Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Mentawai - Awal Oktober 2013, Heru Triyono dan fotografer Tommy Satria menjelajahi titik ombak di Mentawai. Khususnya di sekitar Pulau Siberut dan Masokut. Mereka mengajak Sandi Slamet, peselancar peringkat ke-10 Asian Surfing Championships (ASC). Ini ketiga kalinya Sandi mencicipi ombak di sana.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Peselancar ombak manapun tak bakal bisa menolak pesona Mentawai. Di Pulau Masokut sore itu, Sandi Slamet selincah penguin. Ia menyelam ke bawah gelombang setinggi gedung tiga lantai. Ia menghilang, lalu nyembul ke permukaan dengan badan membungkuk. Gelombang kemudian berkembang biak di bawah papannya, membentuk barrel alias terowongan ombak. Ia bertahan di terowongan itu selama delapan detik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Yes, I defeated him (ombak)," teriaknya dalam bahasa Inggris dengan logat Bali campur Sunda. Karena aksinya itu, Sandi memperoleh tepuk tangan peselancar lain yang sedang nangkring di tengah laut, duduk di atas papan untuk menunggu ombak. Mereka berada di E-Bay, titik ombak di barat laut Pulau Masokut (Nyang-Nyang), Kabupaten Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat.
Sandi terlahir sebagai peselancar. Sewaktu sekolah dasar, ia sudah menari di atas ombak dengan tripleks yang ia curi dari toilet umum di pantai. Jarak rumahnya dan pantai Sunset, Pelabuhan Ratu, Jawa Barat, memang dekat, hingga ia bisa berlatih kapan pun. Keahliannya berkembang pesat, hingga pada usia 15 tahun dia mendapat sponsor dari Quiksilver. Setahun berikutnya, ia menyabet posisi pertama kejuaraan dunia Quiksilver King of the Groms di Kuta, Bali.
Sore itu, setelah mengalahkan ombak di E-Bay, adrenalin Sandi masih tersisa. Ia berniat melakukan three sixty—gaya berputar 360 derajat di udara—sebelum mentari terbenam. Dengan perahu motor kayu mungil, kami pun menuju Pit Stops, titik ombak yang berjarak 1 kilometer dari E-Bay.
Sial, di situ gelombang segede bus menggulung Sandi. Papan sepanjang 5,5 kaki yang dikendarainya terpelanting. Darah mengucur dari bibirnya. Sobek! "Bagian menakutkan adalah bukan elu yang menangkap gelombang, tapi elu yang ditangkap gelombang," ujarnya tertawa setelah luka di bibirnya diobati di Puskesmas Pulau Pei-Pei.
Pit Stops terdapat di utara kawasan Playgrounds (taman bermain), di ujung Pulau Simaimu. Lokasi ini memiliki garis pantai dua kali lapangan bola. Banyak pohon kelapa di sisinya dengan air ombak biru kehijauan. Pasirnya putih dengan butiran mirip gula.
Disebut "taman bermain" karena ada belasan titik ombak dengan jarak amat dekat. "Yang seperti ini cuma ada di Mentawai. Ombak di sini surga," kata Pendi Arianto, pemandu kami, yang juga peselancar.
Peselancar Indonesia, Sandy Slamet berada didalam gulungan ombak besar saat sedang berselancar di Playground, Mentawai, Sumatera Barat, (17/10). Tempo/Tommy Satria
Mentawai Make Me High!
Mentawai bukan cuma surga, melainkan merupakan tanah suci peselancar. Sementara Hawaii dikenal sebagai Mekah-nya peselancar, Mentawai adalah Yerusalem-nya. Peselancar Prancis, Wahid Nafir, 40 tahun, menyatakan Mentawai salah satu kiblat selancar di muka bumi. "Saya muslim, tapi saya menyembah ombak di sini," ujar Wahid terbahak.
Setiap kali bertandang ke Mentawai, ia selalu mendapatkan kekhusyukan berselancar di tempat terpencil dan eksklusif. Di atas papan selancarnya, ia merasa berada di puncak dunia. "It makes me high," katanya. Baginya, perasaan seperti itu ibarat candu.
Pantai di Mentawai memang masih sepi, bersih, dan bebas sampah. Sebagian besar daratan masih hutan yang memiliki spesies endemik yang dilindungi, seperti beruk mentawai. Hutannya juga masih didiami suku asli Mentawai, disebut Mentawi. Sewaktu di Siberut, kami melihat mereka turun gunung untuk bergaul dengan warga. Mereka memakai cawat dengan bunga di rambut dan telinga.
