Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Di Yogyakarta, banyak pilihan sungai yang bisa disusuri. Namun tidak banyak sungai yang membuat kita senang bukan kepalang sekaligus bergidik. Aliran sungai di kaki Gunung Merapi yang melewati Dusun Pancoh, Kabupaten Sleman, salah satunya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dusun Pancoh merupakan salah satu perkampungan di kaki Gunung Merapi, yang terkenal sebagai salah satu gunung berapi teraktif di dunia. Perkampungan ini dilalui aliran sungai dari hulu Gunung Merapi, yang kemudian dikelola menjadi salah satu aktivitas wisata. Melalui kegiatan tersebut, pengelola Desa Ekowisata Pancoh mengajak para wisatawan merasakan nikmatnya bermain air sambil menuturkan sejuta cerita tentang dusun tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Begitu menjejakkan kaki ke dalam air yang jernih, sensasi dingin sekejap menggelitik. Batu-batu kali terasa seperti sedang menotok urat syaraf, terasa ngilu hingga ke ubun-ubun. Namun siapa pun tak dapat menolak rayuan untuk melanjutkan perjalanan.
Menurut Ngatijan, 52 tahun, Ketua Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Dusun Pancoh, titik pertama perjalanan ini disebut Pucung. Perjalanan panjang ini terasa singkat karena banyak cerita yang dapat dinikmati dan direkam di ingatan.
Anak-anak bersenda gurau di tepi sungai di Dusun Pancoh, yang berada di kaki Gunung Merapi. TEMPO/Dini Pramita
Sungai ini menyimpan cerita pilu mengenai leluhur warga Pancoh, yang dijadikan pekerja paksa oleh Belanda untuk membangun rel lori. Lori ini digunakan untuk mengangkut hasil perkebunan tebu warga ke pabrik gula di kawasan Medari. “Jadi dulunya daerah ini adalah kebun tebu, bukan kebun salak, dan leluhur banyak yang dijadikan budak,” tutur Ngatijan.
Cerita itu bukan isapan jempol belaka. Di sungai ini masih tersisa monthet, yang merupakan penyangga jembatan untuk lintasan lori. Di sini, wisatawan diminta jalan jongkok untuk melaluinya sebagai bentuk penghormatan atas pengorbanan para nenek moyang warga Pancoh.
Cerita tidak berhenti di situ. Tak jauh dari titik jembatan monthet, kita akan menemukan batu besar seukuran kerbau bernama watu cantang. Batu ini menjadi saksi ratusan pria Pancoh saat menjemput masa akil balig. Ada sebuah tradisi yang dilakukan turun-temurun untuk menjemur kelamin yang habis disunat di atas batu ini.
Menurut Ngatijan, sebelum berendam, seorang anak laki-laki yang baru saja disunat diwajibkan kungkum (berendam) di sungai ini. “Kungkum itu biar kain bisa dilepas dengan mudah,” katanya. Setelah berendam, lalu dijemur dengan bantalan batu supaya panas. Panas batu inilah yang dipercaya bisa memaksimalkan perawatan pasca-sunat.
Tak jauh dari watu cantang, ada batuan besar lain yang kerap dijadikan tempat bersemedi. “Setiap malam Jumat dan Selasa Kliwon, biasanya ada orang-orang yang bersemedi, mulai dari pukul 12 malam sampai subuh,” ujar Ngatijan.
Baca juga:
Asyik, Panen Salak Setiap Hari di Desa Ekowisata Pancoh
4 Cara Menghabiskan Malam di Jogja, Selain Nongkrong di Angkringan
Selain menceritakan hal-hal menarik, pemandu terkadang usil menantang kesabaran dan daya konsentrasi kita dengan tantangan menyusun batu kali. “Tantangan ini menarik bagi siapa pun karena melatih kesabaran, ketelatenan, dan ketenangan,” ucapnya.
Untuk menikmati kemewahan udara bersih tanpa polusi dan air jernih Sungai Tempuran, Nenepi, hingga Ambung ini, wisatawan mesti mengambil paket wisata susur sungai yang jadi andalan Desa Ekowisata Pancoh. Tujuan wisata ini merupakan salah satu destinasi wisata berkelanjutan unggulan dunia yang direkomendasikan Badan Pariwisata Dunia, UNWTO. Di sini, para wisatawan akan diajak bertamasya dengan mengandalkan lingkungan alam yang terjaga kelestariannya.
DINI PRAMITA