Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jayapura - Wabah virus corona yang juga melanda Papua, membuat penerbangan penumpang dari luar Papua menuju bandara Sentani, serta dari bandara Sentani menuju Wamena, Jayawijaya dihentikan sementara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penutupan bandara tersebut berdampak pada kunjungan wisatawan di Lembah Baliem, Kabupaten Jayawijaya. Sepinya wisatawan tersebut berimbas terhadap pemasukan pengelola objek wisata mumi Agat Mamete Mabel atau dikenal juga dengan mumi Pumo di Kampung Wogi, Distrik Silokarnodoga, Kabupaten Jayawijaya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Eli Mabel, penjaga mumi Pumo mengatakan, pada hari-hari biasa ada saja biro perjalanan travel yang datang membawa wisatawan berkunjung ke mumi Pumo. Paling banyak kunjungan pada saat diadakan Festival Budaya Lembah Baliem.
Menurut ELi, dirinya yang membuat honai khusus untuk menyimpan mumi Pumo, "Semuanya dengan biaya pribadi, honai ini lantainya dibuat panggung, agar mumi tidak langsung menyentuh tanah, bisa tersimpan baik di tempat kering tidak lembab," ujar Eli.
Setiap wisatawan yang berkunjung, membayar Rp50.000. Uang tersebut dikumpulkan untuk perawatan mumi dan honai. Namun sejak tidak ada wisatawan, Eli melakukan perawatan secara swadaya, dengan uang pribadi.
Hari Suroto, peneliti Balai Arkeologi Papua mengatakan terdapat empat mumi di Lembah Baliem, Jayawijaya yang sudah dikonservasi, yaitu mumi Araboda, Aikima, Pumo dan Yiwika.
Selama ini penjaga mumi, merawat mumi dengan cara menempatkannya di honai khusus. Mereka menjaga mumi dari gangguan serangga, tikus maupun anjing, sehingga para penjaga mumi tersebut kalau malam harus tidur di honai tempat mumi disimpan.
Donasi wisatawan maupun pengunjung sangat membantu para penjaga mumi itu, "Upaya mereka merawat mumi secara swadaya perlu diapresiasi, karena mumi merupakan tinggalan budaya yang harus terus dijaga dan dipelihara agar tidak musnah," ujarnya.