Tapi keperawanan Mentawai ini ternyata jadi rebutan. Ada pertempuran di antara peselancar untuk memperebutkan ombak eksklusif. Meski Pemerintah Kabupaten Kepulauan Mentawai sudah membatasi 10 peselancar di satu tempat, kenyataan di laut berbeda. Saling selak mendapatkan ombak terus terjadi, bahkan ada yang berujung adu jotos.
Kata Sandi, senggolan antar-peselancar sebenarnya terjadi di mana-mana. Ketika bermain di Prancis, ia bahkan mendapat perlakuan diskriminatif. Ia hanya dikasih pinggir gulungan ombak yang tingginya tidak seberapa. Sedangkan di posisi tengah, gelombang dikuasai peselancar kulit putih. Di Mentawai, ia balas dendam dengan menguasai ombak, meski mayoritas yang berada di sana tetap saja berambut pirang.
"Selancar adalah perkelahian jalanan. Satu-satunya cara untuk menang adalah menjadi berengsek. Tak ada aturan seperti di lapangan sepak bola. Yang ada hanya antara elu dan gelombang," kata Sandi emosional.
Muhammad Ridwan, anggota komunitas Surfguard Pulau Sipora, mengakui sentimen antar-peselancar asing dan lokal. Bahkan beberapa lokasi yang ombaknya bagus sengaja disembunyikannya dari orang asing agar tidak diserobot. Sebab, kalau diketahui orang asing, ujar Ridwan, di tempat itu akan dibangun resor.
Jumlah resor di Mentawai kini 15, kebanyakan milik orang asing. Itu belum termasuk yang ilegal. Di sejumlah resor, harga sewa semalam US$ 150-200 (sekitar Rp 1,5-2 juta). Resor itu, kata Nursyam Saleh, Komisaris Operator Surfing dan Resort Pulau Nyang-Nyang, kebanyakan dibangun tanpa analisis dampak lingkungan dan dibangun dengan membabat pohon bakau. "Izinnya hanya dari camat," ujarnya.
Kami sempat mengunjungi Pit Stops Hill, resor populer di Mentawai. Bangunan utamanya didominasi kayu yang memiliki bar dan ruang tamu. Bentuk langit-langitnya berkubah dengan konsep rumah panggung. Kapasitas resor ini 10 orang. Untuk menginap di situ, kita harus merogoh kocek dalam-dalam. "Paket sekali main saja Aus$ 7.000 (sekitar Rp 75 juta)," kata Travis Micale, peselancar asal Australia, yang menginap di sana.
Biaya main selancar di Mentawai memang tidak murah. Untuk menyewa perahu motor selama dua hari, kami dikenakan harga Rp 9 juta. Menurut Pendi, sang pemilik perahu, harga itu wajar karena harga Premium per liter di Mentawai Rp 15 ribu. Untuk mencari ombak, kata dia, perahu menghabiskan 300-an liter sehari.
Jangan bayangkan badan perahu itu terbuat dari fiberglass berwarna putih mengkilat. Lebih tepatnya malah seperti kapal poci dalam film Life of Pi, bedanya cuma dikasih motor dan atap. Patut disyukuri kami selamat dari amukan ombak ketika diserang badai saat menyeberang dari Pulau Pei-Pei ke Pulau Sipora—selama tiga jam.
Gulungan ombak besar yang indah mencoba menggulung peselancar Indonesia, Sandy Slamet saat sedang berselancar di Playground, Mentawai, Sumatera Barat, (17/10). Tempo/Tommy Satria
Anugerah Ombak
Posisi geografis yang langsung menghadap Samudra Hindia memang membuat ombak di Mentawai membengkak. Itu adalah berkah bagi peselancar. Tapi, kalau terlalu besar, bisa jadi bencana. Jika badai datang, semua transportasi laut berhenti beroperasi. Kepulauan ini terletak 150 kilometer dari lepas pantai Sumatera dengan garis pantai sepanjang 758 kilometer. Periode Juni-November, yang bertepatan dengan libur musim panas Eropa, adalah waktu terbaik berselancar di sana. Pada periode itu ombak bisa 10 meter.
Karakter ombak Mentawai disukai karena memiliki terowongan (barrel) panjang. Jarak antara gulungan pertama dan selanjutnya juga dekat. Maka peselancar tidak perlu lama menunggu gulungan ombak datang. Kejuaraan dunia macam World Champions Surfing Series Mentawai dan Mentawai International Pro Surf Competition, secara reguler digelar di Lance’s Right, Mentawai.
Ada 99 titik ombak kategori internasional di Mentawai. Area itu tersebar di daerah Nyang-Nyang, Karang Bajat, Karoniki, Pananggelat, dan Mainuk (Pulau Siberut), Katiet Basua (Pulau Sipora), dan Pagai Utara (Pulau Sikakap). Setelah tsunami 2010, tidak ada perubahan lokasi ombak. Justru Dinas Pariwisata Kabupaten Mentawai mencatat ada 74 tempat ombak yang baru.
Setiap titik ombak memiliki karakter sendiri. Misalnya di No Kanduis Left—asal kata dari no can do it. Di sana cocok untuk peselancar Goofy foot alias kidal karena ombaknya kiri. Artinya, gelombang akan pecah dari kanan ke kiri—dari sudut pandang peselancar ketika menghadap ke pantai.
Disebut Goofy foot ya memang karena berasal dari tokoh kartun Disney: Goofy. Dedi Saraina, peselancar Mentawai, mengatakan, dalam film Disney berjudul Hawaiian Holiday, Goofy mencoba bermain selancar dengan memakai gaya reguler, tapi ia terjatuh tiga kali. Namun, ketika memindahkan kaki kanan ke depan papan dan kaki kiri yang mengendalikan, ia justru jadi mahir. Peselancar yang melegenda di planet ini, seperti Kelly Slater, Andy Irons, dan Mick Fanning, adalah penganut agama Goofy.
Jika Anda adalah tipe regular foot (kanan) kemudian ingin bermain di ombak kiri, Anda harus pandai berselancar dengan membelakangi ombak. Jika tidak, Anda akan jadi bulan-bulanan ombak.
Di Mentawai, banyak sekali jenis ombak kiri. Karena itu, Kelly Slater kesengsem betul. Hampir tiap setengah tahun sekali, kata Dedi, peselancar legendaris Amerika Serikat itu mengunjungi Lance's Left.
Bukan cuma Slater yang tertarik. Pangeran Charles, putra Ratu Elizabeth II, bahkan menyambangi Mentawai setiap tahun, meski tidak berselancar. Rijel Samaloisa, Wakil Bupati Kepulauan Mentawai, mengatakan orang dari Kedutaan Besar Inggris akan menemuinya untuk meminta izin jika Charles akan datang. "Jangan-jangan dia mau buat negara di sini," kata Rijel tertawa.
Budaya selancar di Mentawai muncul baru pada 1990-an. Saat itu, para peselancar asing mulai menjelajahi Mentawai dengan menyewa perahu reot nelayan lokal, bukan memakai kapal pesiar seperti sekarang. Mereka tidur di papan, makan nasi di pantai, dan menghabiskan waktu berminggu-minggu di laut.
Saat itu, Dedi mengaku ikut-ikutan para bule asal Australia tersebut. Bersama teman-temannya, ia membentuk komunitas kecil dan patungan membeli bahan bakar untuk perahu. Sedangkan papannya hibah dari turis atau membuat sendiri dari kayu. Kini rata-rata 5.000 orang datang tiap tahun ke sana.
Di Mentawai, kita bisa melihat berselancar adalah pengalaman yang amat menular, paling tidak dari segi fashion dan filosofi hidup. Anda bisa melihat otot kotak di perut saat para peselancar berdiri di papan dan tetap tampak asyik ketika cuma memakai celana pendek belel. Satu lagi: mereka terus mengatakan segala sesuatu adalah mungkin, termasuk menunggangi ombak sebesar rumah di Pondok Indah.
Peselancar Indonesia, Sandy Slamet melomcati ombak besar saat sedang berselancar di Playground, Mentawai, Sumatera Barat, (17/10). Tempo/Tommy Satria
Saya mendapat kabar bahwa Sandi sudah kembali ke laut untuk berselancar lagi—kurang dari tiga hari setelah kecelakaan yang merobek bibirnya. Dia membiarkan air asin yang menyembuhkannya, dan menolak membiarkan rasa takut menang. Sandi selalu bilang, "Life's swell." Hidup itu hebat, seperti gelombang besar. HERU TRIYONO