Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Kampung Ramadan Jogokariyan di Yogyakarta merupakan salah satu destinasi populer untuk ngabuburit selama bulan Ramadan. Tempat yang berpusat di Masjid Jogokariyan ini menjadi favorit bagi orang-orang yang ingin membeli hidangan khas Ramadan dari pedagang kaki lima dan warung makanan. Selain itu, kampung ini menawarkan nuansa khas desa yang tenang dan indah, menciptakan suasana seperti berada di desa asli.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tradisi ngabuburit yang hanya ada saat bulan Ramadan ini sering dimanfaatkan untuk berbagai kegiatan sosial, olahraga bersama, berkumpul dengan teman dan keluarga, bermain dengan anak-anak di taman, atau mengaji bersama di masjid untuk menyempurnakan Ramadhan yang penuh berkah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ngabuburit biasanya dilakukan di taman dan tempat hiburan, seperti Kampung Ramadhan Jogokariyan yang terletak di Jl. Masjid Jogokariyan, Mantrijeron, Kec. Mantrijeron, Kota Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta, yang buka 24 jam selama Ramadan. Tempat ini selalu ramai dikunjungi oleh banyak orang selama bulan Ramadhan. Lantas, bagaimana profil dari Masjid Jogokariyan yang populer ini?
Profil Masjid Jogokariyan
Dilansir dari sibakul.jogjaprov.go.id, Masjid Jogokariyan merupakan salah satu masjid yang sangat terkenal bukan hanya kalangan warga Yogyakarta tapi juga wisatawan. Keistimewaan masjid ini terletak pada berbagai festival dan kegiatan yang diadakan saat hari besar Islam, terutama pada bulan Ramadhan. Tempat ini juga sering dijadikan sebagai destinasi wisata religi bagi para pengunjung yang ingin mengetahui sejarah dan kegiatan di masjid ini.
Selama bulan suci Ramadan, pengurus masjid juga menyediakan berbagai takjil gratis dengan variasi menu yang berbeda setiap harinya. Selain itu, di sekitar area masjid terdapat Kampung Ramadhan Jogokariyan (KRJ), tempat berkumpulnya banyak UMKM yang menjual berbagai jenis takjil dan minuman untuk berbuka puasa.
Masjid ini juga memiliki tradisi khusus saat memasuki bulan suci Ramadan, yaitu mengundang berbagai tokoh penting untuk menjadi imam atau penceramah selama pelaksanaan sholat tarawih ataupun sholat subuh.
Usai membuat kericuhan di komplek Masjid Jogokariyan, para pemuda Masjid mencbo menegur hingga berakhir adu mulut dan bentrokan. facebook/Masjid Jogokariyan Yogyakarta
Sejarah Masjid Jogokariyan
Dilansir dari masjidJogokariyan.com, sebelum 1967, belum ada masjid di kampung Jogokariyan. Kegiatan keagamaan dan dakwah dilakukan di sebuah bangunan sanggar kecil yang terletak di pojok kampung. Namun, bangunan tersebut tak pernah terisi lantaran kebanyakan masyarakat Jogokariyan pada masa itu lebih menganut tradisi Kejawaen daripada kultur keIslaman.
Pada masa HB ke VIII, terjadi perubahan sosial ekonomi yang signifikan telah menimbulkan kejutan bagi warga. Kampung Jogokariyan mulai beralih menjadi pusat industri batik dan tenun, menyebabkan generasi anak-anak Abdi Dalem terpaksa bekerja sebagai buruh di pabrik-pabrik tenun dan batik.
Puncak masa keemasan industri batik dan tenun menjadi periode yang sulit bagi keturunan Abdi Dalem prajurit Jogokariyan yang kesulitan beradaptasi. Ketidakseimbangan sosial ekonomi ini dimanfaatkan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) dengan memanfaatkan sentimen kelas buruh dan majikan.
Gerakan PKI disambut dengan antusias oleh warga Jogokariyan yang merasa terpinggirkan, menjadikan kampung ini sebagai basis PKI yang didominasi oleh warga miskin dan buruh. Saat terjadinya Gerakan 30 September atau G30S pada 1965, banyak warga yang ditangkap dan dipenjarakan sebagai tahanan politik. Di tengah masa kritis ini, Masjid Jogokariyan dibangun dan berperan sebagai sarana perekat untuk mengubah masyarakat Jogokariyan menjadi masyarakat yang berlandaskan nilai-nilai Islam.
Proses Pembangunan Masjid Jogokariyan
Masjid Jogokariyan diinisiasi oleh H. Jazuri, seorang pengusaha batik dari Karangkajen yang memiliki rumah di kampung tersebut. Ide ini dibahas dengan beberapa tokoh masyarakat dan umat, termasuk Bpk. Zarkoni, Bpk. Abdulmanan, H. Amin Said, Bpk. Hadits Hadi Sutarno, KRT Widyodiningrat, dan Ibu Margono.
Karena tidak ada tanah wakaf di Jogokariyan, mereka membentuk panitia dan mengumpulkan dana untuk membeli tanah di mana masjid akan dibangun. Dengan bantuan para pengusaha batik dan tenun dari koperasi "Karang Tunggal" dan "TRI JAYA", sebagian besar pendukung dakwah Muhammadiyah dan simpatisan Masyumi, tanah seluas kurang lebih 600 m2 berhasil dibeli pada awal Juli 1966.
Pada 20 September 1965, peletakan batu pertama dilakukan di atas tanah hasil tukar guling tersebut. Bangunan masjid berukuran 9x9 meter persegi ditambah serambi 9x6 meter persegi, dengan total luas bangunan 15 x 9 meter persegi terdiri dari ruang utama dan serambi. Masjid Jogokariyan pun diresmikan pada bulan Agustus 1967 oleh ketua PDM Kota Yogyakarta.
Sejak pembangunan masjid dimulai pada 20 September 1966 di kampung Jogokariyan, telah ada banyak usulan "Nama" untuk masjid yang sedang dibangun ini. Bahkan hingga saat ini, masih ada orang yang terus mempertanyakan nama masjid yang terletak di tengah-tengah kampung ini. Namun, para pendiri dan perintis Dakwah di Jogokariyan telah setuju untuk memberi nama masjid ini "Masjid Jogokariyan".
SUKMA ANTHI NURANI I MEUTIA MURTI DEWI