Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TANGAN kecil itu berkali-kali mengusap kepalanya yang terbebat perban tebal. Matanya yang bulat menatap setiap orang di sekitarnya, seakan memohon bantuan untuk mengenyahkan perban yang membalut itu. Tak ada sepatah kata pun keluar dari bibir Muhamad Lintar Syaputra, bocah berumur 11 bulan itu. ”Bocah itu tak pernah mencari-cari ibunya atau papanya, saya sendiri heran,” ujar seorang suster kepada Tempo, yang Kamis pekan lalu menengoknya.
Sudah lebih dari sepekan Lintar dirawat di Ruang Luka Bakar Rumah Sakit Umum Cipto Mangunkusumo. Selain di kepalanya, di sebagian punggungnya juga masih melekat perban. Luka bakarnya belum mengering. Setiap kali tangannya menggapai-gapai ingin membetot perban di tubuhnya, setiap kali pula seorang suster mencegahnya dengan segera menggendongnya hilir-mudik. ”Sebelum lukanya sembuh benar, kita tak berani mengizinkannya pulang,” ujar Kepala Unit Instalasi Luka Bakar RSCM, dr Yefta Moenadjat.
Indah Saputri, 3 tahun, kakak Lintar, sudah ”pergi” meninggalkan Lintar. Berbeda dengan Lintar, nyaris seluruh tubuh Indah hangus terbakar. Selama sepekan dokter berupaya menyelamatkan nyawanya dari luka bakar yang menembus hingga jaringan ototnya. Namun, bocah malang itu kalah melawan maut. Tubuhnya sudah terlalu lemah. Senin pekan lalu, Indah pergi dalam luka. Selamanya.
Tragedi kakak-beradik ini terjadi pada 1 Januari di rumah mereka di Jalan Kenanga, Serpong, Tangerang. Yeni, 27 tahun, ibu dua bocah itu, kesal kepada suaminya, Saiful Andi alias Rudi, yang pagi itu pulang dalam keadaan sempoyongan, mabuk. Pria 32 tahun yang sehari-harinya bekerja sebagai buruh serabutan di Pasar Serpong itu baru pulang dari malam tahun baruan. ”Kalau kamu masih begitu, aku akan bakar anak-anak dan sekalian kami bunuh diri,” teriak Yeni. Rudi tak menanggapi istrinya. Ia memilih tidur.
Kemarahan Yeni memuncak. Sebuah jeriken minyak tanah ia kucurkan isinya ke tubuh Indah dan Lintar yang tengah tertidur. Ia ambil korek api, dan wuss…, api menyala. Dalam hitungan detik, api itu meloncat dan menjilat-jilat dengan buas tubuh Indah dan Lintar. Raungan kedua bocah itu mengejutkan para tetangga. Mereka berupaya menyelamatkan dua bocah itu dengan melarikannya ke Rumah Sakit Tangerang. Tapi, lantaran luka bakar itu terlalu parah, RS Tangerang mengirim kedua bocah itu ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM). Kepada tetangganya, Rudi dan Yeni menyebut api itu berasal dari kompor mereka. Warga tak percaya dan melaporkannya ke polisi.
Berkas pemeriksaan Rudi dan Yeni kini hampir selesai. Polisi membidik Rudi melanggar Pasal 359 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), melakukan kelalaian yang menyebabkan orang meninggal. Pelanggar pasal ini terancam hukuman lima tahun penjara. Ancaman hukuman lebih berat terarah ke Yeni. Ia diancam hukuman 15 tahun karena telah menghilangkan nyawa orang lain. ”Kami juga menjerat mereka dengan pelanggaran Undang-Undang Perlindungan Anak,” kata Kepala Polsek Serpong, Ajun Komisaris Dedi Kusuma Bakti.
LUPAKAN sejenak kepedihan Lintar. Lihatlah kegemparan yang meledak di Perumahan Sengkang, Cilincing, Jakarta Utara, pada suatu pagi Senin dua pekan lalu. Warga menemukan pemandangan mengenaskan. Riska Rosiana, 7 tahun, meninggal di rumahnya dengan sebagian tubuhnya sudah dikerumuni semut. Di rumah petak itu pelajar kelas dua Madrasah Al-Islamiyah tersebut tinggal bersama ayahnya, Daeng Amran, 55 tahun, dan ibu tirinya, Idawati, 39 tahun, dan seorang adik tirinya yang berumur 14 bulan.
Riska meregang nyawa dengan kepedihan. Malam sebelum ia meninggal, ia diperkosa dan disodomi oleh adik ibunya, Ambo Ase, 25 tahun, di kamarnya. Tindakan sang paman membuat Riska menangis kesakitan. Gadis cilik ini membawa tangisnya ke ruang tamu. Bukannya bantuan yang datang, tangis itu justru membuat Idawati murka. Idawati naik pitam dan membekap mulut Riska dengan kain dan kemudian mencekiknya. Riska terdiam. Idawati, yang menyangka bocah perempuan itu sudah tertidur, segera meninggalkan Riska. Ia tak sadar, saat itu bocah malang tersebut sudah menjadi mayat.
Kepada tetangganya, Idawati dan Amran, suaminya, yang baru pulang pada pagi hari, menyatakan Riska meninggal karena sakit. Tapi sejumlah warga yang curiga melaporkan peristiwa tersebut ke polisi. Polisi datang dan mengirim mayat itu ke RSCM. Dokter Mun’im Idris, pakar forensik yang melakukan autopsi terhadap jasad Riska, memastikan: bocah malang itu meninggal karena kehabisan napas akibat cekikan. ”Ada bekas kuku di dekat telinganya,” kata Mun’im.
Idawati dan Ambo kini mendekam di tahanan Polsek Cilincing. Ambo mengaku perbuatan bejatnya itu sudah dilakukannya selama dua bulan. ”Saya sudah sepuluh kali memperkosa Ika,” katanya. Idawati juga mengaku dirinya mencekik Riska. ”Karena tidak diam-diam, dia saya cekik dan mulutnya saya sumpel pakai kain,” ujarnya. Polisi menjerat Ambo dan Idawati dengan pasal-pasal KUHP tentang perbuatan cabul terhadap anak dan menghilangkan nyawa orang. Ancaman terhadap pelaku perbuatan ini, penjara 15 tahun. Selain itu, ujar Kapolres Jakarta Utara Komisaris Besar Dede Suryana, kedua orang ini akan dijerat dengan Undang-Undang Perlindungan Anak.
Adapun jasad Riska kini sudah terbaring di kampung halaman ibu kandungnya di Desa Tanjungkerta, Indramayu. Sejumlah warga menancapkan pisau dan alu di atas kuburannya. Warga percaya arwah Riska akan menuntut balas. ”Gunakan pisau itu untuk membalas dendam, Nak. Balaskan kemarahan kami...,” ujar sejumlah warga sambil menaburkan kembang di atas pusara Riska.
KEKERASAN terhadap anak seperti tak habis-habisnya. Sepanjang tahun 2005, Komisi Nasional Perlindungan Anak mencatat sedikitnya terjadi 700 kasus kekerasan terhadap anak. Jumlah ini meningkat dibandingkan dengan 2004, yakni 500 kasus. ”Ini seperti gunung es, karena saya yakin lebih banyak lagi yang tidak terpantau,” kata Seto Mulyadi, Ketua Komnas Perlindungan Anak. Seto mengakui, salah satu pemicunya adalah persoalan ekonomi.
Sejumlah kasus itu sudah berujung di pengadilan. Senin dua pekan lalu, misalnya, pengadilan Tangerang menghukum Sumarni lima tahun penjara dan denda Rp 1 juta karena terbukti menyiksa anaknya, Anggi, 6 tahun, dengan menggebukinya, membentur-benturkan kepalanya ke tembok, menjepit mulut dan kemaluannya. Anggi sendiri kini diasuh Winarni, polisi wanita yang bertugas di Polsek Curug, Tangerang. ”Saya ingin Anggi tetap dengan saya, tapi biar nanti pengadilan yang memutuskan,” ujar Winarni.
Kekerasan terhadap anak tak sekadar penyiksaan secara fisik. Di Medan, Edi Iksan, Direktur Eksekutif LSM Pusaka Indonesia, tengah melakukan investigasi perdagangan anak ke Malaysia. ”Mereka diiming-imingi kerja di restoran, padahal dijadikan pelacur,” kata Edi. Menurut Edi, kasus perdagangan anak ini merupakan kasus kekerasan terhadap anak yang paling banyak terjadi di Medan. ”Yang kita kejar sindikatnya, karena germonya tidak pernah secara langsung menyuruh mereka menjadi pelacur,” kata Edi kepada Hambali Batubara dari Tempo.
Eksploitasi seks terhadap anak ini pula salah satu yang dikhawatirkan Ni Luh Suryani, psikiater dari Denpasar yang selama ini kerap mendampingi para korban pedofilia. Menurut guru besar Universitas Udayana ini, selama ini tak cuma hukuman terhadap pelaku pedofilia terhitung ringan—ada yang hanya dua tahun penjara—tapi kasus ini juga ada yang berujung damai. ”Saya heran, polisi juga tidak memproses, padahal saksinya ada,” kata Suryani.
Seto mengakui, salah satu penyebab kekerasan terhadap anak terus terjadi adalah adanya anggapan bahwa masalah anak adalah urusan internal rumah tangga seseorang. ”Padahal ini juga urusan kita. Undang-Undang Perlindungan Anak menyatakan masyarakat wajib melindungi anak, bahkan seseorang bisa dihukum lima tahun penjara jika membiarkan terjadinya kekerasan terhadap anak,” kata Seto.
Undang-Undang Perlindungan Anak (UU No. 23/2002) memuat sanksi-sanksi yang cukup berat bagi pelaku kekerasan terhadap anak, mereka yang berusia 18 tahun ke bawah. Undang-undang ini, misalnya, tidak cuma memberi ancaman hukuman 15 tahun penjara bagi pelaku kekerasan yang menyebabkan anak meninggal, tapi juga mengatur bahwa hukuman itu akan bertambah sepertiga lagi jika pelakunya adalah orang tua kandung. Hukuman yang sama berat dijatuhkan kepada mereka yang memperdagangkan anak: 15 tahun penjara dan denda hingga Rp 60 juta.
Tak hanya sosialisasi yang kurang, kalangan penegak hukum juga dinilai masih tidak ”familiar” dengan undang-undang ini. Polisi, misalnya, lebih sering memakai KUHP ketimbang Undang-Undang Perlindungan Anak. ”Mungkin aparat terbiasa memakai KUHP, padahal seharusnya undang-undang ini yang lebih utama dipakai,” kata Seto.
L.R. Baskoro, Ayu (Tangerang), Rilla Nugraheni (Denpasar)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo