Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Luna Maya dan Maxime Bouttier menjadi dua dari beberapa artis Indonesia yang melakukan sesi pemotretan khusus dengan teknologi Artificial Intelligence (AI). Hal tersebut merupakan bagian dari perayaan perilisan film The Creator di Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Disney Indonesia melakukan kolaborasi dengan talenta-talenta lokal agar para penggemar semakin merasa dekat dengan karakter dan cerita dari film ini. Yessica Riany, fotografer berbakat Indonesia yang telah melakukan banyak sesi foto yang unik dan berteknologi tinggi, melakukan pemotretan khusus yang terinspirasi dari cerita dan karakter The Creator.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Spesial untuk pemotretan ini, Yessica Riany beserta timnya menggunakan teknologi AI serta menggabungkan unsur lokasi-lokasi ikonik di Indonesia. Yessica Riany juga turut bekerjasama dengan para selebritis ternama Indonesia seperti Luna Maya, Lutesha, Maxime Bouttier, dan Bevan Putera untuk menjadi karakter-karakter yang terinspirasi dari The Creator.
Artificial Intelligence Jadi Pusat Cerita Film The Creator
The Creator merupakan film thriller sci-fi yang epik dan memiliki sisi unik yang dapat menemani para penonton menyelami kemungkinan kehidupan manusia di masa depan. Artificial Intelligence (AI) dan potensinya yang dapat menjadi manfaat atau bahaya bagi umat manusia, telah menjadi salah satu topik yang paling hangat diperdebatkan saat ini, merupakan pusat cerita dari The Creator, yang mengambil latar belakang di masa depan dengan AI yang sudah mendominasi dunia.
Poster film The Creator. Dok. Disney Indonesia
Sinopsis The Creator
The Creator dimulai setelah terjadinya sebuah bencana dahsyat, di mana Los Angeles dihancurkan oleh AI. Pemerintahan di negara-negara Barat merespons dengan pelarangan total terhadap AI, sementara negara-negara di Timur terus mengembangkan teknologi tersebut sampai pada titik di mana robot telah menjadi mirip manusia, dan dianggap setara. Hal ini memicu perang antara Barat dan Timur, Amerika melawan Asia – yang menjadi latar belakang kisah The Creator.
Cerita semakin rumit ketika, Joshua (Washington), mantan agen pasukan khusus yang masih berduka atas kepergian istrinya (Chan), direkrut untuk memburu dan membunuh The Creator, arsitek AI canggih yang telah mengembangkan misterius. Senjata yang telah diciptakan tersebut dikatakan memiliki kekuatan untuk mengakhiri perang dan umat manusia itu sendiri. Joshua dan tim operasi elitnya melakukan perjalanan melintasi garis musuh, ke wilayah yang diduduki AI, hanya untuk menemukan senjata akhir dunia yang diperintahkan untuk dia hancurkan adalah AI dalam bentuk seorang anak kecil (Voyles).
"Penentuan waktu peluncuran film ini sungguh istimewa. Walaupun kami telah mengembangkan film ini selama bertahun-tahun, film ini dirilis pada saat yang sangat menarik. Dunia kita sedang dihadapkan dengan berbagai isu dan pertanyaan yang ingin kami bahas melalui film ini, seperti makna menjadi manusia, apakah AI bisa memiliki kesadaran, dan perbedaan etika antara AI dan manusia. Menurut saya, eksplorasi pertanyaan-pertanyaan ini adalah kontribusi terpenting yang dapat diberikan oleh fiksi ilmiah," kata sutradara dan co-writer Gareth Edwards dalam siaran pers yang diterima Tempo.
Produksi Unik The Creator, Ada Elemen Indonesia
Selain itu, pembuat film juga memproduksi film ini dengan cara yang unik. Alih-alih merancang filmnya terlebih dahulu, mereka mengadopsi pendekatan yang tidak biasa dengan melakukan pengambilan gambar film terlebih dahulu tanpa latar belakang, dan pekerjaan desain produksi baru dilakukan selama pascaproduksi. Edwards menerapkan metode "reverse engineering" ini pada film pertamanya, "Monsters," yang menurutnya merupakan pendekatan yang jauh lebih efisien.
Untuk mewujudkan visi sang sutradara ke layar lebar, tim produksi melakukan perjalanan ke 80 lokasi berbeda di delapan negara berbeda, termasuk Thailand, Vietnam, Kamboja, Nepal, Jepang, Indonesia, Inggris (di luar Pinewood Studios London), dan AS (di Los Angeles). Hal ini dilakukan agar lokasi cerita yang dipilih yaitu, Asia di masa depan tetap memiliki sisi autentik dari negara-negara di Asia yang beragam. “Gareth bertekad untuk merangkul talenta lokal (baik pemain maupun kru) semaksimal mungkin," kata Produser Jim Spencer.
Beberapa elemen dari Indonesia pun terlihat jelas dalam The Creator. Seperti beberapa lagu dari band rock tahun 70-an asal Indonesia Golden Wing yang dapat terdengar dalam film ini. Lagu-lagu yang berjudul Kasih Suci, Hanny, dan Hari Yang Mulia ini menemani penonton untuk semakin masuk ke dalam petualangan para AI dan manusia dalam memperjuangkan eksistensi mereka.
Pilihan Editor: Serba-serbi The Creator, Film tentang Konflik Manusia dengan AI