Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Para pelajar menggelar tawuran sebagai ajang untuk mencari jati diri dan penghargaan.
Para pelajar saat ini dinilai sebagai korban dari sistem pendidikan yang salah di masa lalu.
Aksi tawuran diperkirakan baru bisa diredam dalam jangka panjang dengan sistem pendidikan yang baik.
JAKARTA - Video tawuran itu diunggah oleh akun @generationkerajaan pada 12 Desember 2023 di platform media sosial Instagram. Berdurasi 1 menit 2 detik, video itu memperlihatkan sejumlah remaja membawa parang, samurai, dan senjata tajam lainnya saat konvoi menggunakan sepeda motor ke sebuah lokasi di sudut Ibu Kota Jakarta.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rupanya mereka sedang menuju lokasi yang sudah disepakati dengan kelompok lain. Pada akhir video, kejar-kejaran pun terjadi di antara kedua kelompok. Tidak ada korban yang tampak dalam video itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Yang menarik, di bagian komentar, aksi tantang-menantang antar-kelompok pun terjadi. Di antaranya dilontarkan oleh akun @gambrenkboyz.gnr. Tantangan itu pun dibalas dengan permintaan agar pembicaraan dilanjutkan melalui fitur direct message atau pesan pribadi. Tak hanya komentar tantangan, ada juga komentar yang berisi pujian. Anehnya, mereka merasa hebat karena berani tawuran.
Berdasarkan penelusuran Tempo, terdapat ratusan bahkan mungkin ribuan akun serupa. Isinya sama, video tawuran kelompok dengan penjelasan yang seolah "heroik". Jumlah pengikut akun-akun itu pun tak sedikit. Ada yang berjumlah ratusan, ribuan, bahkan sampai ratusan ribu orang.
Tawuran di flyover jalan D.I. Panjaitan, Cipinang Besar Utara, Jatinegara, Jakarta, 28 Januari 2024. Dok. Divisi Humas Polri
Pengamat sosial dari Universitas Indonesia, Devie Rachmawati, menduga akun-akun media sosial itu dikelola remaja berusia belasan tahun. Mereka dinilai menjadikan akun itu sebagai medium untuk mendapatkan perhatian dari peer group atau rekan seusianya. Ia mengatakan makin besar kekuatan dan keberanian tiap grup, mereka akan semakin mendapatkan prestige atau penghargaan di kalangannya.
“Motivasi mereka (remaja) secara umum adalah identitas. Mereka ingin menunjukkan jati dirinya. Semakin sadis perilakunya, potensi mereka untuk mendapatkan elu-elu atau pujian dari sesama itu akan semakin tinggi,” kata Devie kepada Tempo, Selasa 30 Januari 2024.
Devie mengatakan perilaku negatif seperti tawuran menjadi jalan pintas untuk mendapatkan penghargaan karena kesalahan sistem pendidikan di masa lalu. Tak seperti sistem pendidikan merdeka belajar yang mulai diterapkan penuh sejak 2022, sistem pendidikan masa lalu, menurut dia, tak mampu menampung potensi anak muda yang beragam.
Perempuan bergelar doktor itu menyatakan kegiatan ekstrakurikuler yang diharapkan mampu menjadi ajang penyaluran bakat dan minat para pelajar di masa lalu dibuat secara monoton. Berbagai kegiatan, seperti basket, sepak bola, menari, rohani Islam, dan Olimpiade akademik, dinilai tak cukup menampung seluruh minat dan bakat para remaja itu. “Kalau saya enggak mau semuanya, saya di mana? Saya tidak punya kesempatan untuk menunjukkan siapa jati diri saya,” kata Devie.
Belum lagi, kata Devie, masih ada stigma di kalangan masyarakat bahwa remaja yang baik adalah mereka yang memiliki nilai akademik bagus. Hanya remaja seperti itu yang sering dipandang sebagai siswa teladan dan mendapat perhatian dari orang tua hingga masyarakat.
Yang memiliki potensi di bidang lain, kata dia, tidak bisa menunjukkan jati diri dan tak mendapat perhatian. Walhasil, para remaja ini mencari pengakuan dan jati diri dengan cara negatif, seperti tawuran.
“Potensi terjadinya tawuran akan semakin tinggi kalau kemudian remaja dan pemuda ini tidak mendapatkan perhatian, pelukan, serta panggung,” kata Devie.
Kriminolog dari Universitas Indonesia, Kisnu Widagso, yang pernah melakukan penelitian soal korelasi antara sekolah dan aksi tawuran pada era 1990-an, berpendapat serupa. Hasil penelitiannya menunjukkan para pelajar melakukan tawuran karena kurang mendapat perhatian, kurang mendapat ruang untuk berekspresi dan ruang untuk bergerak, serta mengaktualisasi diri.
Meskipun demikian, dia menilai hasil penelitian tersebut masih harus dikaji ulang dengan konteks terbaru. Pasalnya, menurut dia, saat ini sudah mulai berkembang sekolah-sekolah yang menyalurkan minat dan bakat bagi pelajar melalui sekolah menengah kejuruan (SMK).
Sementara dulu sekolah kejuruan hanya menyediakan jurusan elektronika, otomotif, mesin, dan ekonomi, saat ini sekolah kejuruan sudah merambah hingga ke jurusan teknologi informasi, teknologi komputer, dan sebagainya. Artinya, semakin banyak saluran bagi para remaja untuk menyalurkan minat dan bakatnya demi mencari jati diri dan pengakuan. “Makanya agak aneh kalau misalnya mereka masih tawuran hanya untuk mengekspresikan jati dirinya,” kata Kisnu.
Devie pun mengakui sistem pendidikan di Indonesia saat ini sudah mulai berubah. Meskipun demikian, dampak perubahan itu tidak bisa langsung dirasakan dalam waktu singkat. Dia menyatakan dampak tersebut baru bisa dirasakan pada 30-40 tahun mendatang.
“Catatan negara-negara dengan tingkat pendidikan yang baik dan anak-anaknya bahagia seperti negara-negara Skandinavia itu dimulai pada 1970-an dan 1980-an,” kata Devie.
Mantan Ketua Program Studi Hubungan Masyarakat Sekolah Vokasi UI itu pun mengingatkan pemerintah agar konsisten dalam menerapkan sistem pendidikan merdeka seperti saat ini. Dengan sistem yang menghormati setiap individu dan memberikan kesempatan untuk menunjukkan jati diri, menurut dia, sangat mungkin perilaku tawuran akan terkikis hingga habis 30-40 tahun lagi.
“Jadi memang ini persoalan jangka panjang. Kata kuncinya, jangan biarkan jalanan yang memeluk mereka (remaja). Tapi yuk kita peluk ramai-ramai anak kita,” kata Devie.
Guru besar Kriminologi UI, Adrianus Meilala. Dok. TEMPO/Dhemas Reviyanto Atmodjo
Guru besar Kriminologi UI, Adrianus Meilala, punya pandangan berbeda. Dia melihat masih maraknya tawuran dari sisi penegakan hukum. Menurut dia, masalah yang terjadi adalah aparat kepolisian selama ini hanya bertindak seperti pemadam kebakaran yang beraksi jika ada peristiwa. Padahal, menurut dia, polisi seharusnya bisa melakukan langkah pencegahan dengan menuntaskan masalah di hulu.
“Tawuran terus berulang karena permasalahan di hulu tidak banyak berubah. Polisi lebih banyak mengurusi di hilir,” kata Adrianus.
ADE RIDWAN YANDWIPUTRA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo