Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Aktivis memprotes aparat keamanan yang dinilai semena-mena dan mengintimidasi petani saat menangani kerusuhan akibat konflik lahan di Jambi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mereka menuntut aparat Polri dan TNI menghentikan kekerasan terhadap para petani. Aktivis juga mengecam keterlibatan TNI dalam proses penangkapan. Dalam siaran persnya, para aktivis meminta Polri menjalankan pemeriksaan sesuai prosedur dengan menghormati hak asasi manusia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Kami juga meminta Komnas HAM melakukan penyelidikan terhadap peristiwa ini dan kejadian yang melatarinya," kata Era Purnama Sari, Wakil Ketua bidang Advokasi YLBHI, Ahad 21 Juli 2019.
Sebelumnya diberitakan, polisi menangkap 68 orang anggota Serikat Mandiri Batanghari atau SMB di Jambi pada Sabtu, 13 Juli 2019.
Berdasarkan keterangan polisi, penangkapan itu berawal dari peristiwa penyerangan terhadap anggota polri dan TNI. Polisi menyebut aparat diserang oleh anggota SMB saat mendampingi petugas penanggulangan kebakaran hutan dan lahan di kawasan hutan tanaman industri milik anak perusahaan Sinar Mas, PT Wirakarya Sakti.
Menurut Era, mereka mendapat video yang merekam para anggota SMB yang ditangkap dalam kondisi tertelungkup dengan tangan diborgol.
"Beberapa orang diantaranya dalam keadaan hampir telanjang (hanya memakai celana dalam). Terekam pula anggota TNI berseragam yang beberapa kali menendang kaki orang yang ditangkap," kata Era.
Menurut Era, lepas dari dugaan pelanggaran hukum yang terjadi, Polisi tidak boleh bertindak sewenang-wenang apalagi menggunakan kekerasan dan tidak manusiawi. "Proses-proses penangkapan dan pemeriksaan harus dijalankan sesuai dengan prosedur dan menghormati hak asasi manusia," kata Era.
Konflik warga dengan pihak pemilik hutan tanaman industri (HTI) PT Wirakarya Sakti (WKS) itu terjadi di kawasan Distrik VIII Desa Bukit Bakar, Kecamatan Renah Mendaluh, Kabupaten Tanjungjabungbarat, Jambi. Awalnya ada keinginan warga menjadikan lokasi itu sebagai kawasan transmigrasi swakarsa mandiri.
"Awalnya warga sebagian besar merupakan pendatang dari luar Provinsi Jambi tersebut, mengusulkan untuk menjadikan kawasan transmigrasi swakarsa mandiri. Tentu saja kami menolak usulan mereka, karena ada dalam kawasan HTI dengan tanaman akasia yang sudah siap panen," kata Juru bicara PT WKS, Taufiqurrahman, kepada Tempo, Ahad, 21 Juli 2019.
Karena usulan mereka ditolak, para anggota SMB itu kemudian berunjuk rasa. Mereka juga melakukan pendudukan lahan, memblokir jalan dalam kawasan perusahaan. "Bahkan melakukan pemanenan akasia secara membabi buta," kata Taufiqurrahman.
Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Jambi Komisaris Besar Edi Faryadi mengatakan, para petani itu sempat diiming-imingi akan kebagian lahan 3,5 hektare per orang oleh Muslim, Ketua SMB.
"Kami memperkirakan jumlah warga yang tergabung dalam keanggotaan SMB mencapai ribuan orang," katanya.
Penyidik terus melakukan pengembangan pengusutan kasus ini. Sebelumnya aparat telah menangkap sebanyak 63 orang yang diduga pelaku penganiayaan dan pembakaran lahan. Sebanyak 21 orang diantaranya sudah ditetapkan sebagai tersangka. Pada Sabtu, 20 Juli 2019, polisi kembali menangkap 18 orang.
"Kejadian beberapa pekan lalu itu, tidak hanya memakan korban luka-luka, namun menimbulkan kerugian materi puluhan miliar rupiah. Sebab massa SMB tidak hanya melakukan pembakaran lahan, tapi juga merusak fasilitas PT WKS, berupa perumahan karyawan, pos penjagaan dan sejumlah kendaraan bermotor," ujarnya.