathir mengatakan, pada 2020 nanti, salah satu pesan yang ditulis dalam wasiat yang tersimpan itu akan dibuka dan dibaca. "Harapan saya, Malaysia sudah lebih maju pada 2020."
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo