Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Busung lapar tiba-tiba menjadi topik utama pemberitaan media massa. Yang mengagetkan, penyakit yang secara umum diderita kaum miskin itu telah tersebar di berbagai wilayah Indonesia. Tak terkecuali penduduk di pinggiran Jakarta. Data yang dikeluarkan Departemen Kesehatan hingga 15 Juni silam mencatat, 49 balita meninggal akibat penyakit kurang gizi itu.
Sebagian besar wilayah yang penduduknya terserang penyakit itu disinyalir tidak menjalankan program Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) dan Pendidikan Kesejahteraan Keluarga (PKK). Program yang dikelola ibu-ibu di lingkungan rukun warga itu diakui mampu mendeteksi, bahkan mencegah, mewabahnya penyakit tadi.
Mandeknya program Posyandu dan PKK di berbagai daerah antara lain karena pemerintah pusat tidak lagi mengucurkan dana. Mereka beranggapan program itu menjadi tanggung jawab kepala daerah sebagai konsekuensi diberlakukannya otonomi daerah.
Pemerintah, dalam hal ini Departemen Kesehatan, juga dianggap lamban menangani kasus tersebut. Namun, tudingan itu ditampik Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari. Ia menjelaskan apa yang terjadi di lapangan. Sebagai dokter yang pernah bertugas di Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas), ia paham benar urusan Posyandu dan PKK.
Kepada Jalil Hakim dan Andari Karina Anom dari Tempo, Siti Fadilah Supari menjawab berbagai tudingan itu. Berikut petikan wawancara yang berlangsung di rumah dinas Menteri Kesehatan di Jakarta, Kamis pekan lalu:
Mengapa kasus busung lapar terjadi juga di Pulau Jawa, bahkan sampai Tangerang?
Sekarang ini kemiskinan ada di mana-mana. Tapi kasus di Jawa belum separah di daerah-daerah di Indonesia Timur. Paling dalam satu rukun tetangga, dengan penduduk 500 orang, yang terkena busung lapar 10 orang. Faktor pertama adalah kemiskinan yang berlangsung lama, terutama setelah krisis moneter 1998. Kedua, tidak berjalannya peran serta masyarakat dalam membantu kesehatan lingkungannya.
Setelah dihantam krisis moneter dan pergantian pemerintahan, juga mengakibatkan peran Posyandu (Pos Pelayanan Terpadu) menurun. Sebelumnya, (program) ini sangat efektif membina peran serta masyarakat terhadap masalah kesehatan. Dari 250 ribu Posyandu yang ada di Indonesia, kini tinggal separuhnya. Para (ibu-ibu) aktivis Posyandu kini juga harus ikut cari uang. Mereka meninggalkan aktivitas yang selama ini dijalaninya itu. Situasi ini diperparah lagi dengan adanya otonomi daerah.
Bukannya dengan otonomi daerah, bupati dan gubernur lebih mudah mendeteksi kasus-kasus di wilayahnya dengan cepat?
Ya, seharusnya begitu. Negara kita kan baru belajar berotonomi daerah. Seharusnya otonomi daerah itu positif. Saya baru datang dari Palembang meresmikan program Sumatera Selatan Sehat 2008. Di sana ada gambaran otonomi daerah yang sangat bagus. Mereka memperkokoh sistem kesehatan daerah dengan duduk bersama antara gubernur, bupati, anggota DPRD, dan Kepala Dinas Kesehatan. Selain itu, dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah untuk kesehatan mencapai 12,5 sampai 20 persen. Pendapatan Puskesmas dan rumah sakit tidak boleh dipakai untuk PAD (pendapatan asli daerah), tapi dikembalikan ke Puskesmas dan RS itu. Ini ideal betul.
Bagaimana dengan daerah lain di Indonesia?
Di daerah lain, uang pemeliharaan kesehatan untuk kabupaten masuk ke bupati melalui dana alokasi umum. Yang menentukan untuk apa duit itu, ya bupati. Kalau bupati mau bikin lapangan terbang, dana untuk kesehatan itu bisa dipakai. Hal-hal begini, siapa yang mau mengontrol. Ini sudah terjadi sejak zaman pemerintahan Gus Dur dan Ibu Mega. Sekarang kita tinggal mengalami njebluk-nya (ledakannya).
Anda seperti menyalahkan sistem otonomi daerah dalam kasus busung lapar.
Saya ini pernah jadi dokter Puskesmas, jadi tahu betul. Tiap hari tertentu, warga mengumpulkan bayi-bayi untuk ditimbang sambil membawa beras dan kacang hijau segenggam. Begitu ada otonomi daerah, hal-hal seperti ini terpenggal. Kanwil (kantor wilayah) yang dulu adalah bawahan menteri, sekarang menjadi Kadinkes (Kepala Dinas Kesehatan), bawahannya gubernur. Itu yang membuat seperti terpenggal-penggal.
Anda kesulitan memonitor hal-hal seperti itu?
Bukan kesulitan, memang tidak bisa (tidak punya wewenang).
Setelah Anda terjun ke lapangan, daerah mana yang paling parah?
Nusa Tenggara Barat (NTB). Sebetulnya NTB itu daerahnya hijau dan subur. Kalau kita lihat dari atas, padinya terlihat bagus banget, tapi rakyatnya banyak yang hanya menjadi buruh tani. Untuk Lombok, salah satu pulau di NTB, punya kasus khusus, yaitu faktor keterbelakangan dalam segala sektor. Indeks pembangunan manusianya paling rendah di seluruh Indonesia.
Hasil penelitian berbagai pihak menunjukkan kondisi ini berkaitan dengan keterbelakangan daerah, termasuk soal kemiskinan yang terus mendera Lombok. Untuk Nusa Tenggara Timur (NTT), sedikit lebih parah. Saya sampai lemas sekali melihatnya. Daerah lainnya adalah Papua, Maluku. Faktor penyebabnya juga sama, yakni kemiskinan. Di mana ada kemiskinan, di situ ada peluang terjadinya kelaparan.
Apa yang dilakukan pemerintah untuk mengatasi kasus busung lapar?
Satu, dana-dana kesehatan dipergunakan seperti seharusnya. Apakah dana dari dana alokasi umum, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, dekonsentrasi, desentralisasi dipadukan menjadi satu. Kedua, meningkatkan peran serta masyarakat dengan cara revitalisasi Posyandu secara serentak. Kenapa ibu-ibu Posyandu dulu bisa membawa beras dan kacang hijau segenggam yang disebut jumputan, sekarang tidak? Pengalaman saya sekarang, jika berkunjung ke daerah-daerah, kader-kader di Posyandu minta uang. Dulu memang warga sekitar concern sehingga mengumpulkan uang atau beras untuk tetangga yang miskin dan kelaparan.
Apa lagi yang sudah dilakukan pemerintah?
Sekarang kita sudah menyediakan sejumlah fasilitas, misalnya asuransi kesehatan. Berobat apa saja gratis. Ada yang rumahnya jauh dari Puskesmas harus naik ojek, misalnya, bayarnya Rp 25 ribu. Tidak perlu bayar ojek. Petugas Puskesmas yang akan jemput. Kita sediakan motor di Puskesmas-Puskesmas. Untuk tahap pertama ini, kami siapkan 10 ribu sepeda motor untuk seluruh Indonesia. Untuk Papua, sarana transportasi yang paling efektif adalah kapal terbang atau helikopter. Wah, kami belum sanggup sediakan helikopter.
Pemerintah akan memprioritaskan penanganan busung lapar?
Kita memang sudah lama memantau soal kekurangan gizi ini, tetapi sekarang pemberitaannya di-blow-up. Ada penyakit-penyakit yang sejak zaman presiden Ibu Megawati sudah menjadi problem dan sudah kita jadikan prioritas penanganan, antara lain malaria, TBC, dan kusta, karena kita nomor tiga terbanyak sedunia walaupun grafiknya kini sudah menurun. Jadi, misalkan nanti ada pemberitaan soal malaria, tidak usah kaget. Dan kita sudah memprogramkan pencegahan dan penyembuhannya dengan baik sesuai dengan standar World Health Organization.
Apakah tidak diperlukan reformasi dalam bidang pelayanan kesehatan masyarakat?
Kalau saya sih tidak perlu jargon-jargon seperti kata reformasi itu. Yang kita perlukan sekarang adalah kita sama-sama bergerak ke depan. Kita betulkan apa yang kurang. Saya ini orangnya praktis.
Mengapa pemerintah pusat dan daerah, terkesan lamban menangani busung lapar?
Harusnya bisa cepat, tapi siapa yang harus menegur kalau tidak cepat? Dulu, kalau Puskesmas tidak cepat bergerak, Menteri Kesehatan bisa langsung memecat Kepala Puskesmas. Sekarang mereka adalah pegawainya gubernur, sementara program (kesehatan) dari saya. Jadi, yang bisa saya lakukan cuma minta tolong supaya program itu dijalankan.
Anggaran yang diperuntukkan bagi orang miskin, seperti dana kompensasi BBM, seharusnya bisa mengatasi busung lapar....
Saya melihat rakyat miskin tidak pernah tersentuh oleh pelayanan kesehatan. Semua program kesehatan justru diperuntukkan bagi rakyat yang berada di atas garis kemiskinan, contohnya seperti yang tertuang dalam pesan-pesan "Indonesia Sehat 2010". Anjuran hidup sehat, olahraga, jangan merokok, makan makanan yang seimbang, jamban keluarga harus minimal 6 meter dari rumah misalnya, hanya bisa dilakukan mereka yang di atas garis kemiskinan. Lalu kapan kita berpikir untuk orang-orang miskin? Never. Coba saja simak, mengajak anak-anak kita berolahraga, padahal perutnya njemblung (buncit), kakinya kurus-kurus, meler kabeh. Menyuruh ibu-ibu harus makan makanan yang seimbang, wong makannya kadang sekali sehari, kok.
Mengapa dana untuk penyediaan makanan bergizi di Posyandu kini dialihkan menjadi dana asuransi kesehatan?
Bukan begitu pengertiannya. Sekarang pemerintah justru melakukan revitalisasi Posyandu. Setiap Posyandu kita bagikan dana Rp 50 ribu untuk sekali kegiatan disertai pelatihan-pelatihan kader Posyandu. Saya justru membentuk apa yang disebut asuransi kesehatan untuk rakyat miskin. Tujuannya adalah untuk memberikan bantuan sepenuhnya kepada merekayang miskin mendapatkan pelayanan kesehatan yang dibutuhkannya.
Lewat asuransi itu kami bagikan kartu Askes kepada rakyat miskin. Dengan kartu itu mereka bisa bebas berobat dengan gratis. Bagi saya, yang penting rakyat miskin bisa mendapatkan pelayanan kesehatan. Kalaupun perusahaan asuransinya rugi, ya biarlah. Lo, sekarang ini ada PKPS (Program Kompensasi Pengurangan Subsidi) BBM untuk JPS (Jaring Pengaman Sosial), tapi tidak sampai ke rakyat miskin yang memang membutuhkannya.
Mengapa program dokter PTT (Pegawai Tidak Tetap) dan WKS (Wajib Kerja Sarjana) untuk Puskesmas dihapus?
Posyandu, Puskesmas dengan tenaga dokternya, merupakan suatu paket pelayanan dan peningkatan kesehatan masyarakat. Tapi sekarang kan otonomi daerah. Yang ngatur duit ya pejabat di daerah. Jadi, apakah duitnya sampai ke Puskesmas atau tidak, itu keputusan bupati. Yang mengangkat dokter untuk Puskesmas, ya bupati. Tapi bupati nggak mau keluar duitnya. Lo, saya ini dulu pernah tujuh tahun jadi dokter di Puskesmas lewat program WKS. Sekarang WKS dihapus dengan alasan HAM, gajinya tidak memadai.
Jalan keluarnya?
Saya sudah minta kepada Presiden, inpreskan kembali pengadaan dokter, tenaga perawat, tenaga bidan, dan penyuluh kesehatan. Tapi kita masih hitung berapa banyak dokter yang dibutuhkan, karena harus kita sesuaikan dengan anggaran. Yang berwenang memutuskannya juga bukan hanya kami, tapi juga Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara. Sedih saya melihat kenyataan sekarang ini. Kalau orang yang tidak tahu persoalannya dikira Departemen Kesehatan nggak mau kasih dokter di Puskesmas.
Apa instruksi khusus Presiden kepada Anda setelah kasus busung lapar meluas?
Presiden langsung mengadakan pertemuan dengan gubernur-gubernur dan memerintahkan menyusun program penanganan. Untuk program jangka pendek di antaranya Departemen Kesehatan diinstruksikan agar semua pasien yang dirawat di rumah sakit dirawat, diberi obat, makan hingga tuntas atas biaya pemerintah. Tidak diperlukan lagi surat bukti miskin dari lurah. Kedua, lakukan terus surveillance, cari korbannya untuk bisa segera ditangani. Temukan sebanyak-banyaknya. Jangan bikin laporan "asal bapak senang". Dulu kan pemerintah malu kalau ketahuan banyak rakyatnya yang miskin. Sekarang tidak boleh lagi begitu. Kita harus lebih sayang kepada rakyat. Untuk Mensos, di antaranya, menjaga agar kebutuhan pangan tetap terjaga dengan menjaga stok pangan. Buka lapangan kerja, seperti lewat program padat karya. Presiden juga mencanangkan Tujuan Pembangunan Kesehatan, yakni menekan angka malnutrisi dari 25 persen harus bisa diturunkan menjadi 20 persen.
Munculnya busung lapar ini tidak membuat citra Indonesia semakin buruk di mata dunia internasional?
Masalahnya tidak harus didramatisir seperti itu. Citra bangsa dan negara kita tidak akan begitu saja jatuh lantaran kasus busung lapar ini, karena banyak negara di dunia sudah tahu kondisi kita.
Dr. dr. Siti Fadilah Supari
Lahir:
- Solo, Jawa Tengah, 6 November 1950
Pendidikan:
- Dokter lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada, 1976
- Dokter spesialis jantung dan pembuluh darah lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1987
- Doktor lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1996
Pengalaman kerja:
- Staf pengajar bagian Kardiologi FKUI
- Kepala Pusat Pendataan dan Penelitian RS Jantung Harapan Kita, Jakarta
- Menteri Kesehatan Kabinet Indonesia Bersatu
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo