Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Tepat hari ini, pada 29 Januari 2025, masyarakat Tionghoa merayakan Hari Raya Imlek, tahun shio ular kayu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Beragam tradisi peribadahan digelar umat beretnis Tionghoa saat merayakan Imlek. Selain makan malam, atraksi barongsai, dan kembang api, berbagai tradisi yang memiliki makna spiritual dan budaya yang mendalam juga turut digelar. Salah satunya tradisi bakar uang arwah dan dewa, atau yang dikenal sebagai Jinzhi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Meskipun uang yang dibakar bukanlah uang asli, tradisi yang telah digelar secara turun-temurun ini dilakukan sebagai bentuk penghormatan kepada leluhur dan dipercaya dapat memberikan keberuntungan serta kesejahteraan bagi mereka di alam baka.
Secara historis, praktik ini pertama kali dilakukan pada masa Dinasti Jin (266–420 M). Meskipun China mengalami berbagai pergantian dinasti dan perubahan kekuasaan, tradisi ini tetap bertahan dan terus dilakukan hingga era modern saat ini.
Salah satu umat Tionghoa, Siska menjelaskan bahwa tradisi bakar uang ini di Kelenteng Dewi Kwan Im di Jalan Benteng Kecamatan Seberang Ulu I, Palembang, Sumatera Selatan ini diyakini dapat membuat leluhur memperoleh kebahagiaan meski sudah di alam baka.
"Kertasnya ini disebut Kim Cua, untuk kesejahteraan keluarga yang telah meninggal, juga penghormatan kepada Dewi Kwan Im karena ini Kelenteng Dewi Kwan Im," kata Siska kepada Tempo di Kelenteng Dewi Kwan Im, pada Rabu, 29 Januari 2025.
Selain itu, tambah Siska, ritual ini diadakan juga dipercaya dapat memberi kesejahteraan dan keberuntungan bagi anggota keluarga yang masih hidup. "Mereka (arwah leluhur) masih memiliki pengaruh bagi kami keluarga yang ditinggalkan," katanya.
Tradisi membakar benda dalam perayaan Imlek tidak terbatas pada kim cua saja. Masyarakat Tionghoa terus berinovasi dalam mempertahankan tradisi ini agar tetap relevan dengan perkembangan zaman.
Dikutip dari Culture Trip, praktik membakar uang kertas telah berkembang menjadi pembakaran replika berbagai jenis kekayaan. Masyarakat mulai menciptakan tiruan dari berbagai barang berharga yang ada di dunia nyata.
Mereka percaya bahwa dengan membakar replika benda tersebut, arwah leluhur akan menerima dan menikmati harta serupa di alam baka. Segala bentuk kemewahan dipersembahkan sebagai tanda penghormatan.
"Jadi jiwa-jiwa yang telah meninggal punya uang untuk beli barang dan kebutuhan mereka, jadi mereka nyaman di alam baka," kata Siska.
Selain uang kertas, banyak keluarga juga membakar replika rumah, pakaian, paspor, tiket pesawat, alat elektronik seperti ponsel dan televisi, bahkan peralatan rumah tangga seperti penanak nasi. Semua benda ini melambangkan kekayaan yang secara simbolis dikirimkan kepada leluhur mereka.
Uang kertas yang digunakan dalam ritual pembakaran juga memiliki beberapa kategori, yaitu tembaga, emas, dan perak. Uang tembaga diperuntukkan bagi arwah yang baru meninggal serta arwah tak dikenal. Uang emas ditujukan bagi arwah leluhur dengan kedudukan lebih tinggi serta para dewa. Sementara itu, uang perak biasanya dipersembahkan untuk leluhur keluarga dan dewa setempat.
"Walaupun beda-beda, tetapi makna dan tujuannya tetap sama. Mengharapkan kesejahteraan," ucap Siska.
Han Revanda Putra turut berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
Pilihan Editor: Perayaan Imlek: Asal-usul 12 Shio, Kenapa Tidak Ada Shio Kucing